Mohon tunggu...
Megawati
Megawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sastra Indonesia

Saya seorang mahasiswa angkatan 2019 progaram studi Sastra Indonesia, hobi saya membaca,,kadang juga suka menulis. Sebab menulis adalah jalan ninja saya meluapkan perasaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menempuh Perjalanan Mata, Hari dan Hati Dua Sahabat

31 Mei 2022   16:17 Diperbarui: 31 Mei 2022   16:21 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa sih definisi kebahagiaan?
Saat semua terasa telah dimiliki? Atau saat kekayaan melimpah ruah dalam kehidupan?. Setiap orang memiliki definisi kebahagiaan yang berbeda-beda, namun kebahagiaan akan hadir pada mereka yang selalu ikhlas dengan proses.
Tidak hanya kebahagiaan, Impian juga harus ikut andil untuk mendatangkan kebahagiaan
Impian?. Saya rasa semua orang memiliki impian, namun kadang impian itu harus di kubur dengan berbagai alasan, dan alasan yang paling lumrah, keluarga. Kadang kenyataan lebih harus di terima dari pada sebuah impian, yang entah dapatkah kita meraih atau tidak dengan tekanan keluarga. Sudah banyak di luar sana harus rela, merelakan impian demi keinginan kedua orang tua. Contoh kecil dalam dunia perkuliahan, saat kamu menginginkan jurusan itu, tapi kamu kuliah di jurusan yang menjadi pilihan orang tuamu, hanya rasa pasrah demi orang tua tercinta. Akibatnya impian di kesampingkan.
Namun, hal itu berbeda dalam novel ini. Kisah ini justru berjuang hebat untuk meraih impian, meski di depan mata ada rintangan yang harus dilewati, termaksud orang tua.
Membaca berbagai novel, secara tidak langsung membawa kita kepad hal-hal yang lebih positif dan selalu produktif setiap saat. Berbagai cerita tersajikan dalam bentuk motivasi bagi pembacanya, dan tentu ada kebahagian sendiri setalah membacanya.

Perjalanan Mata, Hari dan Hati. Cerita ini berawal, Matari Anas memiliki impian menjadi seorang New anchor terkenal. Di usianya yang menginjak 26 tahun ia telah bekerja di sebuah stasiun televisi berita, namun tentu saja ia tidak bisa langsung menjadi New anchor ia harus melewati beberapa tahap terlebih dahulu dan itu memakan waktu yang tidak sebentar, minimal 3 tahun. 

Di tengah kondisi karut-maruk ekonomi keluarganya, belum lagi ia selalu dihantui dengan hutang-hutangnya semasa kuliah mencapai 55 juta yang harus ia lunasi. Telah menjadi rahasia alam, Matari yang nekat kuliah saat kondisi ekonomi keluarganya yang sangat memperhatinkan, membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa selesai meminjam uang untuk biaya kuliahnya. Namun Matari tidak pantang menyerah, kini ia dapat menambah nama lain di belakang namanya, Matari, S.I. Kom. Matari seorang Sarjana Komunikasi Universitas Panaitan, Bandung. Sangat beruntung di tengah sulitnya mencari dunia pekerjaan bagi sarjana, dirinya mendapat tawaran kerja yang memang berada di bidangnya dan dekat dengan impiannya, kesempatan emas bagi Matari dan tidak boleh disia-siakan, lagi pula gaji yang dijanjikanpun lebih besar dari beberapa stasiun televisi yang pernah ia kunjungi.

Hari-hari Matari pun berjalan dengan baik meski masih ada rasa yang mengganjal. Bagaimana bisa melunasi hutang yang 55 juta itu dengan gaji yang pas-pasan, butuh berapa tahun untuk melunasinya? Mungkin itulah pikiran yang terus menjadi keresahan bagi Matari. Saat ini dirinya masih jadi reporte berita, yang berarti gajinya masih dibawa standar.

Di sisi lain, ada Awan Angkasa seorang Treasury Finance di bank Madani, Jakarta. Bekerja sebagai seorang bankir bukanlah keinginannya, semua ia lakukan hanya demi ibunya yang ingin dirinya mengikuti jejak Almarhum Ayahnya. Sehingga Awan selalu bekerja tanpa hati atau separuh hati, entahlah, sebab ia tidak pernah bahagia akan pekerjaannya, gaji yang menjamin tidak bisa membuatnya bahagia. Impiannya adalah menjadi seorang pencerita, ia ingin bisa membuat film yang dapat dinikmati dan menghibur masyarakat. Disela-sela kariernya sebagai seorang bankir, Awan selalu meluangkan waktu untuk menulis cerita di dalam blognya yang ia beri nama Episentrum. 

Episentrum memiliki arti sendiri bagi Awan, dan ia yakin Episentrum inilah akan membawanya dekat dengan impiannya.
Matari dan Awan bersahabat sejak SMA. Awan yang bekerja sebagai bankir membuat Matari menjadikannya tempat untuk konsultasi keuangannya agar bisa mengatur bagaimana baiknya pengeluaran untuk membayar utang - utangnya. Saat pertemuan itu, mereka membahas masalah Matari, butuh betapa tahun untuk melunasi hutang 55 juta dengan gaji 2,5 juta yang inipun harus terbagi-bagi untuk kebutuhan hidungnya, dan ternyata membutuh waktu kurang lebih 11 tahun.
Bulan dan tahun telah berlalu, namun kedua sahabat itu, belum juga menemukan arti kebahagiaan. Matari yang kini mulai jenuh dengan pekerjaannya, memikirkan hutang yang tidak lunas-lunas. Awan yang harus terus memaksa hati dan jiwanya, tetap berada dipekerjaannya. Impian sudah di depan mata, namun ia tidak mau menggapainya tanpa restu Ibunya.
Mereka selalu meluangkan waktu disela-sela kesibukan mereka, untuk bertukar pikiran, tempat pertemuan favorit di cafe Tulip. Saat pertemuan, mereka selalu menceritakan apa yang selama ini mereka impikan dan persoalan-persoalan yang sedang mereka hadapi. Berbagai wejangan, nasehat dan kata motivasi, mereka utarakan satu sama lain untuk saling menguatkan hingga menemukan solusi untuk masalah. 

Dan pertemuan itu tidak pernah gagal mendapatkan semangat baru bagi mereka. Saling menguatkan padahal tidak bisa menguatkan diri sendiri. Tapi justru pertemuan mereka yang rutin, selalu membawa kelegaan setiap saatnya.

Bekerja tanpa hati, akan menimbulkan keresahan-keresahan dengan pikiran ingin segera mengakhiri. Dan tidak sedikit di luar sana mereka yang bekerja hanya sekedar untuk mendapat uang. Ya, bekerja memang untuk mendapatkan uang. Namun setelah membaca ceria mereka secara utuh, kesadaran itu hadir. Bekerja untuk mendapatkan uang dan memaksa hati, mungkin kita akan hanya akan mendapat apa yang kita inginkan, tapi tidak dengan hati yang bahagia dan hati yang ikhlas. Karena itulah yang dua sahabat itu rasakan. 

Selama mereka menjalankan pekerjaan, mereka tidak dengan sepenuh hati, alhasil problema tidak terselesaikan. Selalu ada rasa yang menggnjal dalam hati, mereka selalu merasa sia-sia dengan apa yang mereka lakukan, Hingga akhirnya mereka mengambil keputusan yang mungkin akan membantunya untuk keluar dari keresahan hati yang mereka sedang dirasakan, terutama Awan. Awan terus meyakinkan ibunya, jika dirinya ingin impiannya tercapai, dan resign dari pekerjaan yang baginya hanya sebagai robot perusahaan. Sedanfkan Matari, ia mencintai pekerjaannya, namun itu belum cukup untuk dapat melunasi hutangnya, harus ada usaha yang pegang untuk menambah penghasilannya, dan akhirnya Matari mencoba mencari pekerjaan sampingan yang bisa membantu keuangannya, yaitu dengan menjual pakaian daster, yang lagi tren dimasanya. Dan penjulan ini cukup membantunya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bisa menyisihkan lebih banyak uang untuk membayar utangnya.

Saat mereka melakukan semuanya dengan ikhlas. Mereka benar-benar bisa merasakan ketenangan jiwa itu. Satu persatu solusi tertemukan. Awan sudah bisa menyakinkan ibunya, dan ia telah resign dari pekerja sebagai bankir, dan kini ia mendaftarkan diri untuk ikut workshop skenario film, impiannya sebentar lagi pikirnya. 

Sementara itu Matari, sedikit sedikit sudah mulai melunasi hutang kuliah, dan juga sebagian teman-teman tempat meminjam uang kuliah, telah mengikhlaskannya, hingga Matari dapat menikmati pekerjaan sebagai reporter yang sebentar lagi akan naik jabatan menjadi New anchor atas kerja kerasnya.
Perjalanan manusia yang jika diawali dari hati, maka akan kembali menuju hati dengan tepat. Itulah yang sedang Adenita jelaskan dalam novel ini. Adenita sedang mengajak kita untuk menjelajahi arti kebahagiaan. Melalui kisah 2 tokoh pejuang impian yang paling menonjol, yang mencari makna hidup di tengah pusaran karier mereka. Sangat menginspirasi dan mencerahkan. Realita kehidupan dunia kerja seorang sarjana tersaji dalam novel 23 Episentrum, Adenita. Sebuah perjalanan mata, hari dan hati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun