Indonesia bukan hanya negara kepulauan---kita adalah negara laut. Di ujung utara Sulawesi, tepatnya di Kabupaten Kepulauan Sangihe, laut bukan sekadar pemandangan biru, tapi juga jalan utama penghubung kehidupan. Di sanalah KM Sabuk Nusantara 69 menjadi lebih dari sekadar kapal: ia adalah harapan, denyut logistik, dan penyambung asa.
KM Sabuk Nusantara 69 adalah kapal perintis milik Kementerian Perhubungan yang dikelola oleh PT Pelni. Kapal ini melayani rute-rute terpencil yang sulit dijangkau oleh kapal-kapal komersial. Rutenya meliputi berbagai pulau kecil dari Tahuna (Sangihe) hingga pulau-pulau terluar seperti Marore, Matutuang, dan bahkan ke wilayah Maluku Utara seperti Lirung, Miangas, dan Melangguane.
Dengan kapasitas penumpang hingga 500 orang, serta ruang kargo untuk kebutuhan logistik, kapal ini bukan hanya membawa manusia, tetapi juga beras, bahan bangunan, sembako, bahkan ternak.
Perjalanan menggunakan KM Sabuk Nusantara 69 bukan tanpa cerita. Gelombang tinggi, pelabuhan sederhana, dan cuaca ekstrem menjadi tantangan yang harus dihadapi setiap pelayaran. Tapi di balik itu semua, kapal ini justru menjadi simbol ketangguhan masyarakat perbatasan.
Bagi warga di pulau-pulau kecil, jadwal kedatangan kapal adalah perayaan tersendiri. Ketika sirene kapal terdengar di kejauhan, anak-anak berlari ke dermaga, para pedagang bersiap menyambut kiriman barang, dan petugas desa mengatur antrean penumpang.
KM Sabuk Nusantara 69 membuktikan betapa pentingnya kehadiran negara melalui konektivitas maritim. Subsidi dari pemerintah membuat tiket kapal ini sangat terjangkau, bahkan sering gratis untuk pelajar dan barang bantuan. Namun di balik itu, ada pekerjaan rumah besar: perawatan armada, peningkatan pelayanan, dan penguatan pelabuhan-pelabuhan kecil.
Tak jarang kita dengar kabar penumpang menginap semalam di dermaga karena cuaca buruk. Tapi bagi mereka, menunggu kapal lebih baik daripada tidak ada kapal sama sekali.
Refleksi: Dari Sabuk ke Nusantara
Menulis tentang KM Sabuk Nusantara 69 bukan sekadar soal kapal. Ini tentang bagaimana negara hadir dalam wajah sederhana, tentang bagaimana satu kapal bisa menjadi penghubung antar-generasi, antar-pulau, bahkan antar-harapan.
Sebagai warga Indonesia, kita perlu melihat kapal seperti Sabuk Nusantara sebagai aset penting, bukan hanya alat angkut. Ia membawa semangat Nawacita: membangun dari pinggiran, dengan kehadiran yang nyata.
Penutup: Menghargai Mereka yang Menjaga Laut