Mohon tunggu...
Mery Indriana
Mery Indriana Mohon Tunggu... Administrasi - swasta

penyuka senja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mungkin Kita Berjalan Terlalu Jauh

26 Februari 2021   16:55 Diperbarui: 26 Februari 2021   16:57 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi awam, kehadiran media sosial facebook di Indonesia sekitar tahun 2008 (di negara lain, lebih awal) membuat banyak orang hype (bersemangat bahkan tergila-gila). Mereka memposting apa saja di media sosial itu entah perasaan yang bersangkutan, apa saja yang dialami dirinya atau keluarganya, sampai ulang tahun nenek kakeknya juga ditampilkan.

Tak hanya itu, wall (dinding) di fb bagaikan dinding ratapan, kegembiraan bahkan caci maki sekaligus. Banyak orang berdoa di dinding itu sampai orang menyumpah serapah di dinding itu sehingga orang lain bisa terpecik kemarahannya sampai tersinggung. Emosi dan kepribadian orang sering tercermin dalam media sosial itu.

Lalu zaman berkembang. Generasi muda beralih dari fb ke twitter (dan fb sekarang sangat disukai oleh kaum boomers). Twitter yang awalnya hanya untuk 140 huruf saja (kemudian diperluas menjadi 280) adalah medsos dengan tipikal yang agak berbeda dengan FB. Jika FB bersifat naratif dan sering menampilkan yang gak penting-penting, di twitter justru orang menampilkan ide-ide yang penting-penting saja sekaligus tajam. Sehingga perang ide itu tak terhindarkan, muncul di twitter.

Namun delapan tahun terakhir ini, perang itu memang benar-benar terjadi. Si A dan gerombolannya (yang sering satu ide) melemparkan satu narasi di twitter yang kemudian dibalas oleh yang lainnya dan berlangsung secara massif, maka perang itu sungguh terjadi. Kejadian itu berlangsung nyaris di semua pilpres, beberapa pilkada. Mereka sering membawa isu agama dan herannya, laris.

Padahal agama sesungguhnya hal yang privat dalam kehidupan kita. Beberapa negara bahkan beberapa negara tidak mencantumkan kolom agama dan kartu identitasnya. Agama yang ada --semuanya- nyaris selalu mengajarkan kebaikan. Bagaimana Budha di pohon bodhinya mengajarkan kebaikan tanpa syarat kepada orang lain dan lingkungan. Begitu juga hindu yang mengusung Tri Hita Karana yaitu bagaimana kita punya hubungan yang baik dan seimbang dengan Tuhan, sesama dan alam. Begitu juga Kristen baik Protestan dan Katolik, islam dan kong Hu Chu. Bahkan Shinto dan beberapa agama di luar negara kitapun mengajarkan kebaikan.

Agama manapun (termasuk aliran kepercayaan) tidak pernah mengajarkan penyebaran fitnah dan mengadu domba seperti 'perang narasi' yang sering kita lihat di medsos itu. Peperangan yang tak jarang melibatkan kata kasar dan tidak sepantasnya diujarkan. Semua agama berbasis etika sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang bergantung pada kebaikan Ilahi dan harus memelihara hubungannya dengan sesama dan mahluk lain dalam kehidupan.

Karena itu, negara memang sudah sepantasnya untuk mengatur hal-hal yang mungkin secara tidak sadar kita berjalan terlalu jauh. Apalagi membawa agama sebagai konten dan demokrasi sebagai kendaraan pembenar bahwa kita layak untuk mencerca pihak lain yang mungkin tidak kita setujui. Ditambah media sosial sebagai jalan tol untuk memuluskan cercaan itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun