Mohon tunggu...
Fransiskus Batlayeri
Fransiskus Batlayeri Mohon Tunggu... Lainnya - Batlayeri.jr

Seorang perantau yang lahir dan besar di mabilabol, komplek kecil di Tengah kota Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Konsep Merdeka Belajar bagi Anak Papua di Tengah Situasi Konflik dan Pandemi Covid-19

8 Januari 2022   07:25 Diperbarui: 8 Januari 2022   20:34 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
anak-anak pengungsi Nduga saat belajar di camp pengungsian. Sumber: Jubi.co.id

Pengantar

Pendidikan menjadi senjata utama dalam pembangunan peradaban sebuah bangsa. Tanpa pendidikan niscaya manusia mendapat pengetahuan untuk membangun peradaban bangsanya. 

Pendidikan menjadi hal paling serius yang selalu dipersoalkan sebab kemajuan sumber daya manusianya tergantung pada pola pendidikan yang tepat sesuai dengan konteks setempat.

Situasi jaman sekarang memang sangatlah kompleks. Pendidikan diperhadapkan dengan sejumlah persoalan baik dari para pendidik maupun peserta didik itu sendiri. 

Para pendidik diharapkan untuk menemukan metode yang tepat yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman sehingga proses pendidikan yang berlangsug tidak bersifat monoton dan membosankan. 

Perlu adanya pembaharuan mungkin peninjauan kurikulum terus menerus sehingga penerapan pola pendidikan mampu mengangkat dan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas secara ilmu juga berkarakter secara moral. 

Dalam konteks pendidikan yang demikian di Papua perlu adanya suatu konsep inovasi pendidikan yang merangkul semua komponen sehingga pendidikan itu tidak hanya terjadi di sekolah sebagai lembaga sah pendidikan tetapi juga dapat diterapkan dalam berbagai lingkungan di tengah masyarakat.

Sejak awal mula bangsa Indonesia ini berdiri, para founding fathers negara mengerti betul bahwa pendidikan adalah kata kunci untuk mengisi tujuan hidup bangsa yang merdeka. Pendidikan menjadi instrumen utama dalam menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Akan tetapi pemerataan pendidikan di seluruh pelosok negeri menjadi kendala utama. Hal ini bisa dilihat dengan IPM (Indeks Prestasi Manusia) dari masing-masing provinsi. Persoalan ini menandakan bahwa pendidikan di negeri ini masih jauh dari yang di cita-citakan bersama.

Dengan sejumlah persoalan pendidikan yang begitu kompleks menteri pendidikan Nadiem Makarim meluncurkan program ‘merdeka belajar’. Proses pendidikan dengan filosofi ‘merdeka belajar’ ini mengharapkan suatu suasana belajar yang dimiliki oleh para siswa tidak terpaku pada kurikulum yang kaku melainkan bagaimana cara siswa menemukan sendiri metode belajarnya. Tentunya hal ini dibutuhkan pendampingan dari para guru. 

Diharapkan bahwa pendampingan para guru semakin membentuk karakter pendidikan yang berkualitas bagi para siswa bukan saja karena terpaut pada basis sistem kurikulumnya melainkan melalui pendekatan ‘merdeka belajar’ guru dapat mengetahui kemampuan siswa secara bertahap.

Situasi Konflik Di Papua

Papua merupakan ladang subur terciptanya konflik. Sebut saja konflik di Nduga, Intan Jaya, Yahukimo, Maybrat dan Pegunungan Bintang (Kiwirok). Konflik ini terjadi karena peristiwa baku tembak  antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang kerap juga disebut sebgai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dengan TNI.  

Konflik bersenjata ini tentunya  turut mempengaruhi sektor pendidikan bagi anak-anak asli Papua khususnya mereka yang berada di daerah-daerah Konflik itu ( Intan Jaya, Nduga, Kiwirok, dan Maybrat). Mereka yang terkena dampak langsung adalah kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak.

Melihat situasi konflik yang terjadi itu, rupanya menambah deretan panjang anak-anak Papua yang tidak bisa mengenyam pendidikan secara baik dan normal sebab mereka harus mengikuti orang tuanya ke hutan atau daerah lain untuk mengungsi (CNN Indonesia.com 03/09/21). 

Pada akhirnya situasi ini menyebabkan akses pendidikan tidak bisa disentuh oleh mereka. Deretan peristiwa ini rupanya memperparah sejumlah persoalan pendidikan di tanah Papua. 

Selain persoalan bangunan sekolah yang rusak dan guru yang jarang masuk juga persoalan konflik bersenjata memperparah kondisi pendidikan di tanah Papua. Wajar saja jika IPM nasional menunjukkan bahwa Provinsi Papua menempati urutan terakhir dengan capaian 60.44% (Bappenas.go.id).

Situasi konflik bersenjata yang memperparah dunia pendidikan dapat dilihat dari  gedung sekolah yang dibakar, dihancurkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. 

Contoh kasusnya adalah peristiwa konflik di Kiwirok (Pegunungan Bintang) kemarin. Sejumlah oknum membakar gedung sekolah bahkan fasilitas kesehatan juga ikut ludes terbakar (repubilka.co.id 19/09/2021). 

Akibat dari situasi konflik yang tidak bisa diredam maka dampaknya adalah banyak sekali anak-anak Papua yang tidak bisa mengenyam pendidikan dengan baik. 

Mereka harus keluar dari daerahnya dan pergi mengungsi. Mereka harus ikut bekerja keras untuk mencari nafkah dari pada mendapat akses pendidikan yang layak. Akhirnya hak atas pendidikan mereka kemudian terabaikan.

Dalam situasi konflik yang demikian bagaimana proses ‘merdeka belajar’ dapat diterapkan? Tulisan ini mencoba menelaah konsep ‘merdeka belajar’ bagi mereka yang terkena dampak konflik dan situasi pandemik covid-19.

Situasi Pandemi Covid-19

Merebaknya pandemi covid-19 di tanah air menerjang berbagai sektor publik yang ikut terkena dampak yang signifikan. Salah satu sektor yang terkena dampak paling serius adalah sektor pendidikan. 

Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan akhirnya menerapkan kebijakan belajar dari rumah atau learning from home (Chabibie, 2020). 

Demi mengurangi persebaran covid-19 pemerintah membuat kebijakan jaga jarak dan menghindari sentuhan langsung antara guru dan murid. Para murid dan para guru diberikan kemudahan untuk berinteraksi melalui teknologi. 

Pendidikan berbasis E-learning ini menjadi strategi baru dalam proses belajar mengajar. Para pendidik dan peserta didik diajak untuk bergerak cepat menyesuaikan diri dengan tantangan zaman dan teknologi yang ada. Dengan konsep yang demikian ‘merdeka belajar’ juga diharapakan dapat tercapai sesuai dengan target pemerintah.

Situasi pandemi covid-19 ini juga ternyata memperparah persoalan dunia pendidikan bagi anak-anak Papua terlebih khusus mereka yang berada di daerah pedalaman. 

Banyak guru yang tidak masuk dan menjadikan covid-19 sebagai alasan untuk tidak melaksanakan KBM (kegiatan Belajar Mengajar) di sekolah-sekolah. 

Mirisnya lagi dunia teknologi tidak bisa tersentuh oleh mereka yang ada di daerah pedalaman. Sehingga para murid ke sekolah hanya untuk bermain bola lalu kembali lagi ke rumah mereka masing-masing. 

Dalam konteks yang demikian hak anak Papua untuk mengenyam pendidikan tidak terpenuhi baik secara materi maupun pengetahuan (Jubi.id 4/05/2021). 

Akhirnya pendidikan di Papua kian terpuruk saat pandemi. Banyak sekolah ditutup karena Covid-19, anak-anak Papua tidak bisa belajar. Meskipun sudah dihimbau oleh dinas terkait agar para tenaga pendidik bertahan di pedalaman namun mirisnya hak-hak mereka jarang dipenuhi.

Dengan persoalan yang demikian kompleks bagaimana penerapan ‘merdeka belajar’ bagi anak-anak Papua di tengah konflik dan pandemik  covid-19 yang merebak ini?

Konsep ‘Merdeka Belajar’

Nadiem Anwar Makarim, menteri pendidikan dan Kebudayaan RI Kabinet Indonesia pada Hari Guru Nasional tahun 2019 silam mencanangkan program kebijakan baru yakni ‘merdeka belajar’. 

Pengertian ‘merdeka belajar’ ini dipahami sebagai unit pendidikan  yang memiliki kebebasan dalam berinovasi dan bertindak dalam proses belajar. Unit pendidikan itu diantaranya sekolah, guru-guru dan para murid. 

Dalam proses pendidikan dan pengajaran yang berlangsung guru sangat dianjurkan untuk tidak bersikap monoton dan masih menerapkan teacher centre yang mana dalam kegiatan pembelajaran di kelas semuanya berpusat pada guru (Tempo.co.id 13/12/2021).

Merdeka belajar berangkat dari keinginan agar output pendidikan menghasilkan kualitas yang lebih baik dan tidak lagi menghasilkan siswa yang hanya jago menghafal saja, namun memiliki kemampuan analisis yang tajam, penalaran serta pemahaman yang komprehensif dalam belajar untuk mengembangkan diri (Harian Birawa, 2020). 

Merdeka belajar versi Mendikbud dapat diartikan sebagai pengaplikasian kurikulum dalam proses pembelajaran haruslah menyenangkan, ditambah dengan pengembangan berpikir yang inovatif oleh para guru. 

Hal itu dapat menumbuhkan sikap positif murid dalam merespon pembelajaran. Dengan kata lain guru berperan menstimulus para murid untuk aktif dalam proses pembelajaran yang berkaitan dengan daya pikir, daya analisa dan daya kristis. Guru mampu menerjemahkan kurikulum dalam suasana kelas yang hidup. Suasana kelas yang aktif dari guru dan suasana kelas yang aktif dari para murid itu sendiri (Fathan, 2020).

Merdeka belajar merupakan proses pembelajaran alami untuk mencapai kemerdekaan. Diperlukan belajar merdeka terlebih dahulu karena bisa jadi masih ada hal-hal yang menghalangi rasa merdeka. 

Esensi ‘merdeka belajar’ adalah menggali potensi terbesar para guru dan siswa untuk berinovasi dan meningkatkan kualitas pembelajaran secara mandiri. Mandiri bukan hanya mengikuti proses birokrasi pendidikan tapi benar-benar inovasi pendidikan (Prayogo, 2020).

Inovasi Pendidikan

Inovasi pendidikan adalah inovasi dalam bidang pendidikan atau inovasi untuk memecahkan masalah pendidikan. Jadi, inovasi pendidikan adalah suatu ide, barang, metode yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat), baik berupa hasil intervensi (penemuan baru) discovery (baru ditemukan orang) yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan atau memecahkan masalah pendidikan nasional. Kolaborasi antara inovasi dan teknologi sangat membantu untuk belajar lebih banyak dan lebih baik tentang banyak hal. 

Misalnya metode belajar berbagai bahasa asing melalui media Youtube dan lain sebagainya. Cara belajar menggunakan teknologi ini sebagai inovasi yang mampu merangsang daya berpikir para siswa tentunya hal ini harus terus menerus diawasi oleh para guru atau orang tua sehingga tidak melenceng dari tujuan inovasi pendidikan itu sendiri (pintek.id 28/10/2021).

Karena besar dan kompleksnya masalah pendidikan serta karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki, tindakan inovasi atau pembaharuan sangat diperlukan. secara implisit, manajemen inovasi mengacu pada komponen perencanaan, pengawasan, pengarahan dan perintah. 

Dengan demikian tindakan inovasi berkaitan dengan tindakan mengatur kembali jenis dan pengelompokan pelajaran, waktu, ruang kelas, cara-cara menyampaikan pelajaran, sehingga dengan tenaga, alat, uang dan waktu yang sama dapat dijangkau jumlah sasaran murid lebih banyak dan dicapai kualitas yang lebih tinggi (Rusdiana, 2014).

Peran guru pada inovasi di sekolah tidak terlepas dari tatanan pembelajaran yang dilakukan  di kelas. Guru harus tetap memperhatikan sejumlah kepentingan siswa disamping harus memperhatikan suatu tindakan inovasinya.

 Langkah-langkah yang dilakukan  oleh seorang guru tidak terlepas dari beberapa aspek kompentensi yang harus dicapai seperti merencanakan pembelajaran, menerapkan pembelajaran, melaksanakan tugas-tugas administratif, berkomunikasi, mengembangkan kemampuan pribadi dan mengembangkan kemampuan peserta didik. 

Dalam hal ini guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan  kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di tujuan perubahan, mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan. 

Peran siswa dalam inovasi pendidikan adalah sebagai penerima pelajaran, pemberi materi pelajaran pada sesama temannya dan petunjuk bahkan guru (Rusdiana, 2004).

Konsep ‘Merdeka Belajar’ bagi Anak Papua

Situasi covid 19 dan situasi konflik di Papua menyebabkan banyak anak-anak Papua di pedalaman yang masih sulit mendapat akses pendidikan. Permasalahan ini menjadi pemicu maraknya pengangguran yang tinggi di Papua selain itu literasi yang minim mengakibatkan tingkat buta huruf yang tinggi. 

Bagaimana situasi yang demikian ini mampu mewujudkan konsep ‘merdeka belajar’ bagi anak-anak Papua? Untuk menjawab persoalan yang amat kompleks ini tentunya lembaga-lembaga besar seperti Kemendikbud dan Pemerintah setempat memiliki  yang besar untuk pemerataan pendidikan yang layak bagi anak-anak di seluruh Indonesia termasuk di Papua.  

Tidaklah muda menjadi tenaga pendidik di Papua dengan beragam persoalan. Selain kecerdasan para peserta didik yang harus terus menerus ditingkatkan melalui literasi, guru di Papua juga diperhadapkan dengan rasa nasionalisme anak murid yang begitu rendah. 

Psikologi anak-anak Papua tentang kemerdekaan Indonesia masih tergantung pada jiwa nasionalisme gurunya. Belum sepenuhnya hal ini dihayati oleh para murid bahkan mereka justru lebih berat sebelah untuk melawan. 

Selain itu juga persoalan sarana prasana yang sangat minim. Secara bangunan fisik, banyak sekolah yang tidak layak digunakan untuk aktivitas KBM karena atap yang bocor, dinding yang rusak dan bangku meja yang tidak ada (Jubi.co.id 4/05/2020).

Dengan situasi demikian maka yang menjadi konsep ‘merdeka belajar’dan inovasi pendidikan bagi anak-anak Papua di pedalaman adalah pertama-tama, kelayakan infrastruktur. 

Dengan adanya bangunan sekolah dan rumah guru yang layak maka proses pendidikan terutama KBM itu dapat berlangsung dengan baik. Anak-anak murid perlu diberi ruang belajar yang layak. Fasilitas pendidikan yang lengkap. 

Sekolah minimal memiliki ruang belajar yang lengkap dengan fasilitas penunjang seperti perpustakaan dan ruang Bimbingan Konseling serta sarana-sarana lainnya.

Selain itu guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut harus diberi fasilitas tempat tinggal. Hal ini untuk memudahkan guru bergerak dari rumah ke sekolah untuk mengajar. 

Selain rumah, guru juga harus diberi penghargaan yang setimpal atas kinerja dan dedikasi mereka dalam mengajar anak murid. Realitas menunjukkan bahwa banyak guru yang tidak disiplin karena Gaji mereka ditahan bahkan berbulan-bulan tidak diberikan terutama mereka yang menyandang predikat guru honor. 

Kedua, pemerintah wajib mengadakan fungsi pengawasan melalui dinas pendidikan dan kebudayaan. Ada banyak sekolah fiktif yang nama sekolahnya ada tetapi proses KBM tidak pernah ada bahkan bangunan fisiknya pun tidak ada. Persoalan ini tentunya menjadi urgen untuk diperhatikan sebab banyak oknum yang memakan gaji buta dari sarana pendidikan yang demikian.  

Ketiga, konsep ‘merdeka belajar’ dan inovasi pendidikan di Papua yang terpenting adalah pembelajaran berdasarkan karakter kebudayaan. Tidak bisa dipungkiri bahwa kebudayaan menjadi senjata utama untuk mengenalkan literasi pada anak-anak. 

Pengalaman penulis mengajar adalah ketika kurikulum dan materi diterjemahkan dalam konteks dan bahasa setempat maka lebih mudah dipahami dari pada pendidik mengajar langsung dari buku cetak yang diberikan. 

Pendidikan formal memang harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar namun untuk sampai pada tahap yang demikian kita perlu menerapkan pendidikan non formal dalam dunia sekolah semisal penjelasan-penjelasan tertentu yang dipadukan dengan bahasa daerah setempat. 

Cara atau metode ini adalah bagian dari inovasi pendidikan yang berkarakter kebudayaan. Cara ini sampai saat ini masih sangat relevan digunakan di pedalaman untuk anak-anak Papua terutama mereka yang duduk di bangku TK dan SD. 

Keempat, dengan situasi pandemik covid-19 dan situasi konflik yang masif terjadi, secara tidak langsung proses pendidikan di pedalaman Papua mengalami loncatan kebudayaan. 

Minimnya sarana prasarana yang ada lalu mereka dipaksakan untuk belajar secara daring (pembelajaran jarak jauh) maka mustahil hal ini terjadi. Meskipun pemerintah Provinsi pernah memberikan solusi belajar daring melalui radio namun sejauh mana hal ini berjalan seefisien mungkin.

Dengan demikian harus ada metode dan inovasi pendidikan yang berkarakter kepapuaan. Hal ini untuk menunjang proses pendidikan yang mengedepankan konsep ‘merdeka belajar’ dalam inovasi pendidikan itu sendiri. 

Karakter kepapuaan disini yang dimaksud adalah mengajar dan mendidik dengan pola pendekatan kebudayaan. Kurikulum yang berbasis nasional harus diterjemahkan ke dalam konteks budaya orang Papua. 

Oleh sebab itu para pendidik misalnya khusus untuk mereka yang di pedalaman wajib mengajarkan anak-anak dengan inovasi dan kreatifitas yang mereka miliki yang disesuaikan dengan budaya setempat. 

Para pendidik harus memiliki kualifikasi khusus dengan budaya setempat sehingga proses KBM benar-benar berkarakter kepapuaan. Sumber daya manusia atau para pendidik khusus ini bisa diperoleh dari kerja sama antara universitas-universitas keguruan yang ada di Papua seperti Universitas Cenderawasih dan Universitas Papua.

Akhirnya konsep ‘merdeka belajar’ di Papua diharapkan masuk melalui pintu budaya. Daya kreatif guru sangat dibutuhkan. Guru menjadi pionir terdepan pendidikan di pedalaman Papua. 

Dengan kreatifitas dan inovasi yang dimunculkan dari konteks budaya setempat diharapkan membentuk karakter anak yang kuat dalam memupuk kemauan belajar yang giat. Sehingga pada akhirnya peserta didik yang berkualitas mampu diwujudnyatakan dengan kehadiran pada guru ini.  

Penutup

Konsep ‘merdeka belajar’ dan inovasi pendidikan bagi anak-anak Papua di tengah situasi konflik dan pandemik covid-19 adalah meredam konflik dengan proses dialog bersama para aktor yang terlibat lalu menyediakan sarana prasana yang menunjang dan menempatkan tenaga pendidik dengan kualifikasi khusus yakni mereka yang mampu mengajar dengan karakter kepapuaan. Mereka yang mampu mengajar dengan mengangkat nilai-nilai budaya sebagai proses pendidikan yang tepat bagi anak-anak Papua.

Dengan demikian maka, semoga harapan ‘merdeka belajar’ yang berkarakter kepapuaan bisa terwujud demi menunjang SDM anak-anak  Papua di pedalaman yang berkualitas yang mampu menciptakan daya saing dengan para peserta dididik dari daerah-daerah lain yang sudah lebih maju. 

Semoga pemerataan akses pendidikan juga bisa diperhatikan oleh Pemerintah sehingga ‘merdeka belajar’ menjadi sungguh-sungguh harapan dan cita-cita anak  bangsa di setiap daerah dari Sabang sampai Merauke.

Kepustakaan

Fathan Robby. 2020. Hardiknas 2020 merdeka belajar di tengah covid-19. Dalam jurnal pos media; http//www.jurnal pos media.com. Diakses tanggal 3 Oktober 2021 Pukul 08.00 WIT.

Prayogo. 2020. Peluang Reformasi Pendidikan di tengah Pandemi Covid-19. Http//www.y.Prayogo.kaldera news.com. Diakses tanggal 2 oktober 2021 Pukul 22.00 WIT.

Rusdiana, H.A. 2014. Konsep Inovasi Pendidikan. CV. Pustaka Setia. Bandung.

Saleh, Meilan. 2020. Merdeka belajar di tengah pandemi covid-19; dalam Prosiding Seminar Nasional Hardiknas; http//www.proceedongs.ideaspublising.co.id. Diakses tanggal 2 Oktober 2021 Pukul 09.00 WIT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun