Mohon tunggu...
Mery Indriana
Mery Indriana Mohon Tunggu... Administrasi - swasta

penyuka senja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pentingnya Menjaga Narasi Virtual Kita

20 Juni 2019   20:11 Diperbarui: 20 Juni 2019   20:26 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu, sekelompok masyarakat peduli narasi menyatakan bahwa ujaran-ujaran yang dilakukan oleh masyarakat di media sosial umumnya mengandung unsur kekerasan. Setelah ujaran itu umumnya satu pihak terpancing dan kemudian timbul perbantahan dan kemudian tercetus ujaran-ujaran yang lebih kasar dan kemudian perbantahan lagi, dan biasanya diakhiri dengan putusnya persahabatan atau pertemanan.

Fenomena ini amat jelas bisa dilihat saat tahun politik yang berlangsung sejak 2018 (Pilkada) sampai 2019 (Pilpres). Masa kampanye yang relative panjang (lebih dari setengah tahun) membuat perbantahan semakin ramai di media sosial. Perbantahan itu kerap membawa ujaran yang kasar dan menjurus pada perpecahan bangsa. Mereka umumnya yakin pada pilihannya masing-masing dan menjagokannya dengan segala cara. Mereka juga berupaya sekuat tenaga berusaha menjatuhkan lawan dengan narasi narasi yang kadang hitam bercampur fitnah.

Beberapa orang terjaring karena ujaran-ujaran itu. Yang berisi fitnah dan tidak berdasar umumnya diciduk oleh polisi dan kemudian divonis bersalah. Beberapa lainnya hingga kini diproses oleh pengadilan. Artis Ahmad Dani misalnya, telah dijerat UU ITE dengan tuduhan ujaran kebencian  dan divonis 1 tahun penjara. Ahmad Dani sempat melontarkan ujaran idiot kepada pendukung satu capres. Seperti diketahui umum, Dani mendukung satu capres lainnya.

Sebelumnya yaitu pada saat Pilkada Jakarta pada tahun 2016-2017 (dua putaran), perbantahan dan saling serang antar pendukung kontestasi lebih parah lagi. Apalagi salah satu calon gubernur tersandung ucapan ujaran kebencian yang akhirnya membawanya divonis 2 tahun penjara. Saat itu para pendukung yang saling serang menggunakan isu Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA) yang amat kasar. Narasi-narasi serangan itu mengandung kebencian ke pihak yang berbeda dan disampaikan secara terus menerus di masjid-masjid (ketika salat Jumat), di media massa termasuk televisi dan media sosial.

Sehingga kita bisa membayangkan atmosfer yang terbangun ketika itu adalah ketidaksukaan masyarakat ke cagub yang notabene non-muslim dan non pribumi. Ujaran kebencian itu berlangsung terus menerus dari pagi hingga pagi lagi. Para remaja yang notabene belum punya hak pilih dengan serta merta merekam dengan seksama apa yang terjadi di sekelilingnya. Mereka menyerap residu. Residu itu akan menjadi batu ganjalan bagi persatuan Indonesia.

Narasi-narasi yang disuguhkan pada tahun 2018 sampai tahun 2019 baik di kampanye langsung maupun di media sosial (virtual) sejatinya adalah benih perpecahan yang ditebarkan pada bangsa yang semula rukun, kini kian terpolar karena adanya perbedaan. Perbedaan yang dulu harusnya menjadi pupuk penumbuh dan pemersatu, dimana Indonesia memang dibangun berdasarkan perbedaaan kini perbedaan seakan jurang yang tak bisa menyatukan dua daratan.

Karena itu sebaiknya kita mengkaji lagi ujaran-ujaran kita di media sosial. Apakah mengandung kekerasan? Apakah akan berpengaruh pada persatuan kita sebagai bangsa karena narasi itu mengandung ujaran-ujaran perpecahan. Mari kita melihat ke belakang sebentar dan menata kembali narasi-narasi yang sudah kita lontarkan pada masa lalu dan memperbaikinya di masa akan datang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun