Bagi swasta, kegiatan ini memberi peluang menemukan ide segar dan tenaga kerja kreatif. Misalnya, sebuah perusahaan teknologi yang menjadi sponsor hackathon bisa langsung merekrut pemenang sebagai karyawan atau mitra startup. Perusahaan desain dapat memanfaatkan festival seni untuk mencari talenta kreatif yang mampu memperkuat produk mereka.
Dengan kata lain, kompetisi ini bukan hanya ajang hadiah sesaat, melainkan investasi jangka panjang untuk bangsa dan bisnis sekaligus.
Mengubah Narasi-Dari IQ Rendah ke Kreativitas Tinggi Bervariasi
Selain itu, perlu diperhatikan bahwa angka IQ hanyalah salah satu indikator kecerdasan.
Dunia modern menuntut kecerdasan majemuk: kecerdasan emosional, sosial, kreatif, dan praktis. Banyak orang Indonesia mungkin tidak terukur tinggi di tes IQ standar, tetapi mampu beradaptasi, mencipta, dan menyelesaikan masalah dengan cara yang luar biasa.
Contoh sederhana bisa kita lihat pada inovasi rakyat di pedesaan: membuat pompa air dari barang bekas, menciptakan alat pertanian sederhana, atau mengembangkan resep kuliner unik yang akhirnya mendunia.
Kreativitas semacam ini sering tak tercatat di laboratorium psikologi, tapi jelas menunjukkan kecerdasan khas bangsa kita.
Jika stereotip IQ rendah terus dibiarkan, itu akan melemahkan rasa percaya diri generasi muda. Padahal, seharusnya kita mengubah narasi bahwa Indonesia adalah bangsa yang kreatif, cerdas, dan punya daya saing global.
Bagaimana Selanjutynya?
Mengatakan orang Indonesia memiliki IQ setara monyet adalah penghinaan yang jauh dari kenyataan. Faktanya, kita punya segudang prestasi di panggung dunia. Tantangan kita bukan membuktikan kecerdasan itu, tetapi membangun ekosistem yang memancing kreativitas dan kepintaran agar benar-benar bermanfaat.
Dengan mengadakan berbagai kompetisi berhadiah tinggi, baik oleh pemerintah maupun swasta, potensi itu bisa muncul ke permukaan. Pemerintah mendapatkan generasi cerdas untuk pembangunan bangsa, sementara swasta memperoleh talenta kreatif untuk keberlanjutan usaha.