Jika ada survei mengenai kata paling dibenci sepanjang tahun, saya akan dengan sangat senang hati menjawab: Produktif. Produktif sendiri adalah sebuah kata sifat yang mestinya melekat pada suatu objek, tidak ada yang salah. Namun narasi yang akhir-akhir ini melekat bersamanya yang saya kira bermasalah. Seperti "Tetap produktif di kala pandemi" atau kalimat lain sejenis.
Sebetulnya setiap orang bisa memiliki definisi yang berbeda mengenai bagaimana menjadi produktif. Bagi seorang pekerja, produktif umumnya berhubungan dengan penyelesaian pekerjaan si pekerja itu. Tapi untuk orang yang sedang melepas stres atau malah sedang berusaha mengurangi depresi, sepertinya konsep "menyelesaikan pekerjaan" jadi kurang relevan.Â
Sebaliknya, mereka mungkin akan membutuhkan sesuatu yang lebih rekreasional atau sesuatu yang jelas-jelas bukan pekerjaan kantor. Jadi sebelum melabel seseorang produktif atau tidak, baiknya tanyakan dulu apa itu produktif menurut ukuran mereka.
Satu miskonsepsi yang juga sering muncul adalah menganggap bahwa sibuk = produktif atau meluangkan banyak waktu mengerjakan pekerjaan yang sama = produktif. Yakin?
Ada satu istilah yang disebut Capital Output Ratio atau dalam bahasa Indonesia, Rasio Modal Output. Rasio ini berbentuk perbandingan mengenai seberapa banyak modal yang dialokasikan untuk mendapatkan sejumlah output. Semakin sedikit modal yang diperlukan untuk menghasilkan output yang sama, maka makin efisien pengerjaan/ proses itu dilakukan.Â
Dalam hal ini, modal bisa berbentuk apa saja, bisa mesin, waktu, atau pekerja. Semisal, jika toko A memerlukan 3 mesin untuk membuat 30 roti stroberi dan toko B hanya perlu 1 mesin untuk menghasilkan 30 roti stroberi yang sama, manakah yang produksinya lebih efisien (dan tentu juga lebih produktif)? Tentu toko B dengan mesin (modal) yang lebih sedikit.
Sekarang, katakanlah ada seseorang bernama A, mengerjakan seratus soal dengan waktu pengerjaan dari jam 8 hingga jam 12 siang sedangkan B hanya perlu mengerjakannya selama satu jam pada hari yang sama, manakah yang lebih efisien? Dengan asumsi bahwa mereka sama-sama mengerjakan dengan baik dan tidak asal menjawab pertanyaan, jika setelah mengerjakan soal si B lalu bermain game di ponselnya, apakah dia akan dianggap tidak produkif?
Lagipula produktivitas ini juga berkaitan dengan apa yang diinginkan dicapai orang seseorang. Jika saya ingin mendapatkan suami yang kaya raya dan cara mendapatkannya adalah hanya dengan berdandan cantik, maka belajar di sekolah tidak akan relevan dan bisa jadi kontra produktif dengan apa yang saya ingin dapatkan.Â
Kenapa saya mau menginvestasikan waktu saya untuk belajar sains ketika dengan waktu yang sama, saya bisa mempelajari cara memilih warna yang tepat untuk alas bedak? (tidak berlaku bila sekolah itu ternyata adalah sekolah tata rias). Tentu omongan ngawur perandaian saya ini penuh dengan asumsi, yaa.
Di sisi lain, anggapan bahwa kesibukan mengerjakan sesuatu merupakan satu bentuk produktivitas bisa saja benar selama rasio waktu : output (modifikasi dari Rasio Modal Output) yang dianggarkan adalah sama. Sebagai contoh, saya mengerjakan 100 soal dalam waktu satu jam lalu berhenti. Ada orang lain yang mengerjakan 100 soal yang sama dengan waktu satu jam juga tapi setelahnya ia melanjutkan 100 soal yang lain hingga waktu yang dia alokasikan menjadi 4 jam atau senilai 400 soal.Â
Pada kasus ini, bila orientasi saya dan dia hanya mengerjakan soal, maka saya dapat dikatakan tidak lebih produktif darinya. Tentu karena saya hanya meluangkan waktu satu jam dan berakibat pada output yang hanya sejumlah 100 soal.
Namun memang ada orang yang goal-nya sama persis dengan orang lain? Adakah orang yang kemampuan melakukan satu pekerjaan sama persis dengan orang lain? (karena saya mengilusrasikan satu jam pengerjaan dengan hasil 100 soal). Lagipula saya heran kenapa orang banyak yang mengakui bahwa youtuber bisa memiliki uang yang banyak dari aktivitas unggah video tapi tidak bisa mengakui bahwa orang lain bisa menghasilkan output dari aktivitas menatap layar.
Saya pernah membaca sebuah liputan yang menjelaskan bahwa Jepang dengan rakyatnya yang terkenal gila kerja itu adalah negara dengan produktivitas terendah di antara negara-negara G-7, menurut OECD Compendium of Productivity Indicators. Lalu kenapa waktu yang panjang tidak selalu berkorelasi dengan output yang tinggi pula?
Menurut the Law of Diminishing Marginal Return, dengan modal yang tetap, kita tidak bisa terus menerus memaksakan diri untuk berproduksi dengan menambah input. Jika saya bisa mengantarkan 40 makanan dengan satu sepeda motor, saya akan kuwalahan bila memaksakan diri menambahnya dengan 10 makanan lagi (input tambahan). Kecuali bila saya mengajak teman saya untuk mengantarkan makanan dengan motor yang berbeda atau bisa juga dengan menambah keranjang di samping motor yang mana keduanya juga berarti menambah modal.
Artinya, jika anda bekerja dengan otak yang sama yang telah anda gunakan bekerja selama 5 jam, satu pekerjaan tambahan tidak akan dikerjakan seefisien otak anda pada pukul 7 pagi. Kecuali bila anda mampu membeli satu otak artifisial yang bisa dilekatkan di samping kepala anda.
Dari mana saya tahu itu? Tentu bukan hasil dari duduk berjam-jam di perpustakaan, tapi dari aktivitas menyimak gawai sekadarnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI