Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Generasi Melek Karya

24 Maret 2019   17:20 Diperbarui: 24 Maret 2019   17:31 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panitia SLG STKIP PGRI Ponorogo

Menumbuhkan generasi minat baca dan tulis, hanyalah dibutuhkan keteladanan totalitas. Tanpa itu tidak akan muncul generasi-generasi penulis yang akan meramaikan media lewat gagasan, argumen, juga pemikiran hingga pada pro atau kontra terhadap fenomena di negara kita. Itulah yang dilakukan 'Kampus Literasi' yang mereka adalah warga STKIP PGRI Ponorogo, beserta alumnusnya.


Belum genap setahun program 'Kampus Literasi' yang dimotori oleh seluruh warga Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo, sudah sederet karya dari mahasiswa meramaikan media. Baik itu media cetak maupun online. Hal ini disinyalir atas niatan awal membentuk kelas menulis yang diberi nama Sekolah Literasi Gratis (SLG) untuk mengajak aktivis mahasiswa agar bergerak di bidang literasi secara luas hingga melahirkan karya-karya terbaru.

"Dulu, belum ada satu bulan SLG berlangsung, ada salah satu kawan saya dari Trenggalek mengatakan bahwa akan ada gempa literasi di Ponorogo," kata Sutejo, Ketua Suku Adat SLG Ponorogo.

Sejauh ini, mulai bulan September 2016 lalu, hingga bulan Juni 2017 sudah ada sekitar 150-an karya yang termuat oleh media. Di antaranya berupa reportase, opini, cerpen, puisi, hingga argumentatif dan lain sebagainya.

Tidak banyak cara yang Sutejo lakukan dalam menumbuhkan kecintaan terhadap literasi, khususnya kepada masyarakat sekitar Ponorogo. Lelaki penulis puluhan buku ini hanya melakukan keteladanan yang tak pernah henti, meski tuntutan sebagai dosen sering membuatnya pusing dan lelah, ia tetap maju tal gentar melakukan pendampingan juga pengawalan bagi generasi dalam berkarya.

Pihaknya juga menambahkan, tujuannya untuk menumbuhkan semangat bara api generasi muda agar mau berkarya. Karena, kata Pram, "Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk pengabdian."

Dari situlah, berkat adanya SLG setiap hari Minggu itu, siapa yang mau bersungguh-sungguh dan memiliki niat akan belajar maka akan mendapat. Seperti pepatah, siapa yang menanam, dialah yang memetik. Tentu saja, pepatah ini sudah dilakukan komunitas kami, dengan bukti karya termuat, nama tertulis di media, hingga penguasaan media.

"Sekitar sepuluh media yang sudah saya sentuh," terang Nanang, alumnus STKIP PGRI Ponorogo 2016.

Lelaki yang pernah menjadi pemenang menulis esai di Balai bahasa itu mengungkapkan, apa dan bagaimana saya dalam karya, semua berkat bimbingan Bapak Sutejo dan seluruh kawan literasi. "Tanpa mereka, apalah aku," celotehnya hangat.

Dampak dari lahirnya penulis-penulis baru dari Ponorogo itu membuat ketua STKIP, Kasnadi merasa senang, sehingga ia berani mengeluarkan honor kepada mahasiswa supaya tambah semangat dalam berliterasi.

"Bentuk apresiasi kampus terhadap mahasiswa khususnya yang mau menulis di media dan terbit akan mendapat honor dari kampus. Mulai dari lima ratus-lima puluh ribu per karya termuat," ungkapnya.

Dan yang perlu dipahami, salah satu tujuan adanya SLG ini memang untuk melahirkan generasi penulis, sebagaimana visi dan misi berdirinya SLG. "Semoga ini menjadi satu dari seribu bagian gebrakan di Indonesia," harapnya. 

Cara Menembus Media

Umur Sekolah literasi Gratis (SLG) dikatakan relatif muda. Meski pun demikian, SLG kini sudah mampu berbicara di publik. Hal ini dibuktikan, sudah sekitar 16 mahasiswa sudah sering nongol di media, entah itu media lokal ataupun nasional.

"Tulisan pertama saya yang termuat media adalah opini, dengan judul Kopi Pahit di Tahun Ayam Api," kata Sri Wahyuni, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2015.

Sri pun bercerita, sempat gagal hingga ... kali. Kemudian, oleh guru literasinya, Sutejo, diberikan tips agar dimuat di media. Salah satu caranya adalah aktual. Maksudnya, opini yang ditulis adalah suatu topik pembahasan yang sedang ramai dibicarakan di media "Waktu itu, Indonesia tengah dilanda kenaikan harga cabai hingga ratusan rupiah. Dari itulah kemudian saya menulis opini tersebut," tambahnya.

Berbeda dengan Agus Setiawan, alumnus yang aktif menulis di media. Jika Sri berangkat pembahasan dari hal yang ramai dibicarakan, bagi Agus, ia berangkat dari hari besar Nasional. Misalnya tanggal 21 April, sebagai peringatan hari Kartini, ia akan menulis tentang Kartini. Contohnya, Adakah, Kartini Kedua?; Kabar Kartini Indonesia?; Wanita-Wanita Pilihan; dan lainnya.

Selain aktualitas, Sutejo juga menyarankan agar membuat judul yang unik dan menarik. Karennaya, redaksi ketikamembaca tulisan seseorang, yang dibaca dulu adalah judul. Jika judu lyang dibuat ada daya lain, maka redaktiur pun akan mempertimbangkan pemuatan karya, tanpa melupakan isi dari opini bersangkutan.

Cara selanjutnya, adalah mengenali karakter tulisan. Setiap media memiliki ciri khas tulisan, yang belum pasti dimiliki media lainnya. Artinya, media memiliki gaya (style) sendiri-sendiri. Cara pengenalan tersebut dapat dilakukan dengan jalan aktif membaca tulisan-tulisan yang termuat. Kemudian, kita dapat menyimpulkan sendiri terkait kemenonjolan media tersebut. Misal media dengan tulisan berbau islami.

"Ingat pepatah, Jika tak kenal maka tak sayang!" pungkas Sutejo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun