Mohon tunggu...
megaprasetya
megaprasetya Mohon Tunggu... mahasiswa

Seorang mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan yang memiliki minat di bidang ekonomi. Selama kuliah saya selalu menyesuaikan diri dengan berbagai hal yang berkaitan dengan ilmu ekonomi. Saya memiliki keterampilan memahami metode analisis ekonomi baik kualitatif maupun kuantitatif serta memahami keterbatasannya, mampu menganalisis fenomena ekonomi terkini, mampu berpikir logis dan analitis, serta menyampaikan pemikiran secara lisan dan tertulis dengan memanfaatkan teknologi informasi terkini.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Mengoptimalkan Penguatan Literasi Digital Melalui Strategi Fact Checking dan Digital Hygiene

3 Februari 2025   20:40 Diperbarui: 3 Februari 2025   20:34 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

MENGOPTIMALKAN PENGUATAN LITERASI DIGITAL MELALUI STRATEGI FACT CHECKING DAN DIGITAL HYGIENE SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN MASYARAKAT CERDAS TERHADAP HOAKS

Perkembangan teknologi digital saat ini telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan, ditandai dengan terwujudnya hampir seluruh aktivitas kehidupan dengan menggunakan teknologi, mulai dari bisnis, ekonomi, hiburan, transportasi, media, kesehatan, politik bahkan pendidikan dengan proses pembelajaran online.

Masyarakat dapat menggunakan laptop, handphone atau apapun yang dapat terhubung dengan internet untuk melakukan berbagai aktivitas yang diinginkannya, orang dewasa bahkan anak-anak pun mampu dan bahkan mahir dalam menggunakan teknologi tersebut. Keadaan ini di satu sisi tentu membawa masyarakat menuju kehidupan yang lebih modern, namun di sisi lain juga membawa dampak sosial. Tanpa disadari, pemanfaatan teknologi digital tidak hanya memberikan tantangan bagi penggunanya, namun juga membuka peluang penyelesaian berbagai permasalahan.

Ketidakmampuan menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak digital menyebabkan penggunaan media digital tidak optimal. Ketidaktahuan terhadap budaya digital dapat berujung pada pelanggaran hak digital warga negara berupa penipuan, ujaran kebencian, bahkan fitnah. Etika digital yang buruk dapat menciptakan ruang digital yang tidak menyenangkan karena dipenuhi konten-konten negatif. Keamanan digital yang lemah berisiko terhadap kebocoran data pribadi dan penipuan digital. Oleh karena itu, pemahaman atau keterampilan dalam literasi digital sangat diperlukan untuk memberikan rasa aman bagi semua pihak.

Literasi digital diperlukan bagi semua kalangan, termasuk pelajar, agar pemanfaatannya tidak menimbulkan masalah yang tidak hanya merugikan diri sendiri atau orang lain. Pemahaman dan kemampuan dalam menggunakan aplikasi digital di berbagai media sosial seperti YouTube, Facebook, WhatsApp, Instagram, Twitter, TikTok dan lainnya sangat penting sebagai bentuk akuntabilitas tanggung jawab pribadi.

Berdasarkan data, pengguna Internet di Indonesia sebanyak 212,35 juta jiwa per Maret 2021, yang menunjukkan bahwa india menduduki peringkat ketiga sebagai negara dengan jumlah pengguna Internet terbesar di Asia setelah China dan India. Selanjutnya, data Survei Indeks Literasi Digital Nasional tahun 2020 di 34 provinsi menunjukkan bahwa tingkat literasi digital masyarakat Indonesia masih berada pada level rata-rata (Kementerian Informasi dan Komunikasi, 2020). Survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 juga mengungkapkan bahwa di antara tiga sub-indeks Indeks Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (IP-TIK) adalah aksesibilitas dan infrastruktur, intensitas penggunaan dan keterampilan/kemampuan, keterampilan/keterampilan. indeks mempunyai nilai terendah (BPS, 2019). Artinya, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan Indonesia untuk meningkatkan keterampilan digital masyarakat secara adil. Beberapa rekomendasi, inisiatif dan inovasi juga harus dikedepankan untuk memperbaiki situasi ini. Masyarakat saja, termasuk pendidik dan peserta didik, tidak hanya bisa menggunakan berbagai perangkat IT dalam kehidupan sehari-hari, namun juga harus bisa mengoptimalkan penggunaannya untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi diri sendiri dan orang lain. Sebut saja fenomena penipuan yang marak terjadi di aplikasi chatting jejaring sosial dan semakin mengkhawatirkan seiring berjalannya waktu. 

Keadaan ini semakin diperburuk dengan rendahnya keterampilan berbagi data, informasi dan berinteraksi melalui berbagai perangkat komunikasi digital (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2020). Terkait hoax, Kominfo mempublikasikan statistik deteksi hoax periode Agustus 2018 - 31 Maret 2020 sebanyak 5.156. 

 Angka-angka tersebut di satu sisi menunjukkan kesedihan Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, namun di sisi lain hoax terus menyebar. Kita tentu tidak berharap perangkat yang kita miliki justru menjadi alat untuk melakukan kejahatan atau membahayakan kita. Oleh karena itu, keterampilan digital yang merupakan bagian dari budaya digital harus terus dipraktikkan. Lemahnya literasi digital kelompok tertentu mudah terprovokasi.

Di era digital dan jejaring sosial, kelompok rentan ini sangat mungkin mengubah ketidakpuasannya menjadi tindakan yang menimbulkan kekacauan sosial. Faktanya, informasi yang mereka terima dari jejaring sosial tidak benar atau tidak sepenuhnya akurat. Kefanatikan dan intoleransi dapat dengan mudah meningkat karena masyarakat termakan oleh berita palsu dan ujaran kebencian.

Tokoh dan organisasi keagamaan yang sejatinya memiliki banyak pengaruh dan pengikut, diyakini mampu meredam keresahan di masyarakat, ketimbang menebar kebencian atas nama agama. Dalam hal ini, generasi muda mempunyai peran yang sangat strategis sebagai pembela pertama terhadap penipuan. Untuk mencegah kelompok tertentu terhasut hoaks dan ujaran kebencian, diperlukan berbagai upaya khusus, salah satunya dengan memberikan nomor cek fakta dan keterampilan teknis kebersihan kepada banyak masyarakat.

PEMBAHASAN

Teknik pemeriksaan fakta (fact checking) menjadi urgen untuk dilakukan dalam melawan post-truth yang mewujud melalui hoaks, fake news, maupun hate speech. Haryatmoko dalam tayangan YouTube di akun Knowledge Channel Fakultas Filsafat UGM (2018) menyatakan lawan post-truth bukanlah kebenaran. Post-truth merupakan penyangkalan atas kebenaran, maka harus dilawan dengan fact checking atau pemeriksaan fakta. Dalam post-truth, klarifikasi konvensional saja tidak cukup. Dengan kemampuan pengecekan fakta, masyarakat dapat mengetahui status suatu isu yang dipertanyakan keasliannya, apakah hoax atau kebenarannya, kemudian dapat dilanjutkan dengan investigasi cerita kritis agar dapat dipahami oleh khalayak lain.mana sesungguhnya informasi yang benar.

Hasil survey Mastel 2019 menunjukkan, edukasi masih dianggap cara yang paling efektif mengurangi hoaks, selain koreksi melalui sosial media, tindakan hukum, blokir situs, flagging atau memberitakan di media massa. Survei juga menyebut 27.4% responden menyatakan tidak tahu cara mengecek fakta sebuah informasi hoaks atau fakta. Sebagian besar responden (82.8%) berpendapat andalan utama untuk memeriksa kebenaran berita heboh bertumpu pada search engine. Padahal ada banyak teknik periksa fakta yang dapat dilakukan melalui berbagi tools yang tersedia (Mastel, 2019).

Persoalan serupa juga dihadapi masyarakat sebagian besar belum mengetahui cara melakukan cek fakta dan belum pernah mendapatkan pelatihan tentang hoaks serta teknik fact checking. Sebagian besar masyarakat juga masih mudah percaya informasi hoaks karena ketidaktahuan dan kemalasan mengecek fakta. Hal ini salah satunya karena budaya di indonesia  yang cenderung mengikuti    tren viral, maka jika menerima informasi yang sesuai dengan apa yang ia percayai, keinginan untuk melakukan pengecekan kebenaran terlebih dahulu menjadi berkurang.  Secara alami, perasaan positif muncul dalam diri seseorang ketika seseorang menegaskan apa yang diyakininya. Perasaan terafirmasi tersebut juga menjadi pemicu seseorang dengan mudahnya meneruskan informasi hoaks ke pihak lain, selain faktor terbatasnya pengetahuan yang juga menjadi penyebab mudah percaya pada hoaks.

Berdasarkan latar belakang tersebut,membutuhkan pelatihan untuk memperkuat kapasitas literasi digital. Selain itu, perlu juga adanya pendampingan, khususnya yang terkait dengan fact checking dan digital hygiene. Hal ini sangat penting agar pengetahuan yang telah didapat bisa dikontrol penerapan atau aplikasinya.

Permasalahan yang berhasil diidentifikasi pada penguatan kapasitas literasi digital khususnya terkait fact checking dan digital hygiene tersebut antara lain: (1) Belum memiliki kemampuan mengenali jenis hoaks dan masih mudah terprovokasi informasi yang belum jelas kebenarannya; (2) Belum memiliki kemampuan pemeriksaan fakta untuk mengecek kebenaran sebuah informasi; (3) Cenderung kurang memperhatikan privasi dan keamanan data dalam berinteraksi dengan teknologi digital.

Solusi yang ditawarkan untuk menjawab permasalahan pada mitra yaitu dengan mengadakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini, yaitu penguatan literasi digital pada masyarakat, khususnya terkait fact checking dan digital hygiene. Dengan kemampuan periksa fakta dan keamanan digital yang nantinya dimiliki, diharapkan akan meningkatkan kemampuan literasi digital anggota sehingga kesadaran dan perilaku mereka dalam merespon informasi juga akan lebih baik. Selain itu, dengan kemampuan menerapkan fact checking tools dan digital hygiene, diharapkan dalam waktu dekat akan mengurangi jumlah penyebaran hoaks.

Secara lebih detail, target dan manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut: (1) Meningkatnya pemahaman tentang mengenali jenis dan bahaya; (2) Meningkatnya keterampilan pemeriksaan fakta khususnya dengan menggunakan fact checking; (3) Meningkatnya keterampilan menyusun kontra narasi pada informasi hoaks; (4) Meningkatnya jumlah penggunaan fact checking tools; (5) Meningkatnya jumlah kontra narasi yang dihasilkan

Selanjutnya peserta diberikan materi teknik fact checking. Berikut ini adalah empat  langkah yang digunakan untuk memeriksa apakah informasi yang beredar itu benar atau salah:  

Pertama, cari sumber rujukan yang terpercaya. Peran sumber berita yang diakses penting ketika melakukan pengecekan fakta atau menyiapkan sanggahan hoaks yang beredar.

Kedua, amankan bukti. Orang iseng asli mungkin telah menghapus atau menonaktifkan akunnya sementara kami memverifikasi keasliannya. Kita perlu mengamankan bukti lewat screenshoot, mengunduh seluruh isi jika berupa video, karena terkadang dalam materi video hasutan kebencian terdapat pemenggalan, penyuntingan, atau manipulasi. Keaslian dokumen atau informasi menjadi syarat utama yang harus dipenuhi sebelum penolakan

Ketiga, gunakan tools untuk memeriksa fakta. Di internet, beredar perangkat gratis dan mudah untuk memeriksa fakta atau keaslian sebuah informasi, baik berupa foto, video, lokasi dan lain-lain. Berikut beberapa perangkat pemeriksa fakta: (1) Pencarian lewat Google Search di laman google.com; (2) Pencarian gambar dapat menggunakan Google image di laman images.google.com dan TinEye di laman tineye.com; (3) Pencarian lokasi dapat menggunakan Google maps di laman google.com/maps, street view di laman google.com/streetview, Google earth di laman earth.google.com; (4) langkah yang dapat digunakan untuk memeriksa apakah informasi yang beredar itu benar atau salah adalah susun bantahan dan sebarkan. Susun bantahan dengan bukti dan argumen yang kuat setelah mengamankan bukti dan cek fakta. Bukti dan argumen harus kuat supaya tidak mudah dibantah atau dimentahkan. Menyebarluaskan temuan tersebut kepada masyarakat luas melalui Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp dan media sosial lainnya setelah dilakukan pengecekan fakta. Sertakan juga komentar atau kesimpulan atas hoaks tersebut dengan narasi yang sederhana dan mudah dipahami.

Sesuai Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Jerat hukum jika menggunakan Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 ini bisa dikenakan sanksi 2 tahun, 3 tahun, bahkan 10 tahun.

Tabel 2. Bentuk Pelanggaran dan Sanksi Bagi Penyebar Hoaks

NO

Kualifikasi Konten Hoaks

Sanksi

Dasar Hukum

1

  • Menyiarkan berita bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat

10 Tahun

Pasal 14 ayat (1)

2

  • Menyiarkan berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyengka bahwa berita itu bohong

3 Tahun

Pasal 14 ayat (2)

3

  • Menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau tidak lengkap, sedangkan ia mengerti dan mampu menduga bahwa kabar itu akan menerbitkan keonaran

2 Tahun

Pasal 15

KESIMPULAN

Pada tahap selanjutnya akan dilakukan pembuatan modul literasi digital yang secara khusus bisa digunakan untuk masyarakat. Hal ini akan mempermudah mereka mempelajari teknik fact checking dan digital hygiene. Dengan kemampuan pengecekan fakta, masyarakat dapat mengetahui status suatu isu yang dipertanyakan keasliannya, apakah hoax atau kebenarannya, kemudian dapat dilanjutkan dengan investigasi cerita kritis agar dapat dipahami oleh khalayak lain.mana sesungguhnya informasi yang benar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun