Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jin Menurut Kepercayaan Orang Bali

16 Agustus 2017   11:04 Diperbarui: 16 Agustus 2017   11:13 19385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Keberadaan mahkluk gaib atau mahkluk astral, baik yang jahat maupun yang baik dikenal oleh masyarakat di berbagai kebudayaan dunia. Dalam tradisi Veda dikenal Sura dan Asura; Sura termasuk golongan mahkluk suci yang dominan sifat baiknya yaitu para dewa, seperti; aditya, astavasu, para rsi surga, prajapati, gandarwa (artis kahyangan), vidyadara-vidyadari dan para pitra (roh leluhur). Sedangkan Asura atau Paisaca-paisaci termasuk golongan mahkluk astral dominan jahat, seperti, Detya, Raksasa, dan lain sebagainya. Baik asura maupun sura sama-sama memuja Tuhan: Mahadewa, dewanya dewa. Akan tetapi ketika Asura mendapat karunia dari dewanya dewa, mereka cenderung menyalahgunakan karunia itu, ingin menguasai alam surga atau alam para dewa, bahkan membangkang pada Tuhan. Dalam teks-teks mitologi Hindu, terutama dalam kitab purana seringkali nama mahkluk gaib ini berakhiran sura, seperti Mahesasura, Durgasura, Tarakasura, Tripurasura, dslb. 

Bila kita cermati mitologi Hindu, asura maupun sura sama-sama ciptaan Tuhan dan sama-sama memuja Tuhan. Akan tetapi mereka bermusuhan, bahkan permusuhan mereka abadi, walau terkadang bekerja sama seperti pada kisah pemutaran gunung mandara. Menariknya, asura dan sura menjadikan manusia sebagai tempat reinkarnasi atau medan penjelmaan, sehingga permusuhan mereka itu juga terjadi diantara manusia seperti kisah-kisah yang terdapat dalam Itihasa Ramayana dan Mahabharata.

Kita sebagai masyarakat Indonesia sering mendengar istilah Jin, istilah yang berasal dari ajaran Islam. Katanya, jin merupakan turunan dari Iblis, dan kemudian mereka beranak pinak sebagaimana layaknya manusia. Mereka memiliki jenis kelamin dan tinggal di berbagai tempat, seperti batu, kuburan, tempat kotor, pohon, dan lain sebagainya. Jin bisa melihat manusia, tetapi manusia tidak bisa melihatnya.

Bila kita cermati tentang Iblis dan Jin dari ajaran Islam, sepertinya yang dimaksud Iblis dalam ajaran Hindu adalah golongan Asura seperti daitya, raksasa, dslb. Sedangkan jin merupakan turunannya, mereka dominan jahat akan tetapi ada pula yang baik. Dalam budaya Bali terdapat berbagai istilah untuk menyebut bangsa Jin ini, seperti Samar Agung, Wong Samar, dan sebagainya. 

Di tempat saya disebut Sang Wengi atau adakalanya dipanggil Pekak Wengi (kakek malam).  Dalam ajaran Hindu, mahkluk gaib jenis ini diijinkan beraktivitas pada malam hari, sedangkan manusia pada siang hari. Oleh karena itu manusia tidak baik bekerja pada malam hari. Hal ini bisa kita buktikan dengan beberapa kejadian, bahwa jin seringkali dapat dilihat oleh orang yang memiliki kemampuan kusus pada saat sandi kala (mahgrib) dan menjelang pagi hari. Kemungkinan saat mahgrib baru mau keluar rumah, sedangkan pagi hari mau pulang ke rumahnya. Hal itu sesuai juga dengan nama lokalnya yaitu Sang Wengi: Sang merujuk pada suatu sosok, sedangkan wengi artinya malam. Bila diterjemahkan bebas menjadi mahkluk gaib yang menguasai malam.

Berdasarkan tradisi di Bali, golongan mahkluk gaib yang benar-benar sakti dengan kekuatan negatif disebut Kala atau Bhuta Kala, kemungkinannya ini tergolong iblis. Terdapat beberapa nama mahkluk gaib jenis ini seperti Kala Dengen, Kala Mertyu, dan lain-lain. Akan tetapi mahkluk gaib ini justeru menjadi bagian dari pasukan dewa, unen-unen, ancangan beliau.  

Mereka sering mengganggu kegiatan keagamaan sehingga setiap umat Hindu melaksanakan suatu ritual selalu membuat banten caru untuk bhuta kala; ritual panulak atau penjinak kala, nyomia bhuta. Bahkan dalam persembahan keseharian juga wajib mempersembahkan persembahan untuk golongan mahkluk gaib ini supaya tidak mengganggu, tujuannya untuk nyomia; menetralisir kekuatan negatif, bukan menyembah.  

Biasanya yang diberi persembahan itu adalah Kala Bucari (di tempat pintu keluar), Bhuta Bucari (di lebuh, pusat halaman rumah), dan Durga Bucari (di tepi jalan dekat pekarangan). Bilamana pekarangannya tergolong karang panes, ditambah lagi persembahan di palinggih Sanghyang Indra Belaka atau Rajanya Kala (rajanya iblis) yang merupakan perwujudan negatif dari Bhatara Shiwa. Bila kita cermati kisah Purana, sepertinya yang dimaksud Sanghyang Indra Belaka adalah Mahakala. Semua jenis jin, butha-kala, tunduk pada beliau.

Jin dalam budaya Bali kekinian juga dibuatkan palinggih. Menurut seorang teman di media sosial palinggih mereka disebut palinggih Kalimaya. Di tempat saya disebut Palinggih Sang Wengi. Pembuatan palinggih jin tersebut sebagai penanda ataupun pengayingan agar lebih mudah memberikan persembahan. Konsep yang diterapkan di Bali dengan mahkluk gaib ini adalah dengan persahabatan, bukan permusuhan, tidak seperti yang dilakukan pemeluk Islam murni yang cenderung memusuhi jin dengan doa-doa yang diambil dari Alquran. Menurut seorang teman, dalam budaya Jawa atau kejawen, jin juga diperlakukan bukan dengan permusuhan melainkan serupa dengan cara di bali, yaitu dengan persahabatan,  berdamai dengan mereka. Persahabatan yang dimaksud bukan bersekutu dengan jin melainkan saling menghormati keberadaan masing-masing.

Cara mempersembahkan persembahan kepada Sang Wengi berbeda dengan pemujaan kepada Dewa. Untuk Sang Wengi cukup hanya dengan ngayabang, jangan menyembahnya karena hampir setara dengan manusia. Doanya didahului dengan kata 'Mantra Ih.. .' Umpamanya; 'Mantra Ih Sang Wengi, iki tadah sajin nira'. Sedangkan doa untuk dewa didahului dengan kata 'Mantra Om..' 

Menurut kepercayaan masyarakat lokal, pada umumnya rumah Sang Wengi ada di pohon yang sudah tua, adakalanya pula ditandai dengan rerumputan yang bisa bertahan puluhan tahun, seperti rumput 'belu'. Juga tinggal di batu, pundukan (bukit kecil),  dan paling banyak berada di goa yang ada di jurang. Katanya, mereka yang tinggal di jurang cenderung jahat, sedangkan yang tinggal di bukit kecil memiliki kekuasaan di alam mereka, menjadi penguasa. Oleh karena itulah Sang Wengi yang tinggal di bukit kecil seringkali diajak bersahabat oleh manusia, karena sifat baiknya dominan. Dalam kepercayaan Islam, ada juga istilah jin Islam (jin yang beriman) dan Jin Kafir (jin jahat), ada juga Jin Qarin, jin pendamping manusia. Bahkan Nabi Muhamad memiliki jin pendamping, akan tetapi jin pendamping tersebut tunduk pada nabi. Bahkan konon nabi Sulaiman dibantu jin dalam perang.

Terkait tempat keramat, semakin curam suatu tempat, misalnya jurang, yang bersemayam disana mahkluk gaib yang rendah derajatnya. Sebaliknya semakin tinggi atau semakin suci suatu tempat, maka yang berdiam di sana mahkluk suci yang tinggi derajatnya, seperti Dewa Hyang (leluhur), Bhatara Kawitan dan Dewa. Oleh karena itu kita banyak menemukan pura pemujaan untuk leluhur berada di perbukitan. 

Sedangkan di gunung banyak kita temukan pura untuk pemujaan dewa. Itu pula sebabnya pura Kahyangan Tiga yang pertama dan utama terdapat di gunung Agung yaitu pura Dalem Puri untuk pemujaan Dewi Durga dan Dewa Shiwa, serta roh leluhur, sedangkan untuk pemujaan dewa Wisnu dan dewa Brahma menjadi satu di pura Puseh-Desa yaitu di Besakih. Di samping itu, semua pura untuk bhatara Kawitan juga terdapat di komplek pura Besakih. Meski demikian, banyak pula pura ditemukan di dataran rendah, biasanya berada di kawasan suci, seperti dekat sumber air klebutan, di dekat danau, di tepi lautan, dan sebagainya.

Di beberapa kebudayaan dan tradisi kuno, banyak yang masih mempertahankan pemujaan kepada gunung. Sebenarnya yang dipuja bukan gunungnya melainkan roh-roh suci yang berada di gunung. Di bumi, dewa tertinggi (Tuhan) singgasana-Nya berada di puncak gunung tertinggi di dunia. Dalam kepercayaan Hindu, di bumi dewa Shiwa kahyangan-Nya di puncak Himalaya. Di tubuh manusia beliau bersemayam di dalam lubuk hati sebagai Siwaatma atau Paramaatma. Di alam gaib, beliau singgasana-Nya di Shiwa loka atau Brahma Loka (alam Tuhan), jauh lebih tinggi dari posisi svarga loka (surga).

Menurut bapak saya, berdasarkan kepercayaan masyarakat lokal secara turun temurun jin sering hadir dalam mimpi dengan berbagai simbol atau perwujudan, baik berwujud manusia tak dikenal maupun binatang, terutama ular. Menariknya, hal ini ternyata selaras dengan keterangan ajaran Islam. Dimana jin  mengambil wujud manusia, maupun binatang, terutama ular. Ada berbagai kejadian menarik terkait dengan jin atau sang Wengi ini yang sering dialami keluarga saya, terutama kehadirannya dalam mimpi.

Suatu ketika nenek saya jatuh sakit, ternyata sakitnya akibat diganggu Sang Wengi (jin). Jin ini mengganggu nenek karena kakek salah menempatkan sesuatu di jalan niskala, jalan yang tak tampak (jalan jin itu). Setelah diobati secara non-medis oleh bapak saya, datanglah jin baik merasuki tubuh paman saya. Paman saya galak beringas mengambil kayu bakar, katanya jin yang memasuki paman saya itu mengusir jin lainnya yang jahat. Ceritanya Jin jahat itu digebukin oleh jin baik, jin ini ada palinggihnya di kebun nenek saya di sebuah pundukan (bukit kecil). Sedangkan yang digebukin rumahnya di batu dekat pangkung, sungai kering. Hal ini mengajarkan bahwa jin itu memang ada yang baik ada yang jahat, bahkan mereka memiliki sistim pemerintahan layaknya manusia.

Nenek saya pernah bercerita, katanya pernah mimpi berdebat dengan Jin. Dalam mimpi itu ada dua orang suami-isteri membawa periuk menghampiri nenek. Mereka marah-marah karena nenek salah menempatkan kayu pada jalannya. Nenek berbalik membalas bahwa tanah yang dilewati itu milik nenek. Mimpi ini mengambarkan bahwa barang atau benda yang dimiliki seseorang bila ditempatkan pada jalan mereka bisa mengganggu kehidupannya meskipun jalannya tidak tampak oleh mata biasa, hal ini bisa menimbulkan penyakit, sakit karena pemali.

Bapak saya juga sering mimpi yang ada hubungannya dengan Jin. Yang menarik, katanya pernah mimpi bertempur habis-habisan dengan orang tak dikenal (jin), lalu ada sabda bahwa jin itu bisa dibunuh dengan suatu mantra. Lalu diberi mantra untuk membunuh jin itu. Belum selesai mantranya keburu bangun. Hal ini mengajarkan bahwa Sang Wengi (jin) bisa mati. Ternyata hal ini selaras dengan kepercayaan Islam bahwa jin bisa mati. Bila mati kemungkinan reinkarnasi menjadi mahkluk lebih rendah.

Ibu saya beberapa kali pernah mengalami kejadian unik tentang jin. Seperti menabrak Jin, berpapasan dengan mobil jin. Ceritanya begini. Saya nyetir bawa mobil mau ke pasar beda kabupaten. Di tempat sepi, sepertinya tempat keramat, tiba-tiba ibu saya berteriak. Ternyata ibu saya melihat sosok lewat dan mengaduh karena kena tabrak mobil. Kemungkinan jin itu tidak bisa menembus mobil karena mobilnya disakralisasi atau dibuatkan ritual. Oleh karena itu benar adanya di tempat keramat kalau lewat sebaiknya membunyikan klakson, kasihan nanti jinnya kena tabrak bila kebetulan lewat. Di lain waktu, mau kirim barang beda kabupaten juga, sekitar jam empat pagi. Di suatu tempat yang sepi berhutan pada jalan menurun, tiba-tiba ibu saya bilang, 'Minggirkan mobilnya ke kiri, minggirkan!' Pinta ibu.

'Wuah tumben ibu bisa mengkoreksi saya bawa mobil' batinku. Karena saat itu saya memang sudah hampir di jalur kanan. Setelah menoleh ke ibu ternyata ibu saya memejamkan mata, seperti tertidur. Lalu ibu saya tersadar, 'Loh! Tadi ibu melihat mobil berpapasan dengan kita saat kehilangan kesadaran' ujarnya kaget.

Saya sendiri pernah mengalami hal unik dalam mimpi tentang Jin. Suatu pagi sebelum matahari terbit, saya tidur-tiduran di mobil menunggu ibu. Tiba-tiba mengantuk berat, lalu hilang kesadaran, setengah tidur (pikiran sadar tak bekerja, pikiran lain yang bekerja). Saya melihat di sekitar saya cuacanya samar-samar mulai terang, lalu lewatlah gadis cantik seorang diri, tidak ada siapa-siapa di sekitar saya kecuali gadis itu. 'Hai..' ujarnya sambil menarik pintu mobil. Lalu saya tersadar. Kaget juga dibuatnya, ternyata aslinya ramai dan matahari belum terbit serta tidak ada gadis cantik di sekitar saya. Saya menduga wanita itu Jin yang menyapa saya.

Menurut seseorang yang pernah hilang beberapa hari disembunyikan jin, selain jin memiliki rumah, mereka juga memiliki pasar. Bahkan ada yang  berpendapat bahwa harga hasil pertanian akan naik bila kebutuhan makanan di dunia jin berkurang. Saya pernah mimpi berkaitan dengan pasar di alam gaib. Waktu itu saya parkir di sebelah barat pasar desa B sekitar jam lima pagi. Entah apa sebabnya tiba-tiba mengantuk berat. Lalu mimpi berada di pasar B itu, agak berbeda bentuknya, disana ramai juga ada orang-orang yang tak pernah dilihat sebelumnya. Saya disuruh meminggirkan mobil yang diparkir karena saya parkir menginjak tikar dagangan orang tak dikenal tersebut. Lalu saya berpindah ke arah barat. Setelah sadar dari mimpi lelahnya membuat dada terasa sesak. Sepertinya mimpi ini bukan menggunakan bahasa simbol melainkan bahasa isyarat bahwa di tempat saya parkir ada pasar di dunia lain juga, hanya saja posisinya lebih di barat. Tidak sama posisinya dengan pasar manusia.

Pernah juga memiliki pengalaman horor tentang jin, ceritanya begini: 

Pada saat sandi kala (maghrib), saya jalan kaki seorang diri di jalan yang dikenal keramat. Hari sudah gelap dan saya tidak membawa lampu. Untuk mengurangi rasa takut saya berbekal kayu sebagai tongkat. Perjalanan berlanjut menuju arah selatan. Tiba-tiba saya melihat keranjang berisi rumput pakan sapi tergeletak menghalangi jalan dekat pohon bambu yang cukup lebat. Saya lewati keranjang itu dan tiba - tiba bulu kuduk merasa merinding. Lalu saya menoleh ke belakang. Ajaib! Keranjangnya menghilang. Saya mulai menyadari bahwa keranjang tadi itu mahkluk gaib bersiluman menjadi keranjang. Lalu saya pukulkan tongkat di sekitar tempat keranjang tadi tiga kali, siapa tahu mahkluk gaib itu masih ada disana dan bisa kena saya hajar.

Saya mulai setengah sadar dari mimpi tetapi belum terbangun seutuhnya; antara sadar dan tidur. Saya merasa ada mahkluk gaib, Jin di samping kanan saya. Anehnya mau bicara tidak bisa, kemudian berusaha memanggil bapak saya yang sedang tidur di kamar sebelah, akan tetapi mulutku seakan terkunci. Untuk mengatasi hal itu saya berusaha rileks sembari berjapa mantra; mengucapkan nama suci Tuhan dalam hati secara berulang, 'Om Namah Shiwa Ya'. Sesaat kemudian mulai bisa bicara namun belum bisa sadar seutuhnya, lalu saya memanggil bapak saya yang biasa dipanggil guru, 'Ruu.. ruu.. ruu'

Tampaknya bapak saya tidur nyenyak, namun bersyukur ibu saya mendengar panggilan saya. Ibu kemudian masuk ke kamar saya, anehnya saya kembali tidak bisa bicara seperti orang bisu, hanya bisa wawa-wewe. Selain itu, penglihatan mata saya di sebelah kanan terasa gelap, tidak bisa melihat apa-apa karena di samping kanan saya merasa ada mahkluk gaib yang menempel. Mau mengatakan hal itu pada ibu saya tetap tidak bisa bicara, hanya bisa menunjuk ke arah kanan saya, bermaksud menjelaskan di sebelah kanan ada mahkluk gaib, jin. Ibuku semakin bingung melihat apa yang saya alami. Lalu beliau menarik lengan saya.

Akhirnya saya sadar dari mimpi. Ternyata apa yang saya alami hanya mimpi; mimpi dalam mimpi, ada pula menyebutnya mimpi bertingkat. Saya mengira sungguhan ada jin bisa masuk ke rumah, padahal tak mungkin jin bisa masuk ke pekarangan karena rumah sudah disakralisasi. Tetapi ternyata hanya mimpi. Bangun dari mimpi itu terasa melelahkan. 

Mimpi tersebut saya yakin pertanda ada kendala dengan Sang Wengi (jin) karena dalam mimpi menyerempet ke hal-hal mahkluk gaib yang mengganggu tidur saya dalam mimpi. Untuk memperkuat dugaan saya, lalu saya gali dengan tenung tanya lara, hasilnya memang berkaitan dengan Sang Wengi. Hari mimpinya jatuh pada Saniscara Pahing nuju Urukung. Saniscara ngaran Sang Wengi (jin),  arahnya selatan. Pahing ngaran paon (dapur), arahnya selatan. Urukung ngaran rurung (jalan niskala), arahnya timur. Jumblah uripnya 9+9+5= 23:4=5, sisa 3, artinya manusa, memedi, sang wengi.

Dari hal tersebut bila disusun kalimatnya digabung dengan kronologi mimpinya menjadi; Rurung sang wengi di dangin jalan delod umah (Jalan niskala sang wengi di timur jalan di sebelah selatan rumah). Hal ini mengarah pada halaman rumah saya di luar pekarangan rumah. Kemarinnya sebelum tidur saya memakirkan semua kendaraan di halaman rumah yang diyakini dilalui jalan niskala (jalan di alam gaib). Mungkin karena saya yang memarkirkannya makanya saya diganggu atau diberi peringatan. Untunglah dalam mimpi saya ditolong ibu (simbol Tuhan Ibu), kalau tidak begitu saya bisa jatuh sakit.

Pernah juga menjelajah tempat keramat, menelusuri rumah Sang Wengi, Jin. Waktu itu, di tepi hutan saya bersama bapak, ibu, dan adik sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Di antara kesibukan itu saya teringat kemarin sempat menyuruh adikku untuk mencuci pakaian sembahyang saya. Ternyata, pakaian saya belum dicuci. Jengkel juga dibuatnya. Saya melihat kamben adikku juga belum dicuci padahal sudah direndam, lalu saya lemparkan kambennya ke tempat keramat.

Tak lama berselang, adikku mengambil kambennya sendirian. Tiba-tiba adikku berteriak, katanya ada bola api dekat pangkal pohon mangga yang sudah berumur hampir ratusan tahun. Adikku kemudian lari terbirit-birit ke arah timur laut, ke tempat keramat juga. Saya, bapak dan ibu, ingin melihat kebenaran itu. Lalu kami memberanikan diri melihat bola api yang dilihat adikku. Ternyata benar ada bola api sebesar bola kasti. Saya lempari bola api tersebut dengan batu, meski ada perasaan takut, takut-takut berani, berani karena ada bapak saya.

'Sugra pekak wengi' (maaf kakek jin) demikian ujarku saat melemparkan batu. Tak lama kemudian bapak saya mengajak ke arah selatan untuk menunjukan rumah sang wengi  (Jin) lainnya. Selain di dekat pohon mangga tua, ternyata masih ada rumah sang wengi di dekat rumput belu (sejenis rumput gelagah). Bapakku mengajak ke selatannya lagi. Masih ada lagi satu rumah sang wengi, di sebelah selatan, di samping pohon Buni.

Saya tersadar dari mimpi, merasa lelah sekali gara-gara diajak ke tempat keramat. Dari pengalaman, memang cukup melelahkan bila mimpi berada di tempat keramat, seakan-akan nyata habis jalan-jalan. Barangkali roh kita memang sungguh-sungguh berkelana ke tempat itu. Mimpi tersebut melambangkan saya berurusan dengan Sang Wengi, saya dituntun Bhatara Hyang Guru (simbolnya ayah). Saya mimpi seperti itu akibat kemarinnya mengobati kakek yang jatuh sakit dengan energi prana (baru belajar otodidak dari buku) dan berdoa kepada Bhatara Hyang Guru untuk kesembuhan kakek, serta meminta kepada Sang Wengi yang menyakiti kakek berkenan memaafkan kesalahan kakek karena kakek merabas pepohonan di tempat keramat.

Kamben adiknya yang hendak dicuci, saya lemparkan ke tempat keramat; melambangkan melemparkan sesuatu yang kotor, mengusir kekuatan negatif, mengusir kekuaran jin. Sedangkan kamben sembahyang saya melambangkan permintaan saya saat berdoa. Lalu saya melempari bola api dengan batu melambangkan uji coba untuk melawan sang wengi meski ada perasaan takut, takut tetapi berani karena hadirnya Bhatara Hyang Guru (Simbol Ayah-Ibu). Hal ini menyiratkan Tuhan mengabulkan doa saya, dan beliau menunjukan rumah Sang Wengi yang menyakiti kakek.

Sedikit berbeda dengan mimpi di atas, di bawah ini Jin muncul dalam mimpi sebagai ular, ceritanya sebagai berikut:Sedang sibuk membersihkan longsoran tanah di samping rumah pakai cangkul, datanglah om saya dari pihak ibu, biasa dipanggil Guru B, datang dari arah barat mengendarai motor Vario. Katanya, dia menemukan kucingku di jalan memakan sesuatu, lalu diboncengnya di depan motornya. Dari jauh saya melihat mahkluk yang ditangkap seperti kadal bentuknya, sebagian sudah masuk ke dalam perut, sebagian masih di mulutnya hingga pipi kucingku kembung.

Saat mau diambil kucingnya, yang dikulum pada mulutnya ternyata ular agak besar tetapi pendek. Saya terkejut bukan main, dan kucingnya dilepas karena saya kaget. Kucingku lalu lari ke kandang sapi milik kelompok tani. Ularnya ditinggal di kandang sapi, arahnya di barat daya rumahku.Tak lama kemudian datang kembali kucingku. Dan tersadar dari mimpi, tetapi belum begitu paham maksudnya. Hal itu menimbulkan tanda tanya dalam hati, sepertinya ada sesuatu hal penting yang ingin disampaikan melalui mimpi.

Beberapa saat kemudian kembali mimpi. Dalam mimpi itu, ayah dan ibu saya bercerita tentang kemunculan Guru B dalam mimpi saya (mimpi bercerita tentang mimpi). Kata ibuku, Guru B muncul di dalam mimpiku karena dia akan sakit bila terus-terusan tak peduli dengan dewa kembar yang hendak dibuatkan upacara ngenteg linggih di keluarga besar kami karena dewa kembar akan murka pada guru B.

Paginya saya mencoba memaknai kedua mimpi itu. Dalam kenyataan guru B memang tidak peduli dengan kegiatan ngenteg linggih yang dilaksanakan keluarga besar kami. Makna mimpi ini bahwa Tuhan Ibu memberi tahu peristiwa yang akan menimpa guru B. Hal ini bermaksud menjelaskan mengapa guru B menjadi simbol mimpi saya. 

Yang menarik adalah mimpi pertama. Bila diterjemahkan masing-masing simbolnya maka maknanya sebagai berikut:Tanah longsor pertanda adanya orang sakit. Bila longsornya besar tandanya kematian. Tetapi disini membersihkan longsoran tanah berarti pertanda usaha menyembuhkan orang sakit. Siang tadinya, di jalan saya menjumpai seseorang yang jatuh baru belajar motor. Kakinya sampai bengkak cukup parah. Sambil menunggu dijemput mobil, saya mencoba memberikan energi prana, ternyata berpengaruh terhadap niskala, hal itulah yang disimbolkan membersihkan longsoran tanah.

Kucing simbol kala, ular simbol sang wengi, jin. Kucingku menangkap ular berarti kalan sang wengi (kemarahan Sang Wengi) telah dikendalikan. Kendaraan simbol palinggihan, bisa juga diartikan kedudukan atau kehormatan. Guru B menjadi pemangku dewa kembar. Jadi hal ini bermakna Palinggih Dewa Kembar. Ularnya dibuang di kandang sapi, artinya sang wengi meminta dibuatkan banten, ritual. Diambil dari makna sapi, sampi ngaran sampian, sampian ngaran banten atau ritual. Bisa juga bermakna ritualnya untuk memindahkan Sang Wengi. Jadi makna keseluruhannya bahwa orang yang jatuh membawa motor tersebut karena ada kendala secara niskala. Kendala itu karena ada palinggih dewa kembar bersinggungan dengan Sang Wengi sehingga sang Wengi marah. Dan meminta memindahkannya ke arah barat daya dengan dibuatkan banten atau ritual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun