Mohon tunggu...
Melanius Oematan
Melanius Oematan Mohon Tunggu... Guru - Olahraga, sastra, musik, jurnalistik, video editor

Melton Oematan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Tuduhan Ibuku

13 Mei 2020   16:20 Diperbarui: 13 Mei 2020   16:29 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ruang Tamu Sunyi Senyap Sore Ini. Aku duduk terdiam sedang adikku sedang terisak menangis.  Ayah sedang merokok sambil pura-pura menonton televisi yang tak kedengaran suaranya.

"sapa yang ambil uang dari sa pun saku", kata wanita paruh baya, ibuku. Ia geram. Ia bergerak menuju pohon asam di samping rumah. beberapa menit kemudian ia masuk sambil membawa ranting asam.

"berdiri satu kaki, tangan direntangkan", katanya membentak. "tadi sa taru uang sepuluh ribu di saku baju tapi sekarang su tida ada lagi. Kamu dua yang ambil to?"

"sonde mama", jawabku memelas.

"lu bilang apa? Sonde? Lu pikir saya anak kecil lu jawab begitu," keringat mulai bercucuran dari wajahnya.

Plaakkkk. Rotan asam mengiris betisku yang kecil. Aku menangis meski tidak bersuara.


Ibuku. Ia suka marah. Apapun yang terjadi di rumah, jika tak sekehendaknya, maka kami harus siap menutup telinga.

"mama cek baik-baik dulu sapa tahu ada simpan salah," kata ayahku menenangkan situasi. Rumah kami hening sejak tadi. Ayah hanya menghela napas panjang sejak tadi. Entah apa yang dipikirkannya. Biasanya ia lebih banyak diam saat ibu mulai marah.

"sa su cek smua tempat tapi tida ada. Kalo kau tida percaya coba kau cek to".

"kamu dua yang ambil to," kembali ia melihat ke arah kami.

"mama sa tida ambil. Sa dartadi tidur. Sa baru bangun ni. Sa tida terima mama mara saya ni," adikku menangis sejadi-jadinya. Mungkin ia benar, atau barangkali itu tangisan pengelakan. Tang pastinya, kalau sudah menangis, ia berlari ke dalam kamar dan tidak keluar lagi. Tinggal aku seorang diri berdiri satu kaki di hadapan ibuku.

Seperti ayahku, jika sudah dimarahi aku akan diam. Mungkin karena rasa takut yang berlebihan atau karena meniru ayahku, aku belum tahu alasannya.

"berlutut," ia membentakku.

"ingat! Tidak boleh mencuri lagi. Mencuri itu tidak baik. Kalo kau mencuri sekarang, kau tua pun akan jadi pencuri. Kau mau jadi begitu ka? Tidak to?"

Aku mengangguk meski ada rasa sakit di hati.

"mama deng bapa ni guru. Kalo kalian jadi pencuri, kami pu muka ni mau taru di mana," ia mulai menasehatiku. "bangun sudah. Sekarang pi timba air di sumur".

"halo! Halo!, "seseorang memanggil dari depan pintu ruang tamu.

"halo! Siapa?", jawab ibu.

"selamat sore ibu, ini Maria mau antar kue pisang goreng," jawab Maria.

Akhirnya terjawab sudah keberadaan uang ibuku. Ia lupa telah memberikan kepada Tanta Maria untuk membeli kue pisang goreng kesukaannya.

Aku pergi. Berlari sekencang-kencangnya. Jeregen air  ku genggam erat. Dan aku menangis sejadi-jadinya.

Sekarang sudah belasan tahun peristiwa itu terjadi. Ibu sudah renta di mangsa usia. Tapi, peristiwa itu tak terlupakan. Rasa sakit itu telah hilang. Aku masih mengingatnya karena banyak hal bermakna yang kupetik. Manusia mudah menghakimi tapi tidak boleh dilakukan. Akal budi memungkinkan siapa saja yang dirugikan untuk menganalisis dan meneliti terlebih dahulu penyebab kerugiannya.

Aku juga belajar tentang perbedaan. Tentang ayah yang hanya diam. Tentang adikku yang melarikan diri dengan mudah. Tentang ibu yang suka menuduh. Manusia memang unik dan beranekaragam. Meski tak searah pemikirannya, kita tetap harus bisa menerima yang lain sebagai bagian dari hidup kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun