Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Nyata: Siasat Mendapatkan Tumpangan untuk Pulang Kampung

10 Juni 2020   21:51 Diperbarui: 11 Juni 2020   08:47 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://m.tribunnews.com/

Pada era penulis masih SMA tahun 1980-an, sangatlah susah mencari tumpangan untuk pulang kampung. Karena pada masa itu belum ada perusahaan angkutan seperti dewasa ini di daerah kami. 

Hanya mengharapkan orang-orang kampung yang turun berbelanja dengan menggunakan perahu bermotor atau ikut para pedagang yang mudik ke arah hulu yang juga menggunakan perahu bermotor. Kalau kami mau pulang di saat liburan, maka harus pandai-pandai memasang siasat, agar bisa mendapatkan tumpangan.

Di daerah kami itu pada saat itu moda transportasinya hanya mengandalkan angkutan sungai, karena jalan darat belum ada. Bahkan sampai sekarang saja jalan darat itu masih tanah kuning, jika di musim hujan maka semua kendaraan yang nekat menerobos akan seperti habis ikut kerja emas, lumpur kuning akan merubah warna cat kendaraan.

Perjalanan melalui sungai ini bisa menghabiskan waktu sampai tiga hari, karena kebanyakan angkutan sungai itu menggunakan mesin diesel ber-PK kecil, kebanyakan mesin-mesin buatan Yanmar Jepang. PK itu adalah singkatan dalam Bahasa Belanda Paardenkracht yang artinya Daya Kuda alias Horse Power.

Meskipun PKnya kecil, mesin-mesin buatan Jepang ini ulet, awet, hemat BBM, dan tahan banting. Baru pada tahun-tahun 1988-an mesin-mesin Dong Feng buatan Cina mulai masuk. 

Mesin-mesin buatan Cina ini lebih laju, karena PK nya besar, tetapi boros BBM, berisik, dan mudah rusak. Kalau rusak, memperbaikinya harus hati-hati, karena spare partsnya rapuh dan rawan patah.

Penulis rajin mendengar suka-duka kawan-kawan dari kampung yang curhat tentang masalah sulitnya mencari tumpangan. Ada pemilik kendaraan jika ditanya apakah mau mudik, dia malah bilang mau milir atau sebaliknya.  

Lalu juga ada yang mengatakan mau mudik jam enam pagi, tetapi ternyata pukul 4.00 subuh mereka sudah berangkat, karena tidak mau membawa anak-anak sekolah. 

Hanya wanita yang berwajah cantik saja yang termasuk mudah mencari tumpangan, kalau punya wajah hanya pas-pasan untuk hidup saja, maka susahlah. Apalagi lagi bagi yang laki-laki, sulit untuk mendapatkan orang yang mau membawanya.

Tetapi di lain pihak penulis juga sering mendengar orang-orang yang punya perahu bermotor itu mengeluh akan anak-anak sekolah jika menumpang.

Kata mereka, anak-anak sekolah itu bergaya, tidak mau kotor, tidak mau masak, tidak mau menimba perahu, apa lagi membantu mengangkat barang dan puluhan keluhan lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun