Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku, Kenangan, dan Wajah Asing

30 Juli 2021   22:38 Diperbarui: 30 Juli 2021   23:13 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu, setelah semalaman kita bersama menikmati malam tanpa percakapan, kami lantas pulang setelah adzan subuh terdengar di udara. Pipit memutuskan pulang dengan naik motor sendiri, meninggalkanku sendiri di depan pagar rumah kaca yang beberapa waktu lalu menjadikan Pipit sebagai musuhku. 

Aku pulang ke rumah dengan naik becak. Ada sebuah sesak menghimpit dada. Untuk meneruskan perjuangan ini ada satu pengorbanan besar yang telah kulakukan. Ah, mengingat hal itu, terkadang aku ingin menangis keras-keras. Saat membayangkan wajah Pipit penuh amarah di malam itu, dan wajah asing yang kutemui di pagi harinya, dalam kamar kost. Selain itu juga, aku masih ingat perkataannya pada pertemuan terakhir kami.

"Jauh-jauh ..."

"Mulai saat ini, anggap saja aku sudah mati." 

****

Dari bangku batu menghadap jalanan Krembangan yang sunyi. Orang-orang yang berkerumunan mulai berkurang. Entah, sudah pukul berapa sekarang. Hampir setiap malam menjelang pagi tak lagi bisa kukenali waktu, lebih tepatnya jarum jam tiba-tiba bergerak sangat cepat, terkadang bisa sangat lambat sehingga kenangan pahit itu bisa berirama sahut menyahut menghardik kepadaku.

Benar, hampir setiap waktu sejak wajah asing itu kutemui di dalam kamar kost. Aku selalu menangisi pagi di sini. Sesenggukan sendiri, dengan tengadah memandangi langit menjelang pagi. Kerap aku teringat kata-katanya yang meminta pulang. Entah bagaimana kabar Pipit di sana. Aku tak tahu pasti. Sudah dua lebaran aku belum bisa pulang, meskipun begitu aku berjanji pasti akan pulang dan kuharapkan maaf darinya. Dalam batin, aku tak pernah meragukan kasih sayangnya. Aku berharap dia bisa menjadi seorang lelaki sejati, seperti yang kuinginkan untuknya.

[Aku harap kau tidak cukup kecewa. Karena tidak terlalu egois sehingga mampu mencegahmu menjadi bagian duniaku. Aku hanya manusia setengah pria yang tidak bisa menahan kecemburuan ketika satu persatu tangan-tangan kaumku menyusuri kulit putih di balik kutang merah darah semalam tadi. Ada air mata yang perlahan kualirkan, sebagai pencuci dosa pada wajah berbedak putih. Meskipun masih saja jakun naik turun menertawakan mereka. 

Maafkan aku, kekasih. Rupanya semalaman menangis tidak cukup membasuh dosaku terhadapmu. Aku hanyalah manusia setengah pria yang tidak bisa menahan cemburu karena terlalu sayang. Mulai hari ini tak akan ada lagi manja dan larangan-larangan dariku yang setiap waktu membuatmu risih. Aku pikir untuk menjadi lelaki sejati, seseorang harus mengawalinya dengan kemandirian. Ternyata aku tak cukup mampu, kekhawatiranmu atas hidup membuatku merasakan kekalahan terbesar di dalam kehidupan ini.]

Kertas lusuh bertulisan tangan lelaki berwajah asing yang kutemui di kamar kost pagi itu, masih kugenggam erat-erat. Entah karena waktu atau memang sesal itu tidak pernah bosan kuajak berlari menjauhi pagi. Bayangan wajah Pipit dan lelaki itu bergantian membayangi setiap jarum bergerak detik ke menit begitu seterusnya. 

"Aku akan kembali kepadamu, nanti. Maaf sementara membuatmu menunggu ..." gumanku melukiskan wajah gerimis kekasih di ujung pagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun