Sebaliknya, di Sumatera Barat, realitasnya jauh berbeda.
Meskipun falsafah "Adat Basandi Syarak" mengakar kuat, resistensi muncul dari berbagai arah. Tidak semua kepala daerah sepakat. Sebagian DPRD menilai konversi ini terlalu berisiko. Sebagian tokoh masyarakat justru mempertanyakan relevansi bank syariah dalam konteks ekonomi modern. Hasilnya: rencana konversi batal.
Sementara itu, provinsi lain --- Aceh dan Nusa Tenggara Barat (NTB) --- bergerak lebih cepat. Aceh bahkan menjadi provinsi pertama yang secara hukum mewajibkan seluruh perbankan di wilayahnya beroperasi berdasarkan prinsip syariah. NTB berhasil mengubah BPD-nya menjadi Bank Umum Syariah, membuka jalan untuk pengembangan ekonomi daerah berbasis nilai.
Menyaksikan semua itu, saya merenung:
Apakah ini sebuah ironi, atau justru cerminan cara pikir orang Minangkabau di kampung halaman yang terlalu modern pragmatis, hingga tak lagi melihat nilai filosofis di balik ekonomi syariah?
Atau mungkinkah ini ekspresi khas budaya Minang: selalu kritis, penuh perhitungan, enggan mengikuti arus tanpa telaah mendalam?
Apapun jawabannya, satu hal yang saya yakini: membangun bank syariah --- membangun ekonomi berbasis nilai --- tidak hanya butuh regulasi dan infrastruktur.
Ia membutuhkan kesadaran bersama akan pentingnya menempatkan etika, keadilan, dan kepercayaan sebagai dasar bertransaksi. Sebuah kesadaran yang mungkin butuh lebih banyak waktu untuk bertumbuh di tanah kelahiran saya ini.
Namun saya tetap optimistis.
Seperti arus sungai Batang Arau yang lambat tapi pasti mengalir ke laut, perjuangan membangun ekonomi syariah di Sumatera Barat, saya yakin, suatu hari akan menemukan jalannya.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Bankir & Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI