Mohon tunggu...
Meisya Zahida
Meisya Zahida Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan penunggu hujan

Sejatinya hidup adalah perjuangan yang tak sudah-sudah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Serangkai Mawar Pengikat Pertalian

15 Maret 2020   16:07 Diperbarui: 17 Maret 2020   19:24 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi malam dan kunang-kunang. (sumber: pixabay.com/artie_navarre)

Langit masih memerah saat kubuka jendela, rupanya petang kembali datang pertanda kesunyian akan menjadi karib di mana pun aku tinggal. Meski baru satu minggu di bilik kecil ini, bagiku tetaplah penyiksaan yang menakutkan.

Kriiiig ... kriiing ...! Ponselku berdering, telepon dari ibu. Dengan cepat kuangkat, walau sangat malas.

"Kinar ... persiapkan dirimu secantik mungkin, ibu tidak mau ini gagal lagi, usahakan semua baik-baik saja. Ingat, ini sudah yang kesekian kali," tegas ibu bernada ancaman. Aku  mendesah berat.

"Iya, Bu ..., aku pastikan semua akan berjalan sesuai harapan ibu," jawabku meyakinkan, terdengar gumaman ibu yang tak mampu kucerna sebelum kami mengakhiri percakapan.

***
Aku sangat paham apa yang diinginkan ibu, melihat anaknya bahagia, punya keluarga dan keturunan. Tapi, entah karena apa jodohku terasa jauh dari jangkauan. 

Setiap pemuda yang melamarku selalu bertolak dan membatalkan pinangan begitu kami dipertemukan dalam ta'arruf, selayaknya laki-laki dan perempuan. Sampai usiaku mendekati 27 tahun, aku seperti menghadapi dilema tak terpecahkan. 

Setiap laki-laki yang ingin menyematkan cincin di jari manisku, mereka seperti kena tusukan duri-duri dan mengerang kesakitan. Sontak mereka akan menggagalkan pinangan. Aku sebenarnya tak masalah, tapi lama-lama aku merasa seolah-seolah biang petaka tanpa sebab. 

Bagaimana mungkin aku yang terkesan sederhana, jarang keluar rumah bahkan sering menghabiskan waktu di kamar seakan menyimpan bibit dan virus mematikan, atau ini gejala covid-19 dalam versi yang lain? 

Tapi apa mungkin, kelainan yang kurasakan ini sudah lima tahun berlalu, jika dihitung aku dijodohkan duapuluh dua kali tapi semua gagal dan memilih pergi.

Merasa malu dengan keadaanku yang dianggap aib, ibu berinisiatif mengirim aku ke Rumah Nenek, di sebuah Desa terpencil demi menghindar dari gunjingan banyak orang.

"Kak ..., tamunya sudah datang." Ketukan pintu dan suara Rini mengagetkan aku.

"Iya, Rin! Sebentar!" jawabku dari dalam.

Dengan sangat hati-hati kupandangi wajahku di cermin, semua terasa normal tak ada yang aneh. Bibirku bergetar, tak bisa kubayangkan kejadian menakutkan akan kembali berulang dalam babak yang berbeda, pasti bapak dan ibu bakal kecewa dan aku kembali dipermalukan. 

"Setiap laki-laki yang ingin menyematkan cincin di jari manisku, mereka seperti kena tusukan duri-duri dan mengerang kesakitan."

Apa yang mesti kuperbuat, kalau ada pilihan biar kusendiri saja selamanya tanpa harus menerima cemoohan dan gunjingan menyedihkan, "perempuan pembawa petaka". 

Tapi, aku juga mesti menghargai usaha ibu yang telah bersusah payah mengungsikan aku di rumah nenek dan menunggu jodohku datang lagi, perasaanku benar-benar diuji antara menyerah dan meniti harapan baru.

"Tuhan, jika ini jodohku dan imam terbaik bagiku dalam memenuhi amanahmu, lindungi dan mudahkan jalanku. Aku ingin membahagiakan Ibu," bisikku tanpa suara, di antara doa yang kupanjatkan, mataku mulai berkaca-kaca karena cemas dan gelisah.

***

Aku terkulai lemas, tak mampu menghindari tatapan aneh orang-orang yang mengelilingi Faqih, calon suamiku, yang terjerembab tiba-tiba saat ritual penyematan cincin itu berlangsung. 

Sebelumnya dia mengalungkan serangkaian bunga mawar ke leherku, sembari bibirnya mendesiskan sesuatu. Aku sempat mundur beberapa langkah, ketakutan serasa mengepungku, bersamaan tatapan ibu yang menghunjam jantungku.

"Tuhan ..., lindungi kami!" Aku mulai terisak.

Aku telah mengecewakan ibu dan keluarga. Pastinya mereka malu akibat takdir gelap yang kualami. Aku memejamkan mata tanpa berani mengerjap sedikit pun, kiamat benar-benar telah memporag-porandakan ruangan khidmat yang hanya disaksikan keluarga aku dan Fakih, tubuhku serasa kaku dan perasaanku tergiring dalam nuansa pekat yang sulit kuartikan.

Aku melihat diriku seperti monster, mata memerah dan mulut mendengus bagai haus darah, sementara di sisi yang lain serombongan kurcaci menyeringai tajam, mereka mengepungku, tubuh mereka melesat cepat, menindih dan mencakar-cakar wajahku. 

Aku terpelanting sembari mendesis melakukan perlawanan. Dunia kurasakan gelap, sebelum kemudian sekelebat cahaya putih menarikku kuat-kuat, aku terlempar dalam rasa sakit yang luar biasa.

"Tenanglah, Kinar. Semua sudah berakhir. Kau sudah terlepas dari pengaruh buruk yang telah memasungmu selama beberapa tahun ini, jin yang mendampingimu telah pergi bersamaan dengan rangkaian bunga mawar di lehermu, tentunya semua karena ijin Allah lewat doa-doa yang dibekali Ustadz Muslim. Beliau telah mengajariku tentang agama." terang Faqih panjang lebar, aku termangu keheranan di tengah kecamuk rasa bersalah yang sempat membuatku tak berdaya.

"Terimakasih, Tuhan. Kau sudah mempercayakan seorang imam yang benar-benar akan membimbingku pada pengabdian-Mu,"

"Kita lanjutkan acara ini ya, kasihan mereka lama menunggu. Kau siap jadi pendamping dan muara bagi cinta yang ingin kudermakan, atas nama Allah dan Rasul-Nya?"

Bisiknya lembut, sembari memapahku bangun. Aku hanya tersenyum mengiyakan, meski aku belum sepenuhnya mengerti apa yang telah terjadi. Mengapa harus dengan serangkaian bunga mawar jin itu bisa pergi, dan sejak kapan aku berada dalam pengaruhnya? 

Aku tak ingin tahu, yang kuingini hanya melihat ibu tersenyum dan sebuah keyakinan inilah takdir yang diputihkan Tuhan, lewat seraingkaian mawar sebagai jawaban dari doa-doa yang kuserukan.Terima kasih, Tuhan. Kau telah membebaskan aku dari praduga menyesatkan.

Madura, 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun