Bagian 3: Antara Mitra dan Pengawas -- Ketika Amerika Mengkritisi Sistem Pembayaran Kita
Bayangkan seorang tamu yang sudah lama menikmati suguhan di rumah Anda. Ia ikut memuji dapur Anda yang kini makin modern. Tapi di tengah pujian, ia tiba-tiba berkata, "Oh ya, kenapa kamu tak pakai peralatan masak buatan saya saja? Lebih bagus dan terbukti!"
Tamu itu, dalam konteks ini, adalah Amerika Serikat.Dan "peralatan masak" yang dimaksud: sistem pembayaran digital Indonesia.
Ketika Kritik Itu Muncul
Dalam serangkaian pertemuan bilateral dan forum dagang internasional, delegasi Amerika mulai mempertanyakan arah sistem pembayaran Indonesia. QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN (GerbangPembayaranNasional), dua simbol kedaulatan digital Indonesia, tiba-tiba jadi sorotan.
"Kenapa QRIS dan GPN tidak memberi cukup ruang bagi sistem global seperti Visa, Mastercard, atau PayPal?" tanya mereka.
Pertanyaan itu terdengar seperti kekhawatiran biasa soal akses pasar. Tapi di balik itu, terselip aroma dominasi.
Amerika Sebagai Mitra dan Pengawas
Hubungan Indonesia dan Amerika memang unik. Di satu sisi, mereka adalah mitra strategis. Di sisi lain, AS kerap menempatkan dirinya sebagai "penjaga standar" bagi sistem global. Mulai dari perdagangan bebas, perlindungan paten, hingga sistem keuangan.
Jadi, ketika Indonesia membangun sistem domestik yang lebih mandiri dan tidak terlalu tergantung pada jaringan luar negeri, alarm pun berbunyi di Washington.Â
Bukan karena QRIS dan GPN tak efisien, tapi karena mereka---di mata AS---mengurangi ketergantungan Indonesia pada sistem dan korporasi global Amerika.
Apa yang Ditakuti Amerika?
Amerika bukan takut akan teknologi QR Indonesia. Mereka khawatir pada preseden---bahwa negara-negara berkembang bisa membangun sistem sendiri, yang efisien, aman, dan berdaulat. Bila Indonesia sukses, negara-negara lain akan mengikuti.
Digital Sovereignty (Kedaulatan Digital) menjadi isu yang tak lagi bisa disembunyikan.
Kasus Serupa: RMB Digital di China
Mari menengok China. Ketika negara itu meluncurkan e-CNY (digital RMB), Amerika langsung merespons dengan nada waspada. Mereka menyebutnya sebagai alat kontrol pemerintah, ancaman terhadap dolar, dan potensi instrumen geopolitik.
Indonesia belum sampai ke tahap itu. Tapi dengan QRIS dan GPN yang makin dalam penetrasinya, serta rencana peluncuran Digital Rupiah oleh Bank Indonesia, jalurnya mulai mirip.
QRIS dan GPN: Benteng dan Gerbang
QRIS memudahkan rakyat kecil bertransaksi secara digital, tanpa perlu bergantung pada platform asing. GPN memastikan setiap swipe kartu debit tak perlu lagi "jalan-jalan" ke luar negeri.
Keduanya bukan hanya sistem teknis, tapi simbol self-reliance. Dan dalam peta geopolitik digital, kemandirian adalah bentuk kekuatan baru.
Dari Kritik ke Tekanan Terselubung
Beberapa laporan diplomatik dan analisis media menyebut bahwa dalam diskusi bilateral, AS menyarankan agar sistem pembayaran Indonesia lebih "terbuka".
Apa makna terbuka di sini?
Lebih memberi ruang kepada pemain asing. Lebih banyak integrasi dengan sistem global. Dan tentu, lebih banyak data yang mungkin bergerak lintas batas.
Apakah itu adil?
Kita tentu menyambut kompetisi dan kolaborasi. Tapi keterbukaan tanpa kendali adalah jalan menuju hilangnya kedaulatan.
Hak Kita Untuk Menentukan Sistem
Kita tak sedang menolak kerja sama. Tapi seperti Jepang dengan JCB-nya, India dengan RuPay, dan China dengan UnionPay---kita ingin sistem kita sendiri.
Bukan untuk menutup dunia, tapi agar kita punya bargaining power. Agar pelaku UMKM tak harus membayar mahal untuk sekadar menerima pembayaran. Agar data transaksi kita tidak dijadikan komoditas oleh pihak asing.
Apa yang Perlu Kita Lakukan?
- Perkuat Regulasi -- Pemerintah dan Bank Indonesia harus mengunci sistem dengan aturan yang melindungi kepentingan nasional tanpa melanggar prinsip perdagangan internasional.
- Perluas Edukasi Publik -- Masyarakat perlu paham mengapa penting mendukung sistem nasional. QRIS dan GPN harus dipahami bukan sekadar alat bayar, tapi alat perjuangan.
- Bangun Diplomasi Digital -- Kita harus pandai menjelaskan bahwa sistem kita tidak anti-asing, tapi pro-kedaulatan. Dan itu adalah hak setiap negara.
- Persiapkan Digital Rupiah -- Sebagai langkah lanjut, BI harus mengembangkan CBDC dengan prinsip inklusif, aman, dan menjaga kontrol penuh negara terhadap arus uang digital.
Penutup: Mitra, Ya. Pengawas? Tidak.
Dalam dunia yang makin digital, kedaulatan tidak hanya tentang tanah dan udara. Tapi juga tentang siapa yang mengendalikan data, transaksi, dan sistem ekonomi kita.
Amerika boleh jadi mitra. Tapi kita tak perlu menerima semua masukan seolah mereka pengawas.
Ketika kita membangun QRIS dan GPN, kita sedang berkata: "Ini rumah kita. Kita tahu cara terbaik untuk mengelolanya."
Dan itu bukan bentuk perlawanan. Itu bentuk kemandirian.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Pekerja Bank & Advisor Transformasi)
Bersambung ke Bagian 4: Digital Rupiah -- Menapaki Jalan Baru dalam Sistem Keuangan Nasional
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI