Rasa pahit dan getir dari belo yang kukunyah perlahan menyebar di seluruh rongga mulutku. Aku memejamkan mata, membiarkan kegelapan di balik kelopak mataku menjadi satu-satunya pemandangan. Peringatan ibu barusan masih terngiang, tajam dan dingin, menjadi pagar betis terakhir untuk pikiranku.
Sepanjang senja itu, kami bertiga beriringan ke pondok Titi Dorek. Di ujung jembatan, pondok lusuh, tempatku dan Tima berbaring sepulang sekolah. Sejauh itu juga, suara jangkrik dan embusan angin terdengar menjauh, meredup, seolah ditarik paksa dari pendengaranku.
Yang tersisa hanyalah keheningan. Dan di dalam keheningan itulah aku mulai memanggilnya.
Bukan dengan suara, tapi dengan batin. Aku memanggil namanya berulang kali, menarik kenangan tentangnya ke permukaan: Tima yang tertawa terbahak-bahak, Tima yang menangis marah sambil merobek bukunya, Tima yang berlari dengan abit datas dan uis nipes male-male menutupi bahunya. Aku memanggilnya dengan segenap rasa rindu dan bersalah yang kupendam selama sepuluh tahun.
"Tima, tertima kel kam ndube. Sekalak i bas tengah berngi."
(Tima, kamu sudah menunggu lama. Sendiri dalam pekat malam)
Awalnya tidak ada jawaban. Hanya kegelapan yang terasa semakin pekat dan dingin. Aku terus mencoba, memfokuskan pikiranku pada satu titik: Titi Dorek. Jembatan itu. Sungai di bawahnya.
Lalu, sesuatu menjawab.
Bukan suara Tima.
"Kai nge ndia daramindu, Kempu? Mari ikutken aku."
(Apa gerangan yang kaucari, Cucu? Marilah ikut aku)