Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Seminar Keuangan Berbayar, Penting Nggak, Sih?

22 Januari 2020   10:27 Diperbarui: 22 Januari 2020   15:54 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi keseimbangan keuangan dan kebutuhan (sumber: pxhere.com)

Pagi ini, aku membaca sebuah pengumuman sebuah kelas pengelolaan keuangan di Jogja. Judul acaranya adalah "Bertahan Hidup dengan UMK Jogja". 

Acara ini diisi oleh seorang content creator dan seorang perencana keuangan. Tidak gratis tentu saja. Acara yang dilabeli kelas premium ini berbayar 200 ribu rupiah. Kalau pendaftarannya sebelum tanggal 25 Januari 2020, bayarnya 150 ribu rupiah.

Apa yang akan dibahas dalam kelas tersebut? Menurut posternya, kelas ini akan membahas tentang tren konsumsi, prioritas masa depan, pengelolaan gaji UMK sehingga kalau mau traveling masih bisa, dan referensi produk keuangan yang murah.

Banyak yang menanggapi pengumuman ini secara negatif. Menurut mereka, uang 150-200 ribu itu sangat mahal untuk orang-orang yang memiliki penghasilan setara UMK di Jogja. 

Bahkan ada satu komentar yang berkata, "baru tau kalo UMK rendah itu solusinya bukan bikin serikat pekerja dan mendesak pemerintah untuk ngubah kebijakan, tapi dengan cara bayar 150-200k buat ikut kelas ginian. Oke deh."

Memang berapa sih UMK di Jogja?

Kemarin, di dalam taksi online, aku mendengar suamiku dan supir taksi itu mengobrol. Mereka membicarakan tentang perpindahan beberapa perusahaan besar dari Jawa Barat ke DIY dan Jawa Tengah karena UMRnya yang rendah.

"Ya kalau dipikir-pikir sih benar juga. Uang yang digunakan oleh pengusaha untuk membayar gaji karyawan di Jakarta, bisa digunakan untuk menggaji 2 orang di sini. Masih ada sisa lagi," kata Sang Supir yang baru pindah beberapa tahun lalu dari Jakarta ke Jogja.

Gini yah, ini pendapatku saja. Membuat serikat pekerja dan mendesak pemerintah untuk mengubah kebijakan adalah ikhtiar yang baik untuk solusi UMK rendah. 

Masalahnya, itu adalah kerja kolektif. Kita tidak bisa melakukannya seorang diri. Dan berapa lama waktu yang kita butuhkan sampai pemerintah bersedia merubah kebijakannya?

Secara individu kita juga butuh mengusahakan agar uang yang kita miliki bisa mencukupi kebutuhan kita. Dan ini butuh ilmu. Pernah lihat kan, ada orang yang besar pasak daripada tiang? 

Sampai situasi berubah, mungkin sampai pemerintah mau lebih memikirkan rakyat dan lingkungannya daripada pengusaha, kita harus bisa bertahan dengan kondisi yang ada.

Sebenarnya pengetahuan tentang cara pengelolaan uang ini penting. Makanya, kalau teman-teman tahu, salah satu dari 6 literasi dasar yang sering dibicarakan oleh pegiat literasi adalah literasi keuangan. Walaupun kalau sudah tahu nanti komentarnya, "halah, gini doank." (Aku kayak gitu soalnya. Haha).

Betul sih, kalau kita mau mengulik di internet, materi-materi seperti ini bisa kita dapatkan. Ada banyak hal yang mesti diperhatikan ketika kita belajar dari internet. 

Apakah materi yang kita dapat dari internet adalah valid? Apakah materi yang kita dapat dari internet bisa kita aplikasikan pada kondisi kita? Apakah kita punya waktu untuk itu semua?

Aku kasih cerita. Aku pernah terjebak di investasi yang salah. Dan itu menghamburkan uangku lebih dari 200 ribu. Sampai sekarang, aku masih berusaha untuk mengiklaskannya dan berkata pada diri sendiri bahwa itu adalah harga yang harus kubayar untuk kebodohanku.

Aku jadi berasa promosi acaranya kelas seminar keuangan, ya?

Maksudku bukan itu sih. Tapi memang ada harga yang harus dibayar untuk sebuah ilmu. Kayak misalnya kita ikut kelas-kelas yang diadakan media di Jakarta. Untuk orang Jakarta saja, kelas-kelas tersebut masih mahal. 

Harganya bisa lebih dari 1 kali gaji mereka. Dengan ilmu yang didapat, peserta kelas-kelas tersebut bisa menambah pengetahuan dan kemampuan mereka. Hal itu memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan yang lebih besar.

Demikian juga dengan keuangan. Dengan ilmu yang didapat, tentu kita berharap lebih bisa mengatur keuangan kita dengan bijaksana, kan? Intinya, literasi keuangan itu penting. 

Di masa yang tidak menentu seperti ini, kita harus memiliki ilmu tentang pengelolaan uang sehingga kebutuhan kita bisa tercukupi. Syukur-syukur bisa ada yang disimpan untuk tabungan masa depan.

Kalau menurutmu uang dua ratus ribu itu banyak, ya berarti kelas ini bukan buat kamu. Di Jakarta saja, seminar keuangan ada kok yang bayarannya seratus ribu. Itu pun masih mendapat reksadana senilai 50 ribu. Nggak harus ikut kelas yang 200 ribu ini. Pasti masih ada pilihan yang lain dengan fasilitas yang disesuaikan.

Supaya tidak dibilang kapitalis, mungkin sekali-sekali perencana keuangan bisa membuat semacam pengabdian masyarakat untuk orang-orang yang tidak mampu membayar kelas premium mereka. Kalau bisa, sekalian menggandeng orang-orang yang bisa membantu mereka menambah penghasilannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun