Ternate, sebuah pulau kecil yang kaya akan sejarah dan keindahan alam, menjadi destinasi yang sempurna untuk mengisi Ramadan dengan pengalaman tak terlupakan. Perjalanan dari Jakarta ke Ternate memakan waktu 3 jam 40 menit sebelum mendarat di Bandara Sultan Babullah Ternate.
Perjalanan kali ini membawa kita menelusuri jejak sejarah lewat benteng-benteng tua yang masih berdiri kokoh, kemudian dilanjutkan dengan berburu takjil di Pantai Falajawa dan menikmati kuliner khas Ternate yang menggugah selera.
Mengawali Jejak Sejarah di Benteng Oranje. Benteng Oranje adalah titik awal perjalanan sejarah kita di Ternate. Dibangun pada tahun 1607 oleh Belanda, benteng ini menjadi saksi bisu perjuangan dan kekayaan rempah yang dimiliki Ternate. Lokasinya yang strategis di pusat kota membuatnya mudah diakses, dan hingga kini, Benteng Oranje tetap menjadi simbol penting warisan kolonial di Maluku Utara.
Perjalanan berlanjut ke Benteng Tolukko yang terletak di Kelurahan Sangadji. Dibangun pada tahun 1540 oleh Portugis, benteng ini menawarkan pemandangan indah ke arah laut dan Pulau Tidore. Struktur bangunannya yang masih terawat baik membuat saya seolah dibawa kembali ke masa lalu, merasakan suasana pertahanan zaman kolonial yang begitu kuat.
Setelah itu, menyinggahi Benteng Kalamata yang juga dikenal sebagai Benteng Kayu Merah, berdiri megah dengan latar belakang laut biru yang menawan. Dibangun oleh Portugis pada tahun 1540, benteng ini memiliki bentuk unik dengan empat bastion yang menghadap ke berbagai arah. Keindahan panorama dan nilai sejarahnya membuat Benteng Kalamata menjadi destinasi favorit para pelancong.
Namun, tak lengkap rasanya jika tidak mengunjungi Benteng Spanyol Nuestra Senora del Rosario (1606--1663), salah satu peninggalan sejarah Spanyol yang berdiri megah di Ternate. Benteng ini dibangun di atas Kota Kuno Gamalama (1575--1606), yang merupakan daerah kediaman Kesultanan Ternate, dan juga di atas reruntuhan Benteng Portugis San Juan Bautista (1522--1575).
Pada masa itu, Ternate menjadi bagian dari ibu kota Spanyol di Maluku, yang kini dikenal sebagai Kota Kastela. Tak lupa  mampir juga ke Benteng Tahula yang menawarkan pemandangan memukau dan cerita sejarah yang tak kalah menarik. Kedua benteng ini memperkaya perjalanan sejarah saya di Ternate.
Menelusuri Jejak Benteng Sao Paulo dan Benteng Sentosa menjadi penutup eksplorasi benteng di Ternate. Benteng Sao Paulo yang dibangun oleh Portugis pada abad ke-16 menjadi simbol kekuatan kolonial di masa lalu, sedangkan Benteng Sentosa menyimpan cerita perjuangan rakyat Ternate dalam mempertahankan wilayahnya.
Setelah seharian menapaki jejak sejarah, saya melanjutkan perjalanan ke Pantai Falajawa yang terletak di Kelurahan Muhajirin, Kecamatan Ternate Tengah. Kawasan ini menjadi tempat favorit masyarakat Ternate untuk berburu takjil selama bulan Ramadan.
Ada puluhan pedagang yang menjajakan berbagai menu seperti gohu, nasi kebuli, es buah, gorengan, dan minuman segar dengan harga terjangkau mulai dari Rp15 ribu. Suasana sore di Pantai Falajawa begitu meriah, penuh kehangatan dan kebersamaan menunggu suara adzan maghrib berkumandang, menandakan waktu berbuka telah tiba.
Berbuka puasa di Ternate tak lengkap tanpa mencicipi kuliner khasnya. Ikan Asap Cakalang menjadi pilihan pertama saya. Aroma ikan cakalang segar yang diasap begitu menggoda, apalagi saat dipadukan dengan sambal dabu-dabu yang pedas dan segar. Tak lupa nasi panas yang menyertainya membuat hidangan ini semakin nikmat.
Selanjutnya, saya mencoba Popeda, makanan berbahan dasar sagu dengan tekstur kenyal dan lembut. Menyantap Popeda dengan kuah ikan yang kaya rempah adalah pengalaman kuliner yang tak terlupakan. Keunikan rasa dan cara makannya membuat saya merasa terhubung dengan tradisi masyarakat Maluku yang kaya budaya.
Sebagai penutup, saya memesan Air Guraka, minuman hangat yang terbuat dari jahe dan gula merah, disajikan dengan taburan kacang kenari di atasnya. Sensasi manis dan pedas dari minuman ini memberikan kehangatan di tengah malam yang sejuk, menjadi pelengkap sempurna setelah seharian menjelajahi keindahan Ternate.
Selain memesan Air Guraka, saya juga mencicipi Jus Gandaria yang segar dari buah gandaria asli yang banyak tumbuh di Kepulauan Maluku. Rasa manis-asamnya yang khas memberikan sensasi kesegaran yang tak terlupakan.
Paginya sebelum kembali ke Jakarta, kami menyempatkan diri setelah sahur di hotel shalat subuh di Masjid Sultan Ternate (Sigi Lamo), yang dikenal sebagai Sigi Lamo. Masjid ini didirikan pada abad ke-15 oleh Sultan Zainal Abidin sebagai tempat ibadah utama bagi masyarakat Ternate. Arsitekturnya yang unik mencerminkan perpaduan budaya Islam dan lokal, menjadikannya sebagai salah satu ikon penting di pulau ini.
Saat memasuki area masjid, saya merasakan ketenangan yang menyelimuti tempat ini. Masjid ini memiliki aturan unik yang membedakannya dari masjid lainnya. Saya melihat bahwa setiap pria wajib mengenakan celana panjang dan penutup kepala. Dalam hati saya bertanya-tanya, mengapa begitu ketat?
Imam masjid menjelaskan bahwa semua aturan ini berakar dari petuah leluhur, yang berusaha menjaga kesucian tempat ibadah. Sebagai seorang pengunjung, saya merasa terhormat bisa menjadi bagian dari tradisi ini, meskipun saya harus menghormati larangan bagi perempuan untuk beribadah di sini demi menjaga kekhusyukan.
Perjalanan ini bukan sekadar wisata, tetapi juga sebuah pelajaran sejarah dan budaya yang memperkaya jiwa. Ternate, dengan benteng-benteng bersejarah dan kuliner khasnya, adalah destinasi yang wajib dikunjungi, terutama di bulan Ramadan yang penuh berkah ini.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI