Natal kini telah berubah wajah. Ia tidak lagi sederhana dan hening seperti di Betlehem, tetapi bising, berkilau, dan penuh belanja. Di kota-kota seperti Tahuna, Ambon, Kupang, dan Merauke, kita menyaksikan bagaimana perayaan religius umat Kristen semakin terhimpit oleh tuntutan gaya hidup konsumtif. Gaun pesta, tukar kado mahal, pesta besar, bahkan pinjaman online menjelang Desember---semua jadi bagian "normal" dari tradisi baru yang sebenarnya menyesatkan.
Saya tergerak menulis ini bukan untuk menghakimi, tetapi mengajak kita semua merenung. Dalam disertasi saya di bidang teologi praktis, saya mendalami bagaimana teologi kesederhanaan dapat menjadi strategi penginjilan di tengah budaya konsumtif yang makin mengakar dalam kehidupan umat Kristen Indonesia Timur.
Konsumerisme: Budaya Baru yang Merasuk Diam-Diam
Konsumerisme bukan hanya soal belanja. Ia adalah cara berpikir. Ia meyakinkan kita bahwa "saya belanja, maka saya berarti." Ia merusak spiritualitas karena menggantikan makna sejati hidup dengan label harga. Sosiolog Prancis Jean Baudrillard menyebutnya sebagai bentuk komunikasi sosial: manusia kini dinilai bukan dari siapa dia, tapi dari apa yang dia pakai dan beli.
Realitanya, di banyak komunitas Kristen kita, bahkan anak-anak Sekolah Minggu sudah terbiasa mengaitkan sukacita dengan benda. Dalam pelayanan pemuda, tekanan untuk tampil "kekinian" melampaui semangat pertumbuhan iman. Yang menyedihkan, banyak keluarga Kristen berutang hanya agar tak terlihat "ketinggalan" saat Natal tiba. Ini bukan hanya krisis sosial, tetapi krisis spiritualitas.
Apa Kata Para Teolog Dunia?
Banyak tokoh teologi terkemuka telah menyoroti bahaya konsumerisme terhadap iman:
Walter Brueggemann, teolog Perjanjian Lama, menyebut konsumerisme sebagai "liturgi tandingan" yang menggeser penyembahan kepada Allah menjadi penyembahan kepada mamon.
Timothy Keller, dalam bukunya Counterfeit Gods, menyatakan bahwa uang dan konsumsi telah menjadi berhala modern yang sulit dilawan, karena mereka menyamar sebagai "berkat."
Paus Fransiskus, dalam ensiklik Laudato Si', memperingatkan bahwa konsumerisme adalah akar dari krisis ekologis dan krisis batin umat manusia. Ia menyerukan pertobatan ekologis dan hidup sederhana.
Ronald J. Sider menulis tegas dalam Rich Christians in an Age of Hunger bahwa kesederhanaan adalah keharusan etis umat Kristen dalam dunia yang timpang.