Mohon tunggu...
Meirda Maris
Meirda Maris Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya Seorang Mahasiswa di Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum Perkawinan Islam Progresif Di Indonesia (Book Review))

10 Maret 2025   22:35 Diperbarui: 11 Maret 2025   07:29 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover : Buku Hukum Perkawinan Islam Progresif di Indonesia 

Pada Bab VI ini dibahas tentang problematika nikah mut'ah di Indonesia, yaitu pernikahan sementara yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan kesepakatan pasangan. Berbeda dengan pernikahan biasa, nikah mut'ah tidak mewajibkan hak waris, tidak memerlukan talak untuk berpisah, serta tidak ada nafkah iddah. Awalnya, nikah mut'ah diperbolehkan dalam Islam, terutama dalam kondisi tertentu seperti peperangan, namun kemudian diharamkan oleh Rasulullah saw. secara bertahap.

Pada bab ini juga menjelaskan dari segi hukum Islam, jumhur ulama mengharamkan nikah mut'ah karena bertentangan dengan tujuan perkawinan yang bersifat permanen dan penuh tanggung jawab. Nikah mut'ah dianggap merugikan perempuan dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut karena tidak ada perlindungan hukum maupun nafkah. Meskipun ulama Sunni sepakat mengharamkannya, ulama Syi'ah masih membolehkannya dengan alasan tidak ada ayat Al-Qur'an yang secara eksplisit melarang praktik ini.

BAB VII ini membahas konsep keluarga sakinah dalam perspektif mubadalah, yang menekankan pentingnya relasi kesalingan dalam rumah tangga. Keluarga sakinah adalah keluarga yang penuh ketenangan, cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Menurut M. Quraish Shihab, perjalanan menuju keluarga sakinah melalui beberapa tahap, mulai dari bulan madu, gejolak, perundingan, penyesuaian, peningkatan kasih sayang, hingga kemantapan. Keluarga yang harmonis bukan berarti tanpa konflik, tetapi mampu membangun hubungan yang adil dan penuh tanggung jawab sesuai ajaran Islam.

Bab ini juga menjelaskan dalam perspektif mubadalah, hubungan suami istri harus berdasarkan kesalingan, bukan dominasi. Konsep ini menekankan kemitraan dalam semua aspek kehidupan rumah tangga. Islam menetapkan empat pilar pernikahan, yaitu ikatan kuat (mitsaqan ghalizhan), hubungan berpasangan (zawaj), interaksi yang baik (mu'asyarah bil ma'ruf), dan pengambilan keputusan bersama (taradhin). Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, keluarga dapat mencapai keseimbangan, keharmonisan, dan kebahagiaan bersama.

Pada Bab VIII ini dibahas tentang problematika penerapan hadhanah di Indonesia, yang berkaitan dengan hak asuh anak setelah perceraian. Hadhanah dalam Islam berarti pemeliharaan dan pendidikan anak agar tumbuh dengan baik, terutama oleh ibu, selama ia belum mandiri. Namun, jika ibu tidak memenuhi syarat tertentu seperti tidak berakal, tidak dewasa, atau tidak memiliki kemampuan mengasuh, maka hak asuh bisa dialihkan kepada ayah atau pihak lain yang lebih layak. Islam menekankan bahwa tanggung jawab terhadap anak adalah kewajiban bersama antara ayah dan ibu, baik dalam aspek moral maupun materi.

Bab ini juga menjelaskan dalam hukum positif Indonesia, hak asuh anak setelah perceraian tetap menjadi tanggung jawab orang tua, kecuali jika ada kelalaian atau perilaku buruk yang mengancam kesejahteraan anak. Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa meskipun hak asuh biasanya diberikan kepada ibu, ayah tetap bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan anak. Jika terjadi perselisihan, pengadilan akan memutuskan berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak. Prinsip ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan perlindungan anak sebagai amanah yang harus dijaga oleh orang tua.

Bab VIIII ini membahas problematika nikah hamil di Indonesia. Nikah hamil terjadi ketika seorang wanita hamil sebelum menikah. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya, ada yang membolehkan langsung menikah tanpa iddah, ada yang melarang hingga melahirkan. Mazhab Syafi'i dan Hanafi cenderung membolehkan, sementara Maliki dan Hanbali lebih ketat dengan syarat iddah dan taubat.

Bab ini juga menjelaskan dalam hukum Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (KHI) membolehkan pernikahan wanita hamil dengan pria yang menghamilinya tanpa menunggu kelahiran anak. Pendekatan ini bertujuan melindungi status hukum anak dan mengakomodasi hukum adat yang menganggap anak dalam pernikahan sebagai bagian dari keluarga suami.

Bab X ini menjelaskan problematika hukum poligami di Indonesia, termasuk sejarahnya di berbagai peradaban, pandangan fikih klasik, serta perspektif gender. Poligami telah dikenal sejak zaman dahulu dan dibolehkan dalam beberapa ajaran agama, termasuk Islam, dengan batasan maksimal empat istri serta syarat keadilan. Islam menekankan bahwa monogami adalah prinsip utama, sementara poligami hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu, seperti istri mandul, dengan syarat suami mampu bersikap adil dalam nafkah dan pembagian waktu. Namun, secara fitrah, manusia memiliki kecenderungan cemburu dan iri hati, sehingga poligami sering menimbulkan konflik dalam keluarga.

Pada bab ini menjelaskan dalam perspektif gender, feminis menilai bahwa poligami bukan anjuran, melainkan peringatan akan sulitnya berbuat adil secara imaterial. Islam sendiri lebih merekomendasikan monogami sebagai bentuk pernikahan yang ideal dan harmonis. Di Indonesia, meskipun hukum membolehkan poligami dengan syarat tertentu, praktiknya sering kali menimbulkan masalah, seperti nikah siri yang merugikan perempuan dan anak. Oleh karena itu, poligami dalam konteks sosial dan hukum Indonesia masih menjadi perdebatan yang kompleks.

Bab XI membahas problematika hukum kewarisan di Indonesia yang bersumber dari konsep Islam tentang pemindahan hak atas harta peninggalan pewaris kepada ahli waris sesuai ketentuan tertentu. Hukum Islam mengatur warisan berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis, sedangkan hukum positif mengacu pada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Islam menetapkan perbedaan agama sebagai penghalang warisan, namun terdapat pandangan yang membolehkannya dalam kondisi tertentu. Konsep wasiat wajibah hadir untuk memberi hak warisan kepada cucu atau anak angkat yang tidak mendapat bagian, dengan batas maksimal sepertiga dari harta pewaris. Yurisprudensi menjadi pedoman hakim dalam memutus perkara waris bagi non-Muslim, sebagaimana terlihat dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yang mengembangkan penerapan wasiat wajibah bagi keluarga non-Muslim. Pendapat Yusuf al-Qardhawi juga dijadikan pertimbangan bahwa non-Muslim yang hidup damai tidak termasuk kafir harbi sehingga tetap bisa menerima warisan. Namun, karena masih berupa yurisprudensi, penerapannya bergantung pada pertimbangan hakim dalam setiap perkara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun