Mohon tunggu...
Meliana Chasanah
Meliana Chasanah Mohon Tunggu... Penulis - Islamic Writer

Far Eastern Muslimah

Selanjutnya

Tutup

Money

Pajak Terus Dikejar, Nasib Rakyat Semakin Merana

21 Oktober 2021   06:45 Diperbarui: 21 Oktober 2021   06:48 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture : Finansial Bisnis.com

Oleh : Meliana Chasanah

Belum lama ini, para wakil rakyat telah meresmikan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada saat sidang paripurna. Selain dari itu, mereka juga telah menyepakati tarik Pajak Pertambahan Nilai (PNN) yang naik hingga sebesar 11 persen mulai April 2022.

UU HPP tersebut juga mengatur berbagai hal, mulai dari tarif PNN, NIK menjadi NPWP, pajak karbon, hingga pemberian tax amnesty. Dalam UU HPP menambahkan fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk wajib pajak (WP) orang pribadi (OP). 

Dengan menambahkan fungsi NIK menjadi NPWP jelas membuat rakyat khawatir. Karena kebijakan pemerintah tersebut menjadikan seluruh masyarakat berkewajiban membayar pajak.

Neilmaldrin Noor, selaku Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), merespons kekhawatiran dengan mengatakan bahwa pemberlakuan NIK menjadi NPWP tidak otomatis menyebabkan pemilik NIK akan dikenai pajak.

Ada pun Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM, menyatakan, dengan adanya kebijakan NIKKTP untuk menggantikan NPWP akan memudahkan wajib pajak untuk menjalankan kewajiban pajak mereka.

Melalui UU HP, diatur pula bahwa wajib pajak yang memiliki pendapatan Rp 54 juta per tahun (RP 4,5 juta per bulan),tidak dikenakan pajak penghasilan (PPh). Bagi wajib pajak jika memilikipenghasilan Rp 60 juta per tahun, maka akan dikenakan pajak PPh sebesar 5 persen.

Selain itu, UU HPP dibuat oleh pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, mendukung percepatan pemulihan perekonomian, serta mengoptimalkan penerimaan negara untuk membiayai pembangunan nasionalsecara mendiri menuju rakyat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. (Kompas.com, 19/10/2021)

Melihat kebijakan pemerintah terkait UU HPP tidak benar-benar dikaji. Kebijakan ini seolah tidak mempertimbangkan kesejahteraan, dan apakah benar-benar menciptakan keadilan bagi rakyat? Namun, sepertinya dengan kebijakan UU HPP malah menambah derita rakyat.

Pengesahan UU HPP jelas menambah persoalan baru. Sebab, kenaikan PPN 11 persen kembali akan membebani rakyat. Direktur Center of Economi and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira angkat bicara. Ia menegaskan ada catatan yang menjadikan reformasi pajak tidak bisa optimal dan cenderung menghambat pemulihan ekonomi.

Ia juga menyebutkan tarif PPN yang akan naik 11 persen sanngat berisiko terhadap pemulihan ekonomi terutama dampak dari daya beli masyarakat kelas menengah. "Jika harga barangnya naik, maka terjadi inflasi. Sementara daya beli kelas menengah ke bawah akan langsung pulih pada 2022. Alhasil, masyarakatnya punya dua pilihan, yaitu mengurangi belanja atau mencari barang yang lebih murah", ujar Bhima. (Kompas.com, 19/10/2021)

Sekilas adanya UU HPP seolah menjadi solusi atas penyelamatan ekonomi dan rakyat. Namun tidak demikian. Ekonomi kapitalisme yang dianut di negeri ini menjadikan pajak sebagai sumber utama ekonomi dan pembangunan. Aroma ketidakadilan kerap tercium dalam pelaksanannya. Karena pemerintah malah melonggarkan paak untuk para kapitalis (pemilik modal). Katika kalangan rakyat menengah ke bawah dikenakan pajak, kalangan orang kaya justru mendapatkan tax amnesty dan diberi relaksasi. Hal ini merupakan kezaliman yang nyata.

Sungguh amat disayangkan negeri Indonesia yang begitu terkenal dengan sumber daya alamnya, tetapi menggantungkan pemasukan negaranya dari pajak. Inilah buah dari pengelolaan sumber daya alam yang dikelola dengan sistem kapitalisme. Hasilnya adalah liberalisasi ekonomi, yakni kekayaan alam diserahkan kepada swasta, yang akhirnya negara hanya mendapatkan pajak yang tidak banyak. 

Walhasil, pemerintah yang menerapkan sistem kapitalisme terus menerus untuk mencari cara agar tidak ada individu dan objek harta atau kepemilikan yang lepas dari pajak.

Kondisi ini jelas berbeda jika dalam naungan Islam. Dalam paradigma sistem Islam, pajak hanya memiliki satu fungsi, yaitu stabilitas dan bersifat insidental. Pajak akan dipungut saat kas negara kosong, dan dipungut dari orang-orang kaya yang beragama Islam saja. 

Bahkan pajak tidak akan dirasakan kezalimannya, karena dilihat sebagai kontribusi warga yang berkelebihan harta atas urusan umat, sehingga mendapatkan pahala dan kebaikan.

Selain itu, sistem Islam dalam naungan khilafah memiliki 12 sumber pemasukan negara. Pertama, bagian fai dan kharaj yaitu ganimah, kharaj, tanah, jizyah, fai, dan dharibah. Kedua, bagian kepemilikan umum yaitu listrik ,migas, pertambangan, laut, sungai, hutan, perairan, padang rumput dan tempat khusus. Ketiga, bagian sedekah yaitu zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, serta zakat ternak. Negara Islam memiliki begitu banyak sumber pendapatan, sehingga bisa membangun negara tanpa pajak.

Islam juga menerapkan pembagian kepemilikan sesuai syariat, yakni kepemilikan umum, negara, dan perseorangan. Tambang yang memiliki deposit besar adalah kepemilikan umum, sehingga tidak boleh diprivatisasi. Apalagi sampai diserahkan pada asing. Dengan pengaturan seperti ini, sistem Islam berhasil mewujudkan kemakmuran luar biasa.

Alhasil, sistem Islam mampu memberikan kemaslahatan kepada seluruh umat. Keadilan tercipta, rakyat sejahtera dan bebas pajak adalah sebuah keniscayaan. Semua itu dapat terwujud jika aturan Islam diterapkan secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan. Tentunya dalam institusi negara bernama Khilafah Rasyidah 'ala minhajin nubuwwah.

Wallahu a'lam bishshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun