Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pintu yang Tak Pernah Tertutup

25 Mei 2022   22:54 Diperbarui: 25 Mei 2022   23:36 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku hampir-hampir tak merasakan bagaimana nyenyaknya tidur di malam hari. Aku hanya hidup untuk menyenyakkan tidur Emak tanpa diganggu suara perut yang keroncongan. Ya, sementara itu saja cukup. Tak ada satu keinginan pun untuk diriku sendiri. Khususnya semenjak Mas Kurdi meninggalkanku. Lelaki itu pergi setelah mendengar vonis dokter bahwasanya tak akan ada satu benih yang akan tumbuh di dalam rahimku. Penyakit kista telah memangkas harapan-harapan untukku menjadi seorang ibu.

Aku beranggapan kalau kista dan benih hanyalah sebuah peralihan dari alasan yang sesungguhnya, yaitu karena aku miskin. Lelaki mana yang mau bersakit-sakitan di masa tuanya hanya bersama perempuan yang tidak memiliki apa-apa.

Sejak saat itu, aku mulai berpikir bagaimana cara menjadi kaya dan memenuhi segala kebutuhan. Itulah yang meresahkan batinku, bagaimana bisa jika tak satu pun pekerjaan kuperoleh setelah pemecatan berbulan-bulan lalu. Jadilah aku di sini.

***

Beberapa orang yang lewat selalu melihatku di halaman belakang rumah. Sedikit berhenti, melihat, lalu berjalan kembali dengan bibir sedikit ditekan ke bawah hingga dagu mereka menyerupai rumah tawon. Mereka tentu tidak berani bertanya langsung, apa yang sedang kulakukan. Kalaupun ada yang berani bertanya, hanya sebagian saja itupun teman-teman sepermainanku di masa kecil dulu.

"Nar, apa yang sedang kaujemur itu?"

"Baju," jawabku singkat sedikitpun tak terusik dengan suara cekikikan Lastri dan Rosida.

"Bentuknya lucu sekali ya, bagaimana caranya pakainya, Nar"

Hahahaha suara tawa keras keluar dari kedua mulut mereka secara bersamaan. Tanpa menunggu jawaban dariku keduanya ngeloyor pergi dengan terus berbisik-bisik satu sama lain.

Andai saja mereka sedikit menunggu penjelasanku. Mungkin aku juga akan mendapatkan kesulitanan, sesulit merubah tatapan mata setiap orang yang lewat saat ini.

Beberapa bulan berjalan, aku tak pernah memperdulikan gunjingan orang sekampung. Setiap aku menjemur dan saat berangkat kerja semua orang berbisik-bisik lalu terbahak. Tidak hanya perempuan, muda, tua, bahkan para lelaki mulai suka bersiul-siul dan menggoda. Ahh tak kupedulikan, toh di tempat itu semua orang sudah terlalu berlebihan ramahnya dari orang-orang sekampung sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun