Buku ini membahas dinamika hukum keluarga Islam yang terus berkembang seiring perubahan zaman, budaya, dan tuntutan kemaslahatan umat. Dengan pendekatan progresif, buku ini mengupas isu-isu kontemporer seperti poligami, nikah mut'ah, nikah siri, serta hak dan kewajiban suami istri, yang sering menimbulkan perdebatan. Kajian dalam buku ini menawarkan reinterpretasi terhadap konsep lama tanpa menghilangkannya, tetapi merekonstruksi dengan perspektif yang lebih relevan dan humanis. Dengan demikian, buku ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru dalam memahami hukum keluarga Islam yang tetap berlandaskan syariat namun adaptif terhadap perubahan masyarakat modern.
Bab 1 buku ini membahas Konsep Hukum Perkawinan Progresif, yaitu hukum Islam yang fleksibel dan kontekstual demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam hukum waris, Muslim di wilayah minoritas boleh menerima warisan dari non-Muslim untuk menghindari kemudaratan. Pada bab ini juga membahas Sejarah hukum progresif yang lahir dari ketidakpuasan terhadap sistem hukum di Indonesia, dengan tujuan membebaskan cara berpikir dan sistem hukum yang kaku agar lebih solutif. Lalu bab ini membahas Karakteristik hukum progresif yang meliputi kebebasan hakim dalam menemukan hukum yang berpihak pada kemanusiaan, berlandaskan keadilan dan moralitas, serta mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Tujuan pembaruan hukum perkawinan progresif mencakup unifikasi hukum, peningkatan status perempuan, dan penyesuaian fikih dengan perkembangan zaman. Secara keseluruhan, bab ini menegaskan bahwa hukum perkawinan Islam harus fleksibel agar tetap relevan dan bermanfaat bagi masyarakat.
Bab II konstruksi hukum perkawinan islam di Indonesia, bab ini membahas tentang hukum perkawinan Islam di Indonesia. Perkawinan dalam Islam disebut nikah, yang berarti akad atau ikatan sah antara laki-laki dan perempuan. Pernikahan dilakukan dengan ijab (penyerahan dari pihak perempuan) dan qabul (penerimaan dari pihak laki-laki). Selain sebagai ikatan hukum, nikah juga mencerminkan hubungan yang sah secara agama dan adat.
Di Indonesia, hukum perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum agama masing-masing dan wajib dicatatkan secara resmi. Bagi umat Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan bagi non-Muslim sesuai aturan agamanya. Hukum perkawinan Indonesia menganut asas monogami, meskipun poligami diperbolehkan dengan syarat tertentu. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera, sehingga pasangan harus siap secara fisik dan mental serta berkomitmen untuk menjaga keutuhan rumah tangga.
Penulis juga memjelaskan bahwa Perceraian dalam Islam diperbolehkan tetapi sangat tidak disukai Tuhan. Awalnya, hak talak ada di tangan suami, sedangkan istri hanya dapat mengajukan gugatan cerai melalui khuluk. Namun, keseimbangan hak antara suami dan istri dalam perceraian kini semakin diakui melalui proses hukum di pengadilan. Islam menekankan pentingnya menjaga keharmonisan rumah tangga dan menyelesaikan masalah dengan cara yang baik agar perceraian menjadi pilihan terakhir.
Pada Bab III ini membahas tentang batas minimal usia perkawinan dalam hukum adat, Islam, dan peraturan di Indonesia. Dalam hukum adat, usia perkawinan tidak ditentukan secara spesifik, melainkan berdasarkan kedewasaan sosial dan ekonomi seseorang. Kedewasaan ini diukur dari kemampuan untuk hidup mandiri, mengelola harta, serta bertanggung jawab atas rumah tangga. Dalam Islam, usia menikah dikaitkan dengan fase baligh, yang ditandai dengan kematangan biologis, dan fase rusyd, yaitu kedewasaan berpikir dan bertindak. Terdapat perbedaan pandangan mengenai usia Aisyah saat menikah dengan Nabi Muhammad, di mana sebagian ulama menyebut usia 9 tahun, sementara penelitian lain menunjukkan bahwa ia mungkin berusia sekitar 14 atau 15 tahun saat menikah.
Dalam bab ini di jelaskan Di Indonesia, hukum menetapkan batas minimal usia pernikahan sebagai 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, dengan syarat izin pengadilan bagi yang belum cukup usia dan izin orang tua bagi yang di bawah 21 tahun. Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan kesiapan fisik dan mental calon pengantin agar dapat membangun rumah tangga yang stabil dan harmonis sesuai dengan tujuan perkawinan dalam Islam, yaitu menciptakan keluarga sakinah serta menjaga keturunan (hifz al-nasl).
Pada Bab IV ini dibahas tentang penerapan konsep hak dan kewajiban suami istri dalam pernikahan menurut Islam serta perspektif gender. Dalam Islam, pernikahan yang sah menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami istri yang harus dijalankan untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Suami berkewajiban memberikan nafkah, melindungi, membimbing, serta mendidik istri dan anak-anaknya, sementara istri bertanggung jawab mengelola rumah tangga dan mendidik anak-anak. Keduanya harus saling mencintai, menghormati, dan menjaga kehormatan keluarga. Dalam kajian gender, keadilan dalam rumah tangga berarti adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, bukan berdasarkan kodrat semata, melainkan melalui konstruksi sosial yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam bab ini juga menjelaskan tentang Perspektif gender yang menunjukkan bahwa perbedaan hak dan kewajiban dalam rumah tangga sering kali berasal dari norma sosial dan budaya, bukan dari ketentuan agama yang mutlak. Beban kerja perempuan dalam rumah tangga sering kali lebih berat dibanding laki-laki, terutama di keluarga miskin, di mana perempuan harus mengurus rumah sekaligus mencari nafkah tambahan. Kesetaraan dalam rumah tangga berarti membagi peran dan tanggung jawab secara adil sesuai dengan kemampuan masing-masing, tanpa mengorbankan hak salah satu pihak. Prinsip ini menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara di hadapan Allah, kecuali dalam hal ketakwaan.
Pada Bab V ini dibahas tentang problematika nikah siri di Indonesia, yang berkaitan dengan keabsahan pernikahan serta pandangan hukum terhadap praktik tersebut. Nikah sirri adalah pernikahan yang tidak dicatatkan secara resmi di Pegawai Pencatat Nikah (PPN), sehingga secara hukum dianggap lemah dan tidak memiliki kepastian hukum. Meskipun secara agama pernikahan ini tetap sah jika memenuhi syarat dan rukun nikah, namun secara administratif dapat menimbulkan berbagai masalah, terutama bagi perempuan dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Jika terjadi perceraian atau sengketa, pihak perempuan sering kali dirugikan karena tidak memiliki bukti hukum yang kuat. Oleh karena itu, pencatatan pernikahan menjadi penting agar pasangan suami istri mendapatkan perlindungan hukum yang jelas.
Pada bab ini juga di jelaskan Dari segi hukum yang berlaku di Indonesia, nikah siri dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebuah pernikahan tidak hanya harus sah secara agama tetapi juga wajib dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dalam Islam sendiri, perkawinan merupakan perjanjian luhur (mitsaqan ghalidhan) yang memiliki kedudukan tinggi, sehingga pencatatannya bukan sekadar formalitas, tetapi bagian dari kepatuhan terhadap hukum Islam dan negara. Oleh karena itu, pencatatan pernikahan bukan hanya demi kepentingan administratif, tetapi juga sebagai bentuk perlindungan bagi pasangan suami istri serta anak-anak mereka dari berbagai konsekuensi hukum di masa depan.