Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resolusi Suci Ayu Latifah "Ketika Aku Ingin..."

23 Juli 2019   21:20 Diperbarui: 23 Juli 2019   21:25 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SMP 1 Kec. Sawoo adalah rumah yang kupilih setelah lulus dari sekolah dasar. Aku bersama teman di hari kedua pendaftaran mulai memasukkan persyaratan. Mulai dari foto, tanda kelulusan, formulir pendaftaran, nilai rapot, dan persyaratan lainnya. Tiba di bibir sekolah baru, kutemukan wajah, nuansa, aroma, dan warna baru. Berbagai teman dengan latar belakang berbeda. Aku mulai berkenalan dan diajak kenalan dengan mereka. Beberapa mereka, ada yang berasal dari Desa Sawoo, Pangkal, Kori, Ngindeng, Tumpuk, Blumbang, Kleco, Kacangan, Ngondang, Grogol, dan lain-lainnya. Dari berbagai pendaftar, syukurlah aku diterima sekolah di sana. Kala itu, ada sekitar 7 anak tidak diterima karena nilai ujian tidak mencukupi, yaitu hanya 17 koma sekian.

Pendaftaran sudah, pengumuman sudah. Tibalah, sebagai siswa harus melewati msa MOS. Semua siswa dilakukan dengan berbagai kegilaan dari Kakak kelas. Sebagai contoh saja, rambut dikepang sebanyak 10 di hari pertama, kemudian 15 di hari kedua, dan 20 di hari ketiga. Belum tas yang harus dibawa, juga tidak berwujud. Karung ghoni, tas becek, tas kresek, tahu kan? Ya, itulah tas yang dipakai sekaligus wadah untuk memasukkan semua persyaratan yang harus dibawa. Kesal. Kesal sekali kalau ingat masa itu. Betapa bodohnya aku mau dikerjain Kakak angkatan semacam itu? kalau saja aku sadar bahwa itu bentuk pembullyan aku pasti menentang diminta dan disuruh barang-barang yang aneh-aneh itu.

Beruntunglah, hanya berjalan 3 hari masa kebodohan itu. Segera aku menikmati pelajaran. Hari pertama masuk kelas, diadakan sesi perkenalan. Aku ditempatkan di kelas C. Kelas yang berisi 28 siswa itu beragam. Mereka berasal dari berbagai sekolah. Ya, hanya aku sendiri yang tidak memiliki teman satu lulusan. Sementara teman lain, paling tidak satu pasti ada. Karena itulah saat mencari teman duduk, aku bingung. Karena belum terlalu kenal. Saat itu pula, kududuki saja bangku yang kosong. Tak berapa lama, ada yang menyapaku. Cewek. Iya, namanya Firli. Dia dari SD 1 Ngemplak.

Firli anaknya kecil sepertiku. Ya, lebih tinggian dikit dia. Firli ingin duduk di sebelahku. Dengan senang hati, aku memberikan duduk padanya. Hari pertama di kelas, semua masih canggung. Saat istirahat, aku masih duduk-duduk di bangku kelas sendiri. Sementara Firli, teman sebangku itu, sudah keluar duluan tanpa mengajakku. Sesekali aku mondar-mandir di depan kelas. Kulihat beberapa anak bercengkerama di kelas, di luar kelas, di kantin, dan di dekat lapangan kecil depan kelas 7.

Tiba-tiba, seseorang menepuk pundakku dari belakang saat aku berdiri menghadap Barat. Sontak aku kaget. Orang itu adalah Eko Isma Wahyu Setiono. Isma sapanya, mengajakku berkenalan. Kebetulan, kami sama-sama tinggal di Sawoo bagian selatan. Tepatnya, Desa Tumpuk. Desa tersebut hampir perbatasan Trenggalek. Kami sama-sama naik bus ketika berangkat dan pulang sekolah. Isma kala itu, cukup banyak ngobrol, hingga di akhir obrolan. Ia menawarkan pulang bersama. Maksudnya, dari kelas menuju halte bus pulang bersama. Aku pun tersenyum dan mengaggukkan kepala. Semenjak itu, kami sering bersamaan. Tanpa ada janji, kami sering berangkat satu bus. Kemudian tiba di kelas paling dulu. Ya, kalau tidak aku ya dia. Kalau aku sih kadang terlambat karena terkadang bus yang datang dari Trenggalek sampai di daerahku sudah penuh.

Duduk di kelas 7, satu per satu warna mulai terlukis. Warna bersama teman. Warna bersama guru, dan warna bersama Kakak kelas. Warna-warna itulah menjadi susunan warna yang indah jika diresapi. Hidup, ya hidup adalah warna. Ada warna yang mengenakkan dan warna yang tak mengenakkan jika dipandang dalam jarak dekat dan lekat. Warna bersama teman tak selesai digoreskan. Setiap teman, ada cerita. Apalagi teman saat SMP, khususnya teman sekelas adalah mereka teman yang setia selama tiga tahun. Ya semenjak masuk sampai keluar tetaplah satu kelas, tidak berubah dan dibentuk lagi. Dikesempatan ini, akan aku ceritakan beberapa teman sekelasku terlebih dahulu.

Firly Wijayanti. Teman sebangku yang menyenangkan untuk bercerita. Awal bertemu, gegara ia mencari teman duduk. Gadis bertubuh kurus tipis ini tinggal di Desa Ngemplak Sawoo. Setiap hari berangkat sekolah jalan kaki bersama saudaranya yang juga sekolah di sini. Selain itu, juga ada teman seangkatan yang rumahnya juga sekitar rumahnya. Ia bernama Uun. Mereka pagi-pagi, sekitar pukul 6.10 ia menyusuri jalan sepanjang kurang lebih 1,5 kilometer dengan bersepatu.

Katanya, jalan lebih sehat dan sekaligus senam jantung. Kalau siang ya panas. tapi kalau sudah terbiasa, justru panas dan hujan menjadi sahabat yang paling jujur, katanya. Sesekali, pernah temanku satu ini naik bus. Itupun karena alasan yang jelas, misal bangun kesiangan atau lagi tidak enak badan. Kadang pula ia diantar oleh Ayahnya, ketika pulang kampung. Maklum saat itu ayahnya sedang merantau mencari upah. Atau bahasa keakrapan orang desa golek upo (mencari sesuap nasi).

Agnes Ferninda Exi Wardanu. Sahabatku satu ini adalah sosok yang paling suka bercerita padaku. entah bercerita tentang ayahnya yang akan, telah, dan sudah mempunyai anak dari Ibu yang kedua, tentang adik kelas yang sempat dipacari, tentang makanan kue bolong tengah (kami menyebutnya) yaitu donat, dan tentang tempat-tempat wisata. Serta, kadang ia bercerita tentang sahabat-sahabatnya yang sempat mencuri perhatiannya. Iya, seperti kisahnya saat kami duduk di kelas 1. Cerita punya cerita ia naksir dengan kakak angkatan. Tak dinyana-nyana, ternyata lelaki taksiran itu sedang PDKT dengan sahabat kecil.

Semenjak tahu itu, perlahan Agnes melepas rasa kagum dan cintanya pada Kakak kelas itu. sampai kabar terakhir, keduanya sudah jadian. Sungai banjir. Hujan membadai. Guntur memecah cakrawala. Agnes menangis. Antara kaget dan tak percaya kabar itu. tapi boleh buat, mereka memang saling suka. Sementara, Kakak itu belum kenal, bahkan tahu sahabatku itu. Bagaimana akan suka, coba?

Selain cerita ketertarikan terhadap lawan jenis. Paling sering Agnes bercerita tentang keluarganya. Ia rindu pada Ibunya yang sekarang tinggal di Blitar. Semenjak perceraian dengan ayahnya, ibunya jarang menengoknya. Rindunya terbatas suara ditelepon, dan tulisan dipesan telepon genggam. Setelah gejolak perceraian itu merenggut kebahagiaan. Terdengarlah kabar, bahwa Ayahnya akan menikah dengan seorang wanita.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun