Modernisasi dan globalisasi adalah kenyataan yang mau tidak mau, siap tidak siap harus diterima oleh semua orang. Adalah Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai elemen terpenting dalam modernisasi dan globalisasi. Eksistensi dunia dipersempit dengan tools of technology yang dengannya informasi dunia dan komunikasi antar benua dapat dilakukan. Dengan hanya sekali klik, orang di benua satu dapat mengetahui informasi, kondisi dan masalah yang ada di benua yang lain. Informasi tidak sebatas teks dan gambar, ada juga video, yang dapat dilihat bersamaan dengan waktu kejadian (live). Begitu pula dengan komunikasi, lebih-lebih dengan kehadiran jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dll., tegur sapa tak terbatas antar kolega dan teman yang secara geografis dekat dan terjangkau. Komunikasi antar benua bukanlah sebuah kemustahilan, bahkan dengan orang yang belum kita kenal. Komunikasi demikian didukung oleh koneksi internet yang memadai dan shopisticated tools of communication (alat-alat komunikasi yang canggih). Kehadiran smartphone menambah “kesempitan” dunia; dunia hanya dalam genggaman. Dengan fitur-fitur atau aplikasi-aplikasinya yang menggiurkan tiap penggunanya, khususnya remaja, menambah kekhusyuan berselancar di dunia maya. Fenomena yang marak di dunia maya, khususnya di jejaring sosial, dan dunia remaja adalah fenomena narsis.
Fenomena narsis, secara umum, adalah kebiasaan mejeng dan jepret di depan kamera kemudian memposting dan mengunggahnya ke jejaring sosial, sehingga diketahui oleh khalayak ramai. Kemuculannya disebabkan oleh beberapah hal. Pertama, Fenomena narsis adalah manifestasi dari kebebasan berekspresi dan berpendapat. Di Indonesia, kebebasan berekspresi dan berpendapat dijamin dan dilindungi oleh undang-undang, yaitu; UUD 1945 Pasal 28, UU No. 12 Tahun 2005, dll. Kedua, Jika ditanya kapan fenomena narsis muncul, jawaban pasti tidak akan ditemukan juga. Jika menduga-duga berdasarkan realitas sosial, saya menyimpulkan bahwa kemunculan narsis di jejaring sosial seiring dengan kemunculan tools of communication itu sendiri. Sehingga, perkembangan fenomena narsis selalu didahului oleh perkembangan tools of communication. Semakin canggih teknologi komunikasi berkembang, semakin memasyarakat fenomena narsis tersebut. Misalnya, saat fenomena narsis semakin menjamur, dengan membaca realitas sosial yang ada dan kebutuhan pasar yang menjanjikan, maka hadirlah “Tongsis” (tongkat narsis) yang mempermudah manusia untuk mejeng, jepret dan narsis di depan kamera tanpa bantuan orang lain. Fenomena ini dikenal oleh khalayak ramai dengan sebutan selfie yang akhir-akhir ini sangat amat mudah kita jumpai di media sosial paska selfie-nya Barack Obama, Presiden Amerika Serikat, dan David Cameron, Perdana Menteri Inggris, pada acara Pemakaman Nelson Mandela. Selfie lebih spesifik lagi daripada narsis. Gaya foto semacam ini adalah untuk menampilkan foto diri sendiri, baik sebagian atau keseluruhan, tanpa bantuan orang lain. Di samping itu, kehadiran tongsis menambah “kelembaban” keadaan. Kehadiran tongsis menambah “jamur” narsis semakin menjamur. Sehingga, tongsis bisa kita jumpai dengan mudah di toko-toko elektronik dengan penawaran yang terjangkau.
Jika dahulu, berfoto, narsis, take picture atau apalah istilahnya dilakukan untuk merekam dan mengabadikan momen-momen tertentu sebagai dokumentasi historis, misalnya; foto kenegaraan, foto keluarga dan foto ijazah serta foto-foto yang lain. Saat ini, berfoto telah menjelma menjadi gaya hidup remaja, karena hampir dengan mudah kita menemukan handphone berfitur kamera dengan harga terjangkau. Gaya hidup remaja yang demikian ini adalah kebiasaan yang, menurut hemat saya, tanpanya bagai sayur tanpa garam, bahkan hingga menapaki pada level tertinggi, addicted(ketergantungan). Keberadaan garam bukanlah sebagai pelengkap (complementary), yang tanpanya sayur tetaplah sayur dan bisa dikonsumsi, melainkan telah bersatu padu dalam satu esensi. Sehingga garam adalah sayur dan sayur adalah garam.
Bernarsis ria di depan kamera dapat dikatakan sebagai dokumentasi historis untuk kelak dijadikan kenangan. Terutama momen-momen penting dalam perjalanan mengarungi kehidupan, katakanlah ngobrol ngalur ngidul bersama teman, kumpul-kumpul atau mengunjungi tempat-tempat yang dianggap penting. Di sisi lain dapat disebut sebagai eksplorasi diri, entertaiment dan meningkatkan cinta dan percaya diri (Tabloid SINYAL, 2014:32). Dikatakan begitu karena bernarsis pada hakikatnya adalah menampilkan pada publik bahwa “ini lah aku, aku percaya diri, aku adalah aku”, proses menghibur diri dengan diri sendiri. Sikap yang demikian adalah perjalanan menuju perkenalan siapa diriku. Boleh lah kita mengatakan demikian, namun yang harus diperhatikan adalah menonjolkan diri sendiri, menghibur diri dengan diri sendiri dan asyik dengan kesendirian adalah sifat individualistik. Kepekaan sosial terhadap lingkungan semakin berkurang karena narsistik tersebut. Lingkungan sekitar terabaikan dan sosial phenomenom diabaikan begitu saja. Over narsistik dapat juga berakibat pada keselamatan dan keamanan kita jikalau foto-foto yang kita unggah “mendeskripsikan” sesuatu yang positif yang dapat mengundang ketertarikan lawan jenis. Jelas, ini adalah sifat yang tidak Ke-Indonesiaan. Jika demikian, lebih baik narsistik dikurangi. Bernarsis ria lah dikala keadaan itu mendesak, tidak dalam situasi iseng-iseng. Tatkala sesuatu itu baik pada sudut pandang tertentu dan kurang baik atau bahkan jelek pada sudut pandang lain. Wassalam.
Definisi ini berdasarkan persepsi penulis berdasarkan sudut pandang empiris