"Pohon Sumpah."
Dua kata itu menggantung di udara yang remang, terasa lebih dingin dari embusan angin malam. Semua sisa keberanian yang kupupuk selama ritual tadi seakan menguap, digantikan oleh rasa takut yang primal. Rasa takut yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui cerita-cerita pengantar tidur yang kelam.
"Tempat orang membuang sial..." ulangku, lebih seperti bisikan pada diri sendiri. "Apa maksudnya, Nde?"
Ibu menarik napas dalam-dalam, matanya menerawang.Â
"Dulu, kalau ada orang yang merasa hidupnya terus-menerus sial, sakit-sakitan, atau merasa diikuti roh jahat, mereka akan datang ke pohon itu. Mereka membawa persembahan kecil, lalu 'memindahkan' kesialan mereka ke sana. Makanya, tempat itu energinya berat. Bukan tempat yang baik untuk roh yang tersesat seperti Tima."
Aku terdiam, mencerna kengerian dari informasi itu. Jadi, Tima tidak hanya terjebak di dasar jurang, ia terjebak di sebuah "terminal" energi negatif, dikelilingi arwah-arwah buangan. Dan petunjuknya mengarah tepat ke jantung kegelapan itu.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Setiap kali aku memejamkan mata, aku melihat pohon raksasa dengan akar-akar yang menjalar seperti jari-jemari keriput, siap mencengkeram siapa saja yang mendekat.
Pagi datang membawa serta beban tanggung jawab. Kabut tipis masih menyelimuti kampung, tapi kami tidak bisa menunda lagi. Setelah berdebat singkat, kami sepakat. Kebenaran, sepahit apa pun, harus disampaikan. Aku, ditemani Ibu dan Bapak, berjalan menuju rumah Kepala Desa.
Pak Ginting, Kepala Desa kami, adalah orang yang agamais. Ia mendengarkan penjelasanku dengan saksama, dahinya berkerut dalam. Aku menceritakan semuanya, kecuali bagian ritual. Aku hanya berkata bahwa aku mendapat petunjuk ini dari "firasat kuat" setelah mengunjungi ibu Tima.
"Pohon Sumpah, katamu?" ujarnya skeptis.Â
"Daerah di bawah Titi Dorek itu medannya sulit. Curam, licin. Terlalu berbahaya untuk menurunkan orang banyak hanya karena firasat."