Mohon tunggu...
merlinda riska
merlinda riska Mohon Tunggu... ASN Jakarta

ASN DKI Jakarta yang tertarik pada isu-isu urban dan sebelumnya berprofesi sebagai jurnalis ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

#JagaJakarta: Gema Ruang Digital yang Menjelma Gerakan Sosial

3 September 2025   14:15 Diperbarui: 3 September 2025   14:23 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aksi unjuk rasa yang melanda Jakarta pada 25--30 Agustus 2025 meninggalkan luka dan kekhawatiran di tengah masyarakat. Namun dari situ pula lahir sebuah energi baru: kampanye #JagaJakarta. Slogan sederhana ini menjelma menjadi seruan kolektif, mengikat kembali simpul-simpul solidaritas warga yang sempat tercerai-berai akibat konflik.

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno tak henti-hentinya menggaungkan kampanye #JagaJakarta di ruang digital maupun ruang publik, sekaligus membuka pintu kolaborasi kepada semua pihak agar Jakarta segera bangkit. Tak butuh waktu lama untuk membuktikan #JagaJakarta bukan sekadar jargon, ia segera menjelma jadi gerakan sosial.

Mulai dari individu, komunitas, hingga organisasi dan tokoh masyarakat di berbagai kecamatan menggaungkannya. Tokoh agama mengangkatnya dalam khutbah, sementara publik figur menyiarkannya di media sosial. Pemerintah kota pun bergerak kolaboratif, menjadikan kampanye ini sebagai simbol gotong royong membangun kembali Jakarta.

Di lapangan, berbagai elemen masyarakat bergotong royong, bekerja bakti memperbaiki fasilitas umum, membersihkan ruang kota, dan menenangkan suasana. Di ruang digital, tagar #JagaJakarta segera viral. Hingga 3 September 2025, tagar tersebut telah dipakai 131.000 unggahan di Instagram.

Perspektif Teori Kampanye Komunikasi Publik

Mengapa kampanye ini begitu viral? Menurut Rogers & Storey (1987), kampanye komunikasi publik adalah upaya terstruktur untuk memberi informasi, membujuk, dan memotivasi khalayak luas dalam periode tertentu. Sementara itu, diperkuat Rice & Atkin (1989) bahwa tujuan kampanye publik bersifat persuasif demi kepentingan masyarakat, dengan dukungan media massa maupun interaksi langsung.

Dalam kerangka teori ini, #JagaJakarta memenuhi syarat sebagai cause campaign. Pesan yang diusung jelas: menjaga Jakarta adalah tanggung jawab bersama. Medium yang dipakai pun relevan, dari unggahan media sosial hingga spanduk di jalanan. Efeknya terlihat bukan hanya dari viralitas tagar, tetapi juga dari perubahan perilaku warga, yakni munculnya aksi bersih-bersih bersama, patroli lingkungan, serta meningkatnya rasa saling peduli.

Opini Publik di Ruang Digital

Ruang publik digital memainkan peran sentral dalam kesuksesan kampanye. Media sosial hari ini bukan sekadar saluran komunikasi, melainkan arena pembentukan opini publik.

"Teori Spiral of Silence" dari Elisabeth Noelle-Neumann (1974) menyebutkan bahwa individu cenderung diam ketika pandangannya berbeda dari mayoritas karena takut terisolasi. Dalam konteks #JagaJakarta, dukungan kuat dari pejabat, tokoh agama, dan publik figur memperkuat opini dominan: menjaga Jakarta adalah sikap yang benar. Akibatnya, suara-suara yang mencoba memancing kerusuhan menjadi semakin tenggelam.

Alih-alih spiral keheningan, yang muncul justru spiral solidaritas. Warga beramai-ramai menyatakan diri sebagai bagian dari gerakan menjaga kota. Di sini, opini publik digital berfungsi sebagai pagar sosial, melindungi Jakarta dari provokasi lanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun