Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Panen Air Hujan-Hemat Air dan Listrik

24 Agustus 2025   19:36 Diperbarui: 24 Agustus 2025   19:42 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://fkes.unusa.ac.id/2022/06/06/pentingnya-sanitasi-air-bagi-kesehatan/

Dulu, keluarga kami bergantung penuh pada layanan PDAM di kabupaten. Maklum, di tempat kami hampir tidak ada sumber air alami. Sumur galian jarang berhasil, dan sungai pun jauh dari rumah.

Pilihan yang paling masuk akal pada waktu itu hanyalah mendaftar sebagai pelanggan PDAM. Namun, pilihan itu bukan berarti tanpa masalah.

Yang paling menyakitkan justru terjadi pada musim kemarau. Ketika kebutuhan air sedang sangat tinggi, PDAM seringkali tidak mengalir. Pipa tetap terpasang, tagihan tetap datang, tetapi air tidak menetes setetes pun.

Ironisnya, pada musim hujan, air justru melimpah ruah. Talang-talang rumah tetangga seperti air terjun mini, mengalir deras, tetapi tidak ada sistem yang benar-benar dimanfaatkan.

Padahal, justru pada musim kemarau banyak orang jatuh sakit karena kekurangan air bersih.

Biaya untuk memasang sambungan PDAM pun tidak kecil. Katanya, pemasangan PDAM itu gratis. Namun, pada kenyataannya, ketika warga mendaftar, mereka harus mengeluarkan biaya hingga beberapa juta rupiah.

Bagi keluarga sederhana seperti kami, jumlah itu sangat besar. Dan itu baru awal. Setelah pemasangan selesai, setiap bulan ada tagihan air yang nilainya bisa menembus jutaan rupiah. Rasanya mustahil untuk menanggung beban sebesar itu.

Kalau ada keluhan, memang petugas PDAM datang. Tapi penyelesaiannya pun aneh. Ganti rugi tidak pernah diberikan dalam bentuk uang tunai. Mereka hanya memberi potongan pada tagihan berikutnya.

Bayangkan, air tidak mengalir sebulan penuh, tetapi kompensasinya hanya berupa "pengurangan pemakaian" di kertas tagihan. Padahal kenyataannya, kami tetap harus mencari air dengan cara lain.

Ada satu informasi lain lagi yang membuat saya bergidik. Katanya, air itu ditampung di bagian hilir kampung, berjarak beberapa puluh kilometer dari kota, dan konon daerah tersebut banyak tercemar kotoran manusia

Akhirnya, saya mengambil keputusan besar: memutus sambungan PDAM. Daripada membayar mahal tetapi hasilnya tidak menentu, lebih baik berusaha mandiri. Belum berpotensi terkena bakteri E-Colli dan Salmonela.

Maka kami mulai menggali sumur. Biayanya tidak sedikit, apalagi tanah di sekitar rumah berbatu. Meski akhirnya sumur berhasil dibuat, tetap saja butuh pompa agar air bisa naik dan dialirkan ke rumah. Itu berarti ada biaya listrik tambahan setiap bulan.

Di titik inilah saya mulai berpikir: bagaimana caranya hidup lebih hemat, tanpa terus-menerus bergantung pada sesuatu yang kian lama kian mahal? Listrik naik setiap tahun, biaya air makin tak terkendali, sementara kebutuhan sehari-hari lainnya pun terus melambung.

Harga beras, minyak, gas, bahkan kebutuhan sekolah anak-anak serasa meluncur ke langit. Meskipun air hujan menurut para ahli sangat miskin mineral alami, namun yang jelas air tersebut tetap tergolong bersih dan bebas dari kotoran manusia

Akhirnya saya menemukan jawaban sederhana: memanen air hujan.

Saya pasang talang di atap rumah, satu terbuat dari seng dan satu lagi dari paralon. Keduanya saya arahkan ke dua tempat penampungan berbeda: satu menuju bak mandi, satu lagi menuju tong besar di belakang rumah.

Dari tong itu, saya sambungkan dengan pipa ke tangki penampungan di atas. Agar lebih praktis, saya satukan jalur pipa dari sumur dan talang hujan menjadi satu alur saja. Hanya dengan menambahkan stop-kran di titik tertentu, saya bisa memilih sumber air mana yang dipakai: sumur atau air hujan.

Hasilnya sungguh memuaskan. Setiap kali hujan turun, air mengalir deras, memenuhi bak mandi dan tong penyimpanan. Rasanya seperti mendapat berkah gratis dari langit.

Air hujan yang tertampung bisa dipakai berhari-hari, bahkan berminggu-minggu jika dikelola dengan hemat. Dengan cara ini, pemakaian pompa listrik bisa ditekan seminimal mungkin. Artinya, biaya listrik bulanan pun ikut turun.

Memang, hidup sekarang terasa semakin sulit. Banyak keluarga kecil yang harus memutar otak hanya untuk bisa bertahan. Bansos sering salah sasaran: yang berhak tidak kebagian, sementara yang sudah mapan justru menerima.

Harga-harga barang kebutuhan pokok pun naik tanpa henti. Dalam situasi seperti ini, mengandalkan bantuan pemerintah saja jelas tidak cukup. Warga harus kreatif mencari solusi.

Panen air hujan menjadi salah satu jawaban. Selain hemat, juga ramah lingkungan. Tidak ada biaya langganan bulanan, tidak ada tagihan mengejutkan. Hanya butuh modal awal untuk talang, tong, dan beberapa meter pipa.

Setelah itu, sistem bekerja otomatis setiap kali hujan turun. Bahkan, ada nilai moral yang terasa: saya belajar lebih menghargai setiap tetes air, tidak lagi boros seperti dulu.

Dulu, saat air PDAM masih mengalir lancar, banyak orang tidak sadar betapa berharganya air. Membiarkan keran menetes seharian dianggap hal biasa. Tapi setelah merasakan sulitnya hidup tanpa air di musim kemarau, saya jadi lebih bijak.

Air hujan yang terkumpul sekarang saya gunakan sehemat mungkin: untuk mandi, mencuci, menyiram tanaman, bahkan sebagian kecil untuk memasak setelah difilter.

Di sisi lain, saya melihat ada peluang besar jika kebiasaan ini digerakkan bersama. Bayangkan, jika setiap rumah di desa atau kota memasang talang dan tong air, maka ketergantungan terhadap PDAM bisa berkurang drastis.

Tidak hanya hemat, tetapi juga bisa mengurangi beban infrastruktur pemerintah. Pada musim hujan, banjir sering terjadi karena air tidak tertampung dengan baik. Jika setiap rumah menampung sebagian, banjir bisa sedikit berkurang.

Lebih jauh lagi, panen air hujan bisa jadi bentuk nyata kemandirian energi dan sumber daya. Kita tidak lagi semata-mata menjadi konsumen pasif yang menunggu layanan, melainkan ikut mengelola apa yang sudah disediakan alam.

Air jatuh dari langit setiap tahun, gratis, tanpa tagihan. Hanya butuh kesadaran untuk memanfaatkannya. Itu rejeki dari Tuhan. Gratis, berlimpah dan bersih.

Kini, setelah sistem sederhana itu berjalan di rumah kami, saya merasa lebih tenang. Ketika musim kemarau tiba, saya tidak panik lagi. Stok air hujan di tong dan bak sudah cukup untuk membantu, sementara sumur hanya jadi cadangan. Biaya listrik pun turun karena pompa jarang dipakai. Hidup jadi lebih ringan, meski tetap penuh tantangan.

Bagi saya, inilah bentuk kecil dari kemandirian dan penghematan sumber daya: belajar mengandalkan diri sendiri, memanfaatkan alam dengan bijak, dan berhemat di tengah keadaan ekonomi yang semakin sulit.

Anda tertarik?

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun