Dalam dunia pendidikan, pendekatan Understanding by Design/backward design telah menjadi salah satu metode yang efektif dalam merancang kurikulum dan pembelajaran. Pendekatan ini menempatkan capaian pembelajaran sebagai titik awal dalam merancang pengalaman belajar, bukan sebaliknya. Dengan backward design, guru tidak hanya berfokus pada "apa yang akan diajarkan", tetapi juga memikirkan "untuk apa pembelajaran ini", "bagaimana cara menilai keberhasilan belajar", dan "bagaimana merancang pengalaman belajar yang mendukung tujuan". Pendekatan ini terdiri dari tiga tahap utama:
Tahap 1: Mengidentifikasi Capaian Pembelajaran
Pada tahap awal, guru menentukan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang diharapkan dikuasai oleh murid di akhir suatu fase pembelajaran. Dalam konteks pendidikan Indonesia, capaian pembelajaran ini sudah dirumuskan oleh pemerintah melalui dokumen Kurikulum Merdeka, yang membagi capaian ke dalam fase-fase. Guru memiliki tugas untuk memecah capaian tersebut menjadi tujuan-tujuan kecil (sub-capaian) yang akan dicapai dalam pembelajaran harian atau mingguan.
Contoh Aplikatif (Pelajaran Badminton):
Dalam mata pelajaran PJOK, salah satu capaian pembelajaran untuk badminton di fase D (SMP) bisa berbunyi:
"Murid dapat melakukan teknik dasar servis, pukulan forehand dan backhand, serta memahami aturan permainan bulutangkis."
Guru kemudian memecahnya menjadi sub-tujuan harian/mingguan, seperti:
Minggu 1: Murid mampu mempraktikkan teknik dasar servis dengan benar.
Minggu 2: Murid dapat mempraktikkan pukulan forehand dengan konsisten.
Minggu 3: Murid dapat mempraktikkan pukulan backhand dan memulai rally pendek.
Minggu 4: Murid dapat menjelaskan dan menerapkan aturan dasar permainan bulutangkis.
Tahap 2: Menentukan Metode Penilaian
Tahap kedua berfokus pada penentuan bagaimana guru akan menilai keberhasilan pembelajaran. Penilaian ini berfungsi sebagai pengumpulan "bukti" apakah murid telah mencapai capaian pembelajaran yang telah ditetapkan. Dalam Kurikulum Merdeka, penilaian bukan sekadar memberikan angka, tetapi memberikan indikator keterampilan dan pemahaman yang jelas, dapat diandalkan, dan sejalan dengan capaian pembelajaran.
Contoh Aplikatif (Pelajaran Badminton):
Guru dapat merancang berbagai metode penilaian:
Observasi praktik: Mengamati murid saat melakukan servis, forehand, dan backhand dalam latihan atau mini game. Guru membuat daftar cek untuk memastikan teknik dasar dilakukan dengan benar.
Penilaian teman sebaya: Murid diminta menilai teknik teman saat berlatih, berdasarkan kriteria yang telah disepakati (misalnya posisi badan, akurasi pukulan, ketinggian servis).
Tes pengetahuan: Murid menjawab kuis singkat tentang aturan permainan, skor, dan posisi pemain.
Portofolio video: Murid mengirimkan rekaman video saat latihan mandiri untuk mendapatkan umpan balik guru.
Tahap 3: Merencanakan Pengalaman Belajar dan Strategi Pembelajaran
Tahap ketiga adalah merancang metode mengajar dan pengalaman belajar yang sesuai untuk membawa murid ke capaian yang ditetapkan. Guru perlu memikirkan konten yang menarik, aktivitas yang melibatkan, dan strategi pengajaran yang efektif. Penting juga untuk menyusun rangkaian pembelajaran (learning sequence) yang logis dan saling berkaitan.
Contoh Aplikatif (Pelajaran Badminton):
Pemanasan tematik: Guru mengaitkan pemanasan dengan gerakan yang digunakan dalam badminton, seperti lunges (gerakan kaki) dan shoulder rotations (untuk fleksibilitas bahu).
Demonstrasi dan eksplorasi: Guru memperagakan teknik dasar dengan perlahan, lalu murid mencoba dalam kelompok kecil, disertai umpan balik langsung.
Permainan kecil: Misalnya, bermain "rally sebanyak-banyaknya" dalam 1 menit dengan pasangan, agar murid terbiasa menjaga konsistensi pukulan.
Mini turnamen kelas: Di akhir fase, guru mengadakan pertandingan kecil yang menekankan sportivitas dan penerapan aturan permainan.
Refleksi dan diskusi: Setelah bermain, murid diminta menceritakan pengalaman mereka, kesulitan yang dihadapi, dan hal-hal yang ingin diperbaiki.
Pendekatan backward design mendorong guru untuk memulai dari capaian pembelajaran, menentukan metode penilaian yang sesuai, dan merancang pengalaman belajar yang mendukung capaian tersebut. Dalam pelajaran badminton, misalnya, guru tidak hanya mengajarkan teknik secara acak, tetapi merancang rangkaian belajar yang bertahap dan sistematis, dengan penilaian yang mendukung, agar murid tidak hanya bisa memukul shuttlecock, tetapi juga memahami permainan dan menguasai teknik secara mendalam. Jika diterapkan dengan baik, backward design membantu pembelajaran menjadi lebih terarah, bermakna, dan berdampak jangka panjang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI