Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

1 September

3 Mei 2023   18:00 Diperbarui: 3 Mei 2023   17:59 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(1 September)

Mbah Har - Wahyu

Mengeruk Sang Waktu

Terdiam bukannya tak bicara, aku terperana bukannya terperanjak. Aku memandang di jelaga malam menghayati ke mana aku membawakan rintihan dan jerit serta tangis suara hatiku.

Memanjang lengkuas nafasku aku lakukan selagi aku mampu. Berpangku sebelah tanganpun selagi aku bisa. Dan memandang melalui bintik-bintik bening kenapa mesti aku sangkalkan.

Lepas dan terlepas, aku tak mungkin melepaskan antara hitam dan putihnya, antara angan dan kenyataan. Aku hidup di alam nyata kawan! Tetapi jiwaku selama ini hidup di angan-angan yang terpajang bak kaki langit biru menjulang tinggi.

DARI SINI

Duduk di tepinya Bengawan...kala pagi hari hingga senja hari hingga Adzan Magrib lirih aku dengar dari seberang desa sungai.

Senja dalam bidikanku, senja dalam arti aku yang tersangkut dalam akar-akar menjurus ke akar Bengawan. Aku yang bukanlah dalam arti kepura-puraan, tapi dalam proses menuju proses selanjutnya...yang selanjutnya...dan selanjutnya hingga kemudian.

Sini...tempat yang dingin dan beku. Di tepian bengawan ini, itu tidak malam dan itu tidak pula pagi. Pula siang, pula sore sama halnya aku menyaksikan seabrek benang-benang berkembengkan sutra ungu melintas di atas jembatan tempatku berpenjar.

Aku lihat ada yang berbalut wangi, aku lihat pula sebaliknya. Aku tatap mata mereka dengan memandang sedikit berani, sebaliknya aku ditakuti dengan nyala yang menyalak menggema di ujung jeruji air mengalir sampai tepinya laut.

Aku lihat dari sini dan aku pula saksikan dari sini. Aku tak pernah memandang dengan sebelah mata, tetapi mereka terkadang memandangku dengan sebelah mata. Mungkinkah itu terjadi? Jawabku iri mungkin saja. Dan mungkinkah itu berlanjut? Dalam lajur yang sama aku melompatkan anggukanku. Ke mana dan apa batasnya?...waktu!

Silau...analisa mataku betapa menelungkup menolak datangnya. Merah terkadang direkomendasikan, kuning mungkin dihempaskan persis ke mataku yang terbuka. Mereka pikir mereka pikirkan telah membuat mereka mencuat, justru buatku menyantera sandera ciut di bidak belah bola mata masih berpijar.

Entah kenapa, entah ada apa...entah. Aku tak ada mau beranjak dari tempatku duduk, aku tak peduli lambaian angin membisiki telingaku bahwasanya di sana ada...ada apa aku tak mau tahu, yang aku tahu bukan saatnya atau tidak saatnya...

Mentari...aku kira memang tempatnya dari timur sana. Sesuai kisahku pula, murni melepas bintang fajar di kala senja dan murni akan kembali pada fajar dikemudian.

Air...sengaja dan memang kodratnya merendahkan riuh, antaranya pula air mukaku hiraukan dalam sekejab. Tak tertinggalkan aku tinggalkan pesan agar pada saatnya mentari melalui tangan-tangan air membawakan sepucuk suratku yang aku titipkan pada merpati putih.

SELANJUTNYA...

Dari...aku temukan...aku telah ketemukan...aku telah menemukannnya....untuk yang aku temukan.

SETERUSNYA...

Banyaknya waktu mengalir, akan banyak pula yang terjadi, entah itu peristiwa atau yang kita sebut dengan peristiwa.

Makin sering aku bergegas, makin sering pula aku ketinggalan. Dan seingat-ingatnya aku, lebih banyak lupanya daripada melupakannya.

Sekejab aku kecup, tinggallah kini dengan hati dan perasaan yang konstan menyertai. Selebihnya aku tak ingin melebih-lebihkan kisah dirinya dengan segala kelebihannya dan keteraturannya.

Kata hati mungkin takkan pernah berubah...hati berkata mungkin akan berubah.

Turut ke sana...dan...aku ikuti dari sini

Call...aku memanggil, aku memanggil disaat aku ingin mengundang. Bara yang telah jadi api, tidaklah panasnya mengobori. Lempengan tembaga yang terbelah, jangan dikira ketebalan dan ketipisannya, karena jika begitu akan selalu ada yang lebih tipis dan tebal.

Kalau aku bertanya, hakikatnya aku yang ditanya. Kalau aku berfenomena, aku berkata dengan kebicikan fisik. Tapi yang kutahu tidak untuk saat ini, aku telah mengisyaratkan dan mengsyaratkan.

Berpajang waktu...mengulas tuntas penghuni di dada. Dengan rumah yang terbalut kilau mentari, aku merasa menyentuh bayang-bayang masa kini dan masa depan. Membawa aku mengganti jurang, bukanlah sebaliknya membawa rongsokan terperosok dalam jurang. Aku tak hendak berkata demikian, akan sangat ironis mengimpletasikannya.

....ke...sana...

Cem...macem dan macem-macem. Proses dengan kepribadian dan dalam berkepribadian kita berproses.

Dalam sikap diam aku mengambil sikap dan dalam sikapku aku tak pernah diam, apalagi berpangku tangan. Aku manggung bukan di atas pentas, tetapi aku pentas bukanlah sebagai kalayak yang ingin bersensasi.

Hati yang bersensasi dan perasaan pula yang memerah sensasi. Aku raih sudah jiwa yang tenang dan ketenangan kuraih dalah hidupku menggelora dan menggugat kesengajaan yang hidup.

Duduk dan duduk jika aku nyaris membentrokkannya. Memenjara diri dan terpenjara, mungkin penghadanganku yang terdengar dan mengorganisir dalam penjagaan granat memborgol. Aku merasa lebih dari termasuki, melainkan juga sejumlah busur membidik ulu hati.

Tatkala sebelum...aku merasa

Tatkala sesudah...tinggallah di rasa

Tatkala aku beranjak...tatkala itu

Tatkala aku berunjuk,tatkala bintang berkelip

Berkelip...berkelit....

Tatkala aku lihat tulisan...selesai.

Aku selalu ingin pergi, disuatu ketika pula aku ingin pulang. Untuk senja hari ini, aku duduk di tepinya Bengawan untuk entah berapa panjang. Mungkin perpanjanganku akan melebihi mimpi-mimpi yang sempurna membawa berlabuh ke ujung dermaga Jawa...mungkin!

Seberapa mungkin aku tersadar, aku masih berjalan. Dan jalanku yang tertempuh adalah jalan yang kedua 'kita telah menentukan jalan'. Lepas aku melepas layang-layang bertanya pada angin.

Tentang arti kita dalam mimpi yang sempurna semalam, andaikata siang besok membawa aku bermimpi pada mimpi sempurna yang sama!

Entah itu siang...entah itu malam...panas aku sengajakan pasang penjajakan dalam dunia tali dengan dunia perpanjangan tangan.

Duduk bersila dengan memegang telapak tangan menyatu...mempersatukan selebaran-selebaran yang aku rilis nanti di ujung lain ujung waktu. Aku kira untuk waktuku yang lalu, 4/5 tahun mendatang aku masih belum terlambat, mungkin itu saat terdepan menguji ketajaman indera dan indera yang bertaji serta indera yang mendera dalam satu waktu berkesempatan.

'Catatan Aku'

Memandangi hujan meteor...sangsi dan saksi

Galeri...tentu aku pajang

Berpanjangan...aku gulir tikar pandan

Pemandangan yang mungkin mengulir hijau

Bintang jatuh!

Semoga aku tak salah mengartikannya,

Semoga aku yang memungutnya,

Semoga....bintang tidak menjatuhi aku!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun