Mohon tunggu...
Mursyid Burhanuddin
Mursyid Burhanuddin Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur

Dewan Pertimbangan Ikatan Penerbit Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat Elektronik untuk Bapak Menteri

31 Maret 2018   17:55 Diperbarui: 2 April 2018   09:07 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Entah kepada siapa lagi saya harus menyampaikan hal ini. Tentang kegalauan hati saya sebagai orang tua, saat melihat kebiasaan anak saya yang tak kunjung menunjukkan tanda-tanda mencintai buku. Barangkali dengan cara mengirim surat kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, kegalauan saya ini akan mereda. Atau, setidaknya itu akan mengurangi rasa sesak di dada ini. Syukur-syukur ia bisa memberi solusi. Bukankah ia juga seorang ayah bagi putra-putrinya?

Mungkin saya tidak sendirian. Masih banyak orang tua seperti saya, yang mengalami hal serupa. Tentu saya senang jika ia sudi menjawab surat elektronik ini atau memberi tanggapan melalui pesan singkat. Kalau pun ia memilih untuk diam dan tidak menjawab, bagi saya juga tak jadi soal. Dan, saya akan tetap menyimpan surat ini di folder komputer saya. Siapa tahu kelak ada guna manfaatnya.

Akhirnya saya putuskan tetap mengirim surat elektronik itu. Isi lengkapnya seperti ini:

Yth. Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Assalamu 'Alaikum Wr. Wb.

Semoga Bapak Menteri senantiasa sehat dan sukses selalu. Amin.


Pak Menteri, seperti bunyi whatsapp yang pernah Bapak kirim kepada saya bahwa ternyata Bapak adalah senior saya di perguruan silat ketika dulu kita sama-sama masih tinggal di kampung. Dua guru silat Bapak adalah orang yang sama, dan menjadi guru silat saya juga. Dalam kesehariannya kedua guru silat kita, berprofesi sebagai guru agama di Sekolah Dasar.

Guru pertama kita, akhirnya menjadi guru besar pencak silat hingga akhir hayatnya. Ia wafat ketika sedang duduk tafakur di sebuah acara serasehan dunia persilatan. Dunia yang begitu ia cintai.

Guru kedua kita, memilih jalan sufi; dengan menjadi kyai yang memiliki kelebihan dalam ilmu hikmah. Ia terbiasa mengupas sebuah topik kajian sampai ke putih tulang. Guru kita ini mangkat ketika usianya belum genap 40 tahun.

Pak Menteri, kita pernah menyerap ilmu yang sama dan dari guru yang sama. Kita adalah saudara seperguruan. Tapi, bukan karena itu, saya mengirim surat ini.

Apa yang salah jika sebagai warga negara, saya mengirim surat kepada seorang Menteri?

Bapak Menteri yang saya hormati, sebagai orang yang berkecimpung di industri perbukuan, dan sebagai orang tua, maafkan jika saya memprotes sekolah anak saya. Karena menurut saya, sekolah itu tidak mampu mendidik anak saya untuk menjadikannya anak yang suka membaca buku. Apalagi jika harus membuat seluruh siswanya keranjingan membaca buku.

Sebenarnya sudah lama saya memendam kegundahan ini. Surat elektronik ini saya tulis agak tergesa-gesa. Karena dipicu oleh peristiwa tadi pagi. Itu pula yang mendorong saya untuk menulis surat ini entah nanti sampai berapa halaman.

Pak Menteri, kemarin pagi, ketika saya mengantar anak sulung saya pergi ke sekolah ---biasanya ia berangkat sendiri. Tiba-tiba saja, saya dihinggapi oleh perasaan iba saat memandangi anak saya ketika masuk ke pintu gerbang sekolah. Rasa iba bercampur penasaran. Apalagi kalau bukan karena tas ransel yang saban hari harus digendongnya dari saat mulai berangkat hingga pulang sekolah.

Sebagai lembaga di bawah otoritas dari kementerian yang Bapak pimpin, saya masygul. Kenapa sekolah-sekolah zaman now tak bisa menjalankan fungsi terpentingnya. Yaitu, menjadikan anak didiknya mencintai buku? Kalau pun tidak sampai mencintai, setidaknya sekolah-sekolah itu bisa menjadikan anak-anak suka pada buku. Syukur-syukur kesukaannya itu mengalahkan kesukaannya pada internet.

Jadi, apa yang  sebenarnya terjadi? Apa yang salah dengan Kurikulum 2013? Buat apa setiap tahun ada pembelian buku milik pemerintah dan swasta? Apa saja yang diajarkan di sekolah? Selain berjam-jam berada di ruang kelas, mengerjakan tugas kelompok, baris-berbaris dan kegiatan ekstra kurikuler?

Saya tak habis pikir untuk apa setiap hari anak sulung saya harus datang pagi-pagi sekali ---kadang masuk siang, dengan tetap menggendong tas ransel seberat 30 kilo dan baru pulang ketika hari mulai senja?

Sejak kelas satu SMA, rutinitas itu dilakukannya setiap hari. Tapi, kenapa hal itu tidak membawa pengaruh yang berarti; yang menunjukkan tanda-tanda anak saya mulai menyukai buku? Buku-buku yang saya belikan memang kelihatan menjadi lusuh dan berlipat-lipat. Tapi, ada juga yang tetap terlihat seperti buku baru. Terutama buku-buku yang setebal bantal bayi.

Itu problem serius buat saya. Mungkin juga menjadi problem bagi sebagian besar orang tua.

Jika terus-menerus seperti itu, siapapun akan terancam bengkok tulang belakangnya karena tas ranselnya terlalu berat. Saat mengantarkan anak sulung saya tadi pagi, saya seperti menyaksikan anak saya itu sedang menggendong dua barbel besi di punggungnya. Itu seperti kebiasaan Bapak Menteri dan saya dulu ketika berangkat menuju tempat latihan silat di kompleks Pesantren Takeran, Magetan.

Berangkat dan pulang kita sama-sama harus menenteng senjata toya di tangan kanan dan menggendong tas yang berisi seragam latihan dan barbel yang terbuat dari kendil yang dikeraskan dengan adukan semen dan pasir. Bedanya pada zaman Bapak dulu, pakaian yang digunakan masih terbuat dari kantong gandum yang di-wenter. Pada zaman saya sudah ada yang mulai memakai kain tetoron.

Sekarang, situasinya cukup merisaukan, Pak Menteri.

Sekolah tidak lagi menjadi tempat belajar yang nyaman bagi anak-anak kita. Terutama saat mereka sudah mendekati ujian akhir.

Anak saya yang kedua, saat ini sudah kelas sembilan. Setiap hari, pagi-pagi sekali ia sudah harus berada di sekolah dan harus mengikuti les privat dengan tutor dari luar. Pulang sekolah sudah ashar. Setelah maghrib harus mengikuti les lagi di luaran. Bagi saya tak menjadi soal jika anak saya seharian di berada sekolahan dan malam hari berada di tempat les privat. Bukan itu yang membuat saya risau.

Kenapa anak saya yang kedua juga tidak menunjukkan gelagat untuk mencintai buku? Itu kerisauan saya sebagai orang tua. Buku-buku tebal yang saya belikan juga jarang dibuka. Tampaknya, ia justru lebih tertarik membaca buku-buku ensiklopedi dan novel-novel yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Itu sebenarnya membuat saya cukup lega.  

Sebagaimana pada umumnya orang tua, saya pun memiliki  harapan optimum terhadap sekolah. Misalnya, supaya ia menjadi anak yang sholeh dan pintar, bisa menyampaikan gagasan di depan orang banyak, bisa bilang tidak, jika ia tidak setuju, mampu mempertanyakan sesuatu, tahu bagaimana cara meningkatkan diri, tahu apa keinginannya dan bagaimana mewujudkannya kelak, tahu bagaimana cara bangkit jika suatu saat ia melemah, dan mampu menghormati perbedaan. Pendek kata, anak-anak saya bisa menguasai seluruh taksonomi yang dicetuskan oleh Tuan Benjamin S. Bloom.

Saya tahu, sekolah pasti tidak mampu memenuhi harapan tersebut. Sedangkan, Cak Nun saja menganggap kita sering tidak fair terhadap sekolah. Karena berharap muluk-muluk kepada institusi Pendidikan tersebut.

Saya sadar betul mengenai hal itu; saya sadar bahwa sekolah tidak memiliki kompetensi untuk mewujudkan apa saja yang saya inginkan sebagai orang tua.

Karena itu, saya pikir lebih baik saya turunkan saja harapan saya ke tingkat minimum. Saya ingin sekolah menjadikan anak saya suka pada buku saja. Hal-hal lain akan menyusul kemudian; yang penting ia kemudian suka membaca buku. Mengapa?

Sebab, saya percaya, pelajaran apa pun akan menjadi mudah jika anak saya gemar membaca buku.

Ia bisa belajar fisika dari "buku babon" karangan Mathen Kanginan, niscaya ia tak akan canggung ketika mengikuti olimpiade fisika di tingkat kabupaten/kota. Ia juga tidak keberatan untuk membuka-buka buku matematika terbitan pemerintah yang tebalnya selengan orang dewasa. Ia juga bisa belajar soal-soal ujian dari buku Detik-Detik, SPM, Real Mentor atau PASS. Atau, belajar soal semesteran dari MBP, Brilian, Solatif, Bupena. Ia bisa memelajari berbagai kecakapan yang ia minati dari buku-buku itu.

Jika anak saya kelak ingin menjadi professor seperti Bapak Menteri, maka dari sekarang sekolah harus memberinya kecakapan dan kegemaran membaca buku. Sebab, seluruh ilmu pengetahuan ditularkan dari satu orang ke orang lainnya melalui buku-buku. Suatu saat ia tentu akan menghadapi masalah dan, jika ia suka membaca buku, ia bisa menemukan cara untuk menyelesaikan masalah tersebut dari buku-buku yang ia baca. Ia akan memiliki cukup pengetahuan dan wawasan untuk menjalani hidupnya kelak. Dan, saya akan menjadi lebih tenteram sebagai orang tua jika anak saya suka membaca buku.

Namun, sekalipun saya sudah menurunkan harapan ke tingkat minimum, tetap saja sekolah belum memenuhi harapan saya. Sekolah tidak mampu menjadikan anak saya benar-benar gemar membaca buku. Apalagi mencintai buku. Hingga saat ini.

Mungkin saja sekolah tidak membekali anak saya dengan kecakapan paling mendasar untuk mengembangkan diri. Membaca adalah kecakapan dasar yang seharusnya diajarkan oleh sekolah kepada para siswa, demi menjadikan mereka manusia yang mencintai pengetahuan.

Satu hal penting lainnya yang masih menjadi titik lemah dari sekolah model sekarang karena tidak mengajarkan kepada anak didik, keterampilan menulis. Mungkin saja sekolah tidak tahu bahwa menulis adalah latihan terbaik untuk mendorong para siswa menggunakan pikiran, untuk meningkatkan kemampuan berpikir, dan untuk memperbaiki nalar.

Tetapi setahu saya, sekolah tidak melakukan hal-hal itu.

Jadi, Bapak Menteri, apakah saya salah, jika memprotes sekolah karena institusi ini tidak mampu membuat anak saya benar-benar mencintai buku? Dan apakah saya tidak punya hak untuk memprotes Bapak Menteri sebagai pimpinan tertinggi dalam urusan pendidikan di negeri ini, karena kurang memiliki perhatian dan menemukan cara terbaik untuk menjadikan warga negaranya sebagai pembaca dan pecinta buku?

Astagfirullah, maafkan saya, Pak Menteri. Saya benar-benar dibuat terkejut saat ini.

Ketika surat ini hampir rampung, tiba-tiba anak sulung saya datang menghampiri saya. Lalu, menunjukkan beberapa tulisannya yang sudah di-upload di beberapa media online.

Saya takjub!

Rupanya tanpa sepengetahuan saya, diam-diam ia telah menghasilkan banyak tulisan. Entah ia belajar dari mana, dan dengan cara apa? Saya jadi teringat kenapa ia ditunjuk untuk mewakili sekolahnya dalam Lomba Writing English tingkat provinsi. Mungkin sekolah sudah memperhitungkan bahwa ia memiliki kemampuan menulis.

Tapi, justru itu yang menambah rasa penasaran saya terhadap sekolahnya.

Penulis yang baik, biasanya juga pembaca yang tekun. Sebab, orang yang suka menulis tapi tak suka membaca, tak ubahnya seperti: Orang yang diare terus-menerus, tapi ogah makan.

Demikian Bapak Menteri yang dapat saya sampaikan.

Terima kasih atas perhatian Bapak dan mohon dimaafkan jika saya salah.


Wassalam.

Hormat saya,

Orang tua siswa, tinggal di Surabaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun