Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Penyair dan Sajak-sajak Kematian

16 Oktober 2021   01:36 Diperbarui: 16 Oktober 2021   22:32 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cahaya pagi ini begitu menyala di mataku. Seperti yang banyak orang kira, ada kecemburuan di dalam pandangan ini. Entah mengapa aku tiba-tiba menjadi benci dengan kebahagiaan orang. Sementara dari kecil aku hidup dalam kesendirian, sama sekali tak pernah mengenal kata cemburu.

***

Kita berdua beberapa waktu lalu pernah memimpikan untuk menikah. Menjadi pengantin bayang-bayang bahasa, yang hidup di barisan kata, di antara sajak-sajak yang terpampang di media massa. Seperti penyair yang menikahi kematian dalam cerpenmu.

Sebagai calon pengantin banyak persiapan yang kulakukan. Mulai bagaimana bangun pagi, membersihkan diri dengan air hangat seperti yang kau sukai. 

Berbahasa lemah lembut, bagaimana sulitnya, mungkin hanya aku yang merasakannya sebagai orang timur yang terkenal 'sanjipak/asal njeplak(asal bicara) dan berwatak keras.

Tidak ada lagi suka-suka yang kusukai. Selimut yang berserakan di lantai, ketika pagi hari mengharuskan lekas-lekas pergi. Yang paling membuat tersiksa adalah bagaimana cara untuk tidak tertarik dengan senyum bahagia orang-orang di sekeliling. Sungguh benar-benar menyiksa. 

Pernah ada satu orang penyair yang menawarkan ribuan sajak untuk mengajak mengarungi samudera, berenang bersama ikan-ikan. Lalu kau tawarkan sepi untuk syarat keikutsertaannya dan mereka muntah-muntah dibuatnya.  "Sepi hanyalah teman mereka yang patah hati," katanya sambil menangis.

Kulihat bayang punggungnya menjauh, dengan menggamit lengan perempuan muda itu. Siul-siulannya terdengar membahana, dengan menstarter motor cantik, keduanya berpelukan mesra, tak ada lagi tatapan rindu kepadaku. 

Fajar nyaris hilang, siang telah bersiap melenakan setiap mata yang sedari subuh telah terjaga. Melakukan aktivitas sebagai manusia pada umumnya, warga desa bersiap-siap merebahkan diri di balai-balai. 

Semua terasa sunyi. Sepanjang jalanan hanya ada rumah-rumah dengan pintu masih terbuka tapi sama sekali tidak bersuara. Aku masih menunggu.

Tak berapa lama kulihat ia kembali, lagi-lagi masih dengan bersiul-siul senang. Dengan kantong kresek hitam di kedua tangannya. Dia masih tertawa riang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun