Setelah itu, sistem bekerja otomatis setiap kali hujan turun. Bahkan, ada nilai moral yang terasa: saya belajar lebih menghargai setiap tetes air, tidak lagi boros seperti dulu.
Dulu, saat air PDAM masih mengalir lancar, banyak orang tidak sadar betapa berharganya air. Membiarkan keran menetes seharian dianggap hal biasa. Tapi setelah merasakan sulitnya hidup tanpa air di musim kemarau, saya jadi lebih bijak.
Air hujan yang terkumpul sekarang saya gunakan sehemat mungkin: untuk mandi, mencuci, menyiram tanaman, bahkan sebagian kecil untuk memasak setelah difilter.
Di sisi lain, saya melihat ada peluang besar jika kebiasaan ini digerakkan bersama. Bayangkan, jika setiap rumah di desa atau kota memasang talang dan tong air, maka ketergantungan terhadap PDAM bisa berkurang drastis.
Tidak hanya hemat, tetapi juga bisa mengurangi beban infrastruktur pemerintah. Pada musim hujan, banjir sering terjadi karena air tidak tertampung dengan baik. Jika setiap rumah menampung sebagian, banjir bisa sedikit berkurang.
Lebih jauh lagi, panen air hujan bisa jadi bentuk nyata kemandirian energi dan sumber daya. Kita tidak lagi semata-mata menjadi konsumen pasif yang menunggu layanan, melainkan ikut mengelola apa yang sudah disediakan alam.
Air jatuh dari langit setiap tahun, gratis, tanpa tagihan. Hanya butuh kesadaran untuk memanfaatkannya. Itu rejeki dari Tuhan. Gratis, berlimpah dan bersih.
Kini, setelah sistem sederhana itu berjalan di rumah kami, saya merasa lebih tenang. Ketika musim kemarau tiba, saya tidak panik lagi. Stok air hujan di tong dan bak sudah cukup untuk membantu, sementara sumur hanya jadi cadangan. Biaya listrik pun turun karena pompa jarang dipakai. Hidup jadi lebih ringan, meski tetap penuh tantangan.
Bagi saya, inilah bentuk kecil dari kemandirian dan penghematan sumber daya: belajar mengandalkan diri sendiri, memanfaatkan alam dengan bijak, dan berhemat di tengah keadaan ekonomi yang semakin sulit.
Anda tertarik?
***