Mohon tunggu...
Meiliyani NIM 55525110031
Meiliyani NIM 55525110031 Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Mercubuana

Kampus UMB Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak Jurusan Magister Akuntansi Mata Kuliah Manajemen Perpajakan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengaruh Episteme Tingkat Kesadaran Organisasi terhadap Perilaku dan Strategi Pengelolaan PPh Pasal 23

14 Oktober 2025   02:01 Diperbarui: 14 Oktober 2025   02:06 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Pajak Penghasilan Pasal 23

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 merupakan salah satu jenis pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) maupun Bentuk Usaha Tetap (BUT) dari modal, jasa, atau penyelenggaraan kegiatan, selain yang telah dikenakan PPh Pasal 21. PPh 23 dipotong oleh pihak pemberi penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat jatuh tempo pembayaran kepada pihak penerima penghasilan. Jenis penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 23 antara lain dividen, bunga, royalti, hadiah dan penghargaan, sewa atas harta selain tanah dan/atau bangunan, serta imbalan jasa tertentu. Tarif PPh 23 umumnya sebesar 15% dari jumlah bruto atas dividen, bunga, royalti, dan hadiah, serta 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa. Pajak ini bersifat tidak final, sehingga pajak yang telah dipotong dapat dikreditkan oleh penerima penghasilan pada saat menghitung pajak penghasilan tahunan. Tujuan utama penerapan PPh 23 adalah untuk memperluas basis pajak serta menjamin agar penerimaan negara dapat dikumpulkan secara efektif melalui sistem pemotongan di muka (withholding system).

Meskipun PPh Pasal 23 memiliki cakupan yang luas terhadap berbagai jenis penghasilan seperti dividen, bunga, royalti, dan imbalan jasa, namun tidak semua transaksi atau penerimaan penghasilan dikenakan pajak ini. Pemerintah memberikan beberapa pengecualian atau pembebasan dari kewajiban pemotongan PPh 23, baik untuk mendukung kebijakan ekonomi tertentu, mencegah pajak berganda, maupun karena sifat transaksinya yang tidak memenuhi kriteria objek pajak. Ketentuan mengenai pengecualian ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015 beserta perubahannya serta dalam berbagai aturan pelaksana Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Beberapa jenis penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 antara lain dividen yang diterima oleh perseroan terbatas dalam negeri dari penyertaan modal pada badan usaha lain di Indonesia dengan kepemilikan saham minimal 25%, bunga yang dibayarkan kepada bank, serta sewa yang dibayarkan kepada perusahaan pelayaran atau penerbangan nasional karena telah dikenakan pajak final berdasarkan PPh Pasal 15.

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Selain itu, pengecualian juga berlaku terhadap penghasilan yang telah dikenakan PPh final, seperti sewa tanah dan bangunan atau bunga deposito, serta terhadap wajib pajak yang memperoleh Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh 23 dari Direktorat Jenderal Pajak. Pengecualian juga diberikan untuk pembayaran kepada organisasi internasional atau perwakilan diplomatik asing yang diakui oleh pemerintah Indonesia, sepanjang memenuhi asas timbal balik. Dengan adanya pengecualian ini, mekanisme pemotongan PPh Pasal 23 menjadi lebih adil dan efisien, serta menghindari terjadinya pemajakan ganda atas satu jenis penghasilan yang sama.

Pemahaman terhadap ketentuan pengecualian ini sangat penting dalam praktik manajemen pajak perusahaan. Melalui analisis yang tepat, perusahaan dapat memastikan hanya transaksi yang benar-benar termasuk objek PPh Pasal 23 yang dilakukan pemotongan pajak, sementara transaksi yang termasuk dalam kategori pengecualian dapat dikecualikan secara sah. Hal ini tidak hanya membantu menjaga kepatuhan terhadap peraturan perpajakan, tetapi juga mendukung efisiensi pengelolaan beban pajak secara legal, sehingga arus kas perusahaan tetap terjaga tanpa mengabaikan tanggung jawab fiskal kepada negara.

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Manajemen PPh Pasal 23

Manajemen PPh Pasal 23 adalah serangkaian kegiatan pengelolaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan atau pihak pemotong pajak untuk memastikan bahwa seluruh kewajiban pemotongan, penyetoran, dan pelaporan atas PPh 23 dilaksanakan dengan benar, tepat waktu, serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengelolaan ini tidak hanya mencakup aspek kepatuhan administratif, tetapi juga perencanaan pajak (tax planning) yang bertujuan untuk mengoptimalkan beban pajak secara legal tanpa melanggar ketentuan perpajakan. Dalam praktiknya, manajemen PPh 23 melibatkan identifikasi transaksi yang menjadi objek pajak, perhitungan tarif pajak yang sesuai, pelaksanaan pemotongan dan penyetoran ke kas negara, serta pelaporan melalui SPT Masa PPh 23. Selain itu, perusahaan juga perlu melakukan rekonsiliasi data antara laporan keuangan dan bukti potong untuk menghindari kesalahan atau temuan pada saat pemeriksaan pajak. Dengan manajemen PPh 23 yang baik, perusahaan dapat menjaga kepatuhan, meminimalkan risiko sanksi administrasi, serta mendukung efisiensi keuangan perusahaan secara keseluruhan.

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Untuk mengoptimalkan beban pajak tanpa melanggar hukum, perlu dilakukan strategi manajemen pajak. Pemotongan pajak kepada lawan transaksi yang tidak memiliki NPWP akan dikenai tarif lebih tinggi yaitu 2 kali lipat dari tarif normal, sehingga perlu untuk memastikan lawan transaksi atau penerima penghasilan memiliki NPWP agar pajak yang dipotong tidak bernilai lebih tinggi. Pemotongan pajak dengan tarif lebih tinggi juga seringkali terjadi karena adanya kesalahan dalam mengklasifikasikan jenis pekerjaan dan tarif pajak, oleh karena itu perlu dilakukan perencanaan penyusunan kontrak jasa yang jelas dan terperinci. Pengaturan waktu pembayaran juga perlu diperhatikan agar beban pajak berada di periode laba yang lebih tinggi sehingga arus kas atau cash flow dapat diefisiensi. Dengan demikian, manajemen pajak tidak sekadar soal menghitung tarif, tetapi juga mengatur transaksi secara strategis agar sesuai aturan dan efisien secara finansial.

Pendekatan Episteme: Hubungan Kesadaran dan Perilaku Pajak

Teori “The Map of Consciousness Explained” oleh David R. Hawkins (2020) menjelaskan bahwa tingkat kesadaran manusia dan organisasi bergerak dari Force (dorongan negatif: takut, ego, defensif) menuju Power (dorongan positif: cinta, integritas, kesadaran). Jika teori tersebut dihubungkan dengan perilaku perpajakan, maka ketika berada di level “Force”, individu atau organisasi akan berperilaku reaktif dan patuh pajak karena takut diperiksa. Sedangkan pada level “Power”, kepatuhan akan muncul karena kesadaran moral bahwa pajak adalah bagian dari tanggung jawab sosial. Pemetaan tersebut memberikan arti bahwa strategi pengoptimalan beban pajak berupa verifikasi NPWP atau pemilihan mitra PKP dapat dimotivasi oleh dua hal yang berbeda yaitu ketakutan akan sanksi (Force), atau kesadaran akan integritas (Power). Episteme ini memperluas pemahaman bahwa kepatuhan pajak bukan hanya akibat dari tekanan hukum, melainkan hasil dari evolusi moral dan spiritual organisasi.

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Pemetaan Tingkat Kesadaran dalam Konteks Pajak : 17 Tingkat Kesadaran

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Konsep tingkat kesadaran menggambarkan spektrum perkembangan kesadaran manusia yang mencakup aspek emosi, motivasi, dan orientasi perilaku. Hawkins memetakan 17 tingkat kesadaran mulai dari Shame (20) hingga Enlightenment (1000). Setiap level memiliki karakteristik energi, cara berpikir, dan dorongan perilaku yang berbeda, yang secara tidak langsung dapat memengaruhi bagaimana seseorang atau kelompok merespons kewajiban sosial, termasuk dalam konteks kepatuhan terhadap pajak. Dalam konteks perpajakan, pemetaan tingkat kesadaran ini dapat digunakan untuk memahami motivasi wajib pajak dalam menjalankan kewajiban pajaknya. Misalnya, pada tingkat kesadaran rendah seperti Shame (20) atau Guilt (30), perilaku wajib pajak mungkin didominasi rasa takut atau malu terhadap sanksi, sehingga kepatuhan bersifat terpaksa dan belum didasari pemahaman nilai moral membayar pajak. Pada level menengah seperti Courage (200) hingga Reason (400), wajib pajak mulai memahami peran pajak dalam mendukung pembangunan negara dan mulai mematuhi aturan dengan kesadaran rasional. Sedangkan pada level kesadaran tinggi seperti Love (500) hingga Enlightenment (700–1000), kepatuhan pajak muncul secara sukarela dan disertai kesadaran spiritual atau tanggung jawab sosial yang mendalam, di mana membayar pajak dipandang sebagai kontribusi nyata terhadap kesejahteraan bersama.

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Strategi manajemen pajak dapat dipandang sebagai bentuk perjalanan menuju tingkat kesadaran organisasi. Dalam konteks ini, kepatuhan pajak tidak semata-mata soal kepatuhan administratif, tetapi mencerminkan evolusi kesadaran korporasi terhadap peran pajak dalam kehidupan berbangsa. Pada level rendah (Force), perusahaan membayar pajak karena dorongan rasa takut terhadap sanksi dan denda, kepatuhan bersifat terpaksa. Naik ke level menengah (Reason), perusahaan mulai menyusun sistem administrasi pajak yang rasional, efisien, dan berbasis prinsip objektivitas. Sementara pada level tinggi (Love–Peace), perusahaan memandang pembayaran pajak sebagai bentuk tanggung jawab moral dan kontribusi nyata terhadap kemajuan bangsa. Pergeseran dari ketakutan menuju kesadaran ini disebut sebagai evolusi epistemik, yaitu transformasi dari sekadar pengetahuan teknis menjadi kesadaran reflektif. Pada tahap ini, episteme pajak tidak lagi dipahami sebagai “ilmu menghitung pajak”, tetapi sebagai ilmu yang menanamkan pemahaman nilai, moralitas, dan tanggung jawab sosial di balik kepatuhan fiskal. 

Teori Jeff Cooper’s Color Code: Kesadaran Situasional dalam Pajak

Teori Jeff Cooper’s Color Code awalnya dikembangkan dalam konteks militer untuk menjelaskan tingkat kesiagaan seseorang terhadap ancaman, namun dalam konteks perpajakan, teori ini dapat dianalogikan untuk menggambarkan tingkat kesadaran organisasi terhadap risiko pajak. Setiap warna mewakili kondisi kesadaran yang berbeda. Pada level White, organisasi berada dalam kondisi tidak sadar, belum mengenali risiko pajak, dan cenderung mengabaikan kewajiban seperti verifikasi NPWP. Naik ke level Yellow, organisasi mulai memiliki kewaspadaan ringan, menunjukkan kesadaran awal terhadap risiko pajak dengan tindakan pasif seperti mulai menanyakan NPWP kepada mitra. Pada level Orange, kesadaran meningkat menjadi fokus terhadap risiko; organisasi mulai bertindak sistematis, menegaskan klausul pajak dalam kontrak, dan melakukan audit internal. Level Red menggambarkan tingkat kesiagaan penuh, di mana organisasi bertindak tegas terhadap pelanggaran, misalnya memutus kerja sama dengan mitra yang tidak patuh pajak. Sebaliknya, level Black menunjukkan krisis kesadaran, ketika organisasi gagal total dalam pengelolaan pajak hingga terjadi skandal atau pelanggaran berat.

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Analogi ini mengilustrasikan perjalanan evolutif kesadaran organisasi dari kondisi “tidak sadar risiko” menuju “bertindak penuh kesadaran.” Dalam konteks manajemen pajak yang ideal, organisasi diharapkan bergerak dari White menuju Red, di mana kebijakan pajak dijalankan secara proaktif, sistematis, dan berlandaskan nilai moral. Pendekatan ini menegaskan bahwa kesadaran pajak tidak hanya berorientasi pada kepatuhan administratif, tetapi juga mencerminkan integritas dan tanggung jawab etis dalam mengelola risiko perpajakan secara berkelanjutan.

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Epistemologis : Hubungan Cooper - Hawkins

Integrasi antara teori Cooper dan Hawkins membentuk perpaduan antara kesadaran situasional dan kesadaran moral-spiritual. Cooper menekankan pentingnya kesadaran situasional, kesiagaan terhadap ancaman eksternal, seperti risiko atau ketidakpatuhan, sedangkan Hawkins menekankan kesadaran moral-spiritual, yaitu refleksi internal terhadap kebenaran, moralitas, dan pencerahan batin. Secara epistemik, keduanya menunjukkan perjalanan dari ketidaksadaran menuju kesadaran penuh. Cooper melalui jalur reaksi dan refleksi atas situasi, sementara Hawkins melalui transformasi dari rasa takut menuju cinta dan kekuatan moral. Sintesis dari kedua pendekatan ini menghasilkan episteme holistik, yaitu bentuk kesadaran yang menyatukan aspek kognitif, etika, dan tindakan. Dalam konteks organisasi, integrasi ini mencerminkan evolusi kesadaran dari sekadar kesiagaan teknis terhadap risiko menjadi pemahaman yang lebih mendalam tentang makna dan tanggung jawab sosial di balik kepatuhan pajak.

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Tahapan Evolusi Kesadaran Organisasi (Interpretasi Pajak)

Tabel Interpretasi dalam Konteks Manajemen Pajak menggambarkan tahapan evolusi kesadaran organisasi terhadap pajak, mulai dari ketidaksadaran hukum hingga kesadaran spiritual organisasi. Pada tahap Ignorantia (Black–Shame), organisasi berada pada kondisi tidak sadar hukum, menganggap pajak sebagai beban, dan cenderung mengabaikan kewajiban administratif seperti verifikasi NPWP atau pencantuman klausul pajak. Tahap Pra-Kesadaran (White–Fear) menunjukkan adanya sedikit pemahaman, di mana kepatuhan dilakukan semata-mata karena takut terhadap sanksi, sehingga pelaporan pajak dilakukan seadanya. Memasuki tahap Kesadaran Reaktif (Yellow–Courage), organisasi mulai menyadari risiko dan mengelola pajak secara preventif melalui verifikasi NPWP dan audit ringan. Pada Kesadaran Rasional (Orange–Reason), pajak mulai dipandang sebagai bagian dari manajemen risiko yang dikelola secara sistematis dan objektif, misalnya dengan mencantumkan klausul pajak dalam kontrak dan menyeleksi mitra PKP. Selanjutnya, Kesadaran Etis (Red–Love) menunjukkan kepatuhan yang dilandasi integritas dan tanggung jawab sosial, seperti memilih mitra yang patuh pajak dan membangun budaya transparansi. Tahap tertinggi adalah Kesadaran Transendental (White–Enlightened), di mana pajak dipahami sebagai bentuk kontribusi sosial untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan kolektif, organisasi pada tahap ini mengelola pajak bukan sekadar kewajiban, tetapi sebagai bagian dari praktik spiritual dan etika sosial yang lebih luas.

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23
Modul Dosen Apollo, PPh Pasal 23

Tingkat kesadaran menentukan kualitas kepatuhan. Organisasi dengan kesadaran tinggi akan memandang pajak bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai bentuk kontribusi dan tanggung jawab moral terhadap bangsa. “Manajemen pajak yang berlandaskan kesadaran tinggi adalah wujud evolusi epistemik dari Force menuju Power dari kepatuhan karena takut menuju kepatuhan karena cinta kebenaran dan tanggung jawab sosial". Dalam konteks akademik, pernyataan ini menunjukkan bahwa disiplin ilmu perpajakan bisa bertransformasi dari praktik administratif menjadi ilmu kesadaran sosial. 

“Dalam sintesis episteme Cooper–Hawkins, manajemen pajak yang efektif bukan sekadar urusan kepatuhan teknis, melainkan refleksi tingkat kesadaran organisasi dari ketidaktahuan menuju pencerahan fiskal. Pajak tidak lagi menjadi instrumen tekanan, melainkan sarana spiritual untuk mencapai keseimbangan antara hukum, etika, dan kebenaran.”

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun