Mohon tunggu...
Merie Barus
Merie Barus Mohon Tunggu... Mengajar

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kiko dan Akar Rembulan

21 September 2025   10:02 Diperbarui: 21 September 2025   10:02 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah negeri yang subur bernama Republik Akar Wangi, hiduplah seorang Kaftar bernama Kiko. Kaftar adalah ras makhluk yang berjalan tegak dengan dua kaki, memiliki sisik-sisik halus berwarna tembaga seperti trenggiling, dan moncong mungil yang selalu bergerak-gerak, seolah terus-menerus mencicipi aroma di udara. Rumah Kiko, seperti semua Kaftar lainnya, adalah sebuah liang yang nyaman di bawah tanah, diukir di antara akar-akar pohon Gintangan raksasa.

Kiko punya dua gairah dalam hidupnya: memasak dan jajan. Dapurnya adalah jantung rumahnya, dipenuhi toples-toples berisi rempah kering, umbi-umbian aneka warna, dan biji-bijian beraroma. Setiap tiga bulan sekali, ia akan melakukan ritual sucinya: Pesta Belanja Triwulan. Dengan kantong kulit yang penuh dengan 'Keping Umbi'---mata uang resmi Akar Wangi yang terbuat dari fosil akar berharga---ia akan pergi ke Pasar Tumpah di pusat kota dan memborong semua bahan yang ia perlukan.

Hari itu adalah hari Pesta Belanja. Kiko bersenandung riang, kantongnya terasa berat dan memuaskan. Ia sudah membayangkan aroma Kue Akar Manis yang baru diangkat dari panggangan, dan renyahnya Keripik Jamur Embun yang hanya dijual di pasar.

Namun, suasana pasar hari itu berbeda. Udara yang biasanya penuh tawa dan aroma masakan, kini terasa dingin dan tegang. Di setiap sudut berdiri sosok-sosok berarmor kelabu kusam, seukuran Kaftar tapi dengan wajah manusia yang dingin tanpa ekspresi. Mereka adalah Garda Numismarian, utusan dari Raja Valas dari dunia seberang. Kuda-kuda mereka yang aneh, tanpa bulu dan bermata pucat, mendengus pelan, seolah ikut mengawasi.

Kiko mencoba mengabaikannya dan menghampiri lapak Bu Gembili, penjual Kue Akar Manis langganannya.

"Bu Gembili, kuenya sepuluh, ya! Ini Keping Umbinya," ujar Kiko sambil menyodorkan beberapa keping uangnya yang berkilau.

Bu Gembili menatap Kiko dengan pandangan sedih. Ia menggeleng pelan. "Maaf, Kiko. Keping Umbi tidak laku lagi." Ia menunjuk sebuah papan pengumuman yang dipaku kasar di tiang lapaknya. 

"HARUS MENGGUNAKAN KOIN STEMPEL."

Hati Kiko mencelos. Ia melihat ke sekeliling. Semua transaksi macet. Para pedagang tampak lesu, para pembeli kebingungan. Uang yang mereka kumpulkan seumur hidup, Keping Umbi yang menjadi simbol kerja keras dan kemakmuran Republik Akar Wangi, dalam semalam berubah menjadi kepingan fosil tak berharga. Raja Valas telah melakukan invasi tanpa sebilah pedang pun; ia hanya mengganti nilai, dan seluruh negeri lumpuh karenanya. Kiko pulang dengan kantong yang masih berat, namun hatinya terasa kosong dan ringan oleh keputusasaan.

Minggu-minggu berlalu dalam kesuraman. Dapur Kiko yang riang kini senyap. Persediaannya menipis. Tak ada lagi jajan, tak ada lagi belanja. Seluruh negeri menderita. Para Garda Numismarian menguasai pasar, mengendalikan pasokan, dan hanya mereka yang memiliki Koin Stempel---yang didapat dengan menukar aset berharga atau bekerja untuk mereka---yang bisa makan. Itu bukan transaksi, itu adalah perbudakan terselubung.

Suatu malam, dengan perut yang keroncongan, Kiko duduk di dapurnya yang gelap. Ia memandangi toples-toplesnya yang hampir kosong. Kesedihan karena tidak bisa memasak terasa lebih menyakitkan daripada rasa lapar itu sendiri. Tiba-tiba, ia teringat dongeng neneknya tentang harta sejati Akar Wangi. Bukan Keping Umbi, bukan emas, melainkan karunia dari tanah itu sendiri. Salah satunya adalah Akar Rembulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun