#Cermin
Mas Fendik, kembali kukirimkan surat ini kepadamu. Meski ku tahu kau tak membacanya, tapi salahkah aku menuliskan segalanya kepadamu?
Selepas embun beranjak dari keberadaan, beburung mulai menghias langit. Hari itu, surya nampak cerah. Cahayanya lurus, menembus celah di atap rumah. Kadang, ia mampir di tubuhku, minta dielus, katanya.
Sebelumnya, maaf, seribu maaf kuaturkan kepadamu. Lemahnya diri melawan rasa. Janjimu tak pernah kutepati. Terlalu rapuh aku. Setengah cenut-cenut sisa patokan burung malam, aku berusaha menulis surat ini kepadamu. Karena, yang aku tahu, tak ada obat yang bisa menyembuhkan, kecuali kulepaskan semua lewat tulisan---surat ini.
Mas, Fendik, bayangmu mampir di sudut kamar tiga malam yang lalu. Kau nampak bahagia, begitu kusentuh wajahmu, mendadak kau lipur. Apakah kau sudah memiliki bidadari yang dijanjikan Tuhanmu?
Tak menyerah, lembut sutera tanganku, pujimu kala itu kembali ingin menyentuh wajah damaimu. Inginku membisik padamu, "Cinta, akan tetap satu. Tak mungkin ada cinta lain, ketika aku mencintaimu."
Masih ingatkah, betapa aku menolak katamu waktu itu, cinta tak pernah berakhir. Ketika kau mencintaiku, di suatu masa kau pasti akan mencintai lain. Sungguh! Katamu tak berhasil. Kalau kau perlu bukti, sejenak mampirlah di tubuhku. Adakah tubuh lain selain tubuhmu? Cinta tak pernah keliru, percayalah itu.
Seperti yang pernah dikatakan Mario Teguh, Mas. Tuhan tidak pernah keliru memberikan anugerah cinta kepada hambanya, karena sebuah cinta yang datang itu pasti ada makna dan alasannya.
Maaf, ingin kuhentikan perdebatan cinta ini. Sudah sangat menyedihkan. Betapa aku tanpa tiang, kalau saja kau masih meragukan cinta yang ada dan nyata. Mas, kembali kutanya, apakah kau mencintaiku?
Rintik air mata mulai membuat panik. Segara kubuatkan pagar paling kuat. Janjiku, kali ini ingin kutepati, tak ada hujan di musim kemarau panjang.
Inilah gelisahku usai pertemuan tiga malam. Mampirlah wajahmu malam nanti, sembari kau ulurkan cintamu, sebelum musim hujan tiba.