Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi
Mbah Dharmodumadi Mohon Tunggu... Dosen - Mbah Dharmodumadi / Wira Dharmadumadi Purwalodra adalah nama pena dari Muhammad Eko Purwanto

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Karyawan Teladan : Kompetisi yang Menyesatkan?

6 Agustus 2015   09:19 Diperbarui: 5 Desember 2015   22:11 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Dharmodumadi

Suatu hari, seorang teman mengabarkan bahwa ditempat ia bekerja akan diadakan pemilihan karyawan teladan. Ia berharap menjadi salah satu nominasi dalam pemilihan tersebut. Dan, dalam setiap do’anya ia sangat menginginkan untuk menjadi orang nomor satu dalam kompetisi menjadi karyawan teladan tersebut. Memang boleh dibilang, teman saya ini, adalah termasuk seorang yang diunggulkan karena selain rajin, disiplin dan taat dengan semua aturan perusahaan, ia juga disenangi oleh pimpinannya.

Menurut teman saya ini, pemilihan karyawan teladan diharapkan menjadi pemicu bagi karyawan lainnya, untuk berkompetisi dan bersaing memperebutkan posisi di ‘nomor wahid’ sebagai karyawan teladan. Ia juga menjelaskan bahwa kegiatan semacam ini dilakukan setiap tahun pada even-even perayaan tertentu di perusahaannya. Namun menurut hemat saya, efek negatif yang ditimbulkan dari kegiatan pemilihan karyawan teladan ini, tidak sebanding dengan harapan baik yang mengikutinya, mengapa begitu ?!.

Saya sadar betul, bahwa dibalik setiap kompetisi itu, ada keinginan untuk berkuasa, alias untuk menang. Saya juga yakin di balik lomba atau kompetisi apapun yang digelar untuk memeriahkan hari istimewa, juga ada keinginan untuk mengalahkan lawan. Ini semua jauh lebih dominan, daripada keinginan untuk belajar bersama, apalagi belajar dari orang lain. Oleh karena itu, sejak dulu saya kurang sepakat dengan berbagai bentuk kompetisi, atau lomba apapun bentuknya, baik yang diselenggarakan di masyarakat, lembaga-lembaga, perusahaan, bahkan di sekolah-sekolah ?!.

Michael Porter, seorang ahli manajemen dari Universitas Harvard, AS, berpendapat, bahwa “logika kompetisi untuk menjadi yang terbaik adalah logika yang amat salah. Justru jika anda memimpin dengan logika semacam ini, yakni ingin berkompetisi untuk menjadi yang terbaik, hasilnya malah terbalik, yakni anda justru akan mendapatkan hasil yang minimal. Yang harus disadari adalah, bahwa “yang terbaik” itu sebenarnya tidak ada, apapun bidangnya.”

Sebagai contoh saja, masakan apa yang paling enak di Indonesia ?!. Masakan apa yang terbaik di masyarakat kita ?!. Bisakah kita menjawabnya? Tentu tidak ada yang bisa menjawabnya, karena setiap orang memiliki seleranya masing-masing, dan setiap jenis makanan memiliki ciri khasnya masing-masing yang sesuai dengan konteks kultural masyarakatnya. Beberapa orang bilang bahwa makanan terbaik adalah makanan yang pedas. Beberapa orang lainnya suka yang manis. Jadi, kesimpulannya bahwa tidak ada yang terbaik, dan bahkan tidak ada masakan yang paling enak di dunia ini, kecuali kita sedang lapar ?!. he .. he .. he ..

Atau begini, mall mana yang terbaik? Pasti kita akan kesulitan menjawabnya. Mall yang baik untuk seseorang, tentu berbeda dengan selera orang lainnya. Ada yang suka mall yang memiliki area outdoor, namun ada juga yang tidak. Tidak ada mall terbaik. Tidak ada makanan terbaik. Begitulah argumen Michael Porter.

Tentu saja, terkait dengan kompetisi untuk memilih karyawan teladan, tidak ada yang terbaik, meskipun indikatornya adalah mereka yang menjalankan aturan main atau SOP (standar operating procedure). Jika hal ini terjadi di sekolah, sungguh miris hati saya ketika siswa/murid teladan hanya dinilai dari sisi rangking jumlah nilainya saja, atau kemampuannya menjuarai lomba, atau kompetisi tingkat nasional bahkan internasional. Padahal, setiap siswa/murid memiliki kecerdasannya masing-masing, yang satu-sama lain berbeda. Kalo saja saya jadi kepala sekolah, setiap siswa yang ada di sekolah saya semua bisa menjadi juara pertama untuk setiap ke-unikan diri siswa itu masing-masing.

Mungkin, sebagaian besar kita agak terkejut dengan gagasan ini. Namun, saya bisa memaklumi karena di dalam keseharian kita, banyak manager/pimpinan perusahaan, dan bahkan kepala sekolah, memiliki semangat untuk mendorong organisasi yang dipimpinnya untuk menjadi yang terbaik, untuk mengalahkan semua kompetitornya. Di dalam pidato-pidato ataupun rapat-rapatnya, mereka bahkan menggunakan analogi peperangan, bahwa bisnis adalah perang, dan bahkan pendidikan adalah perang. Ada efek dramatis dari pidato-pidato semacam ini. Namun sayangnya cara berpikir semacam ini salah dan sesat.

Menurut Margretta, dalam bukunya ‘Stop Competing to be The Best,’ 2011, bahwa  di dalam perang, hanya ada satu pemenang. Namun di dalam kehidupan pada umumnya, terutama di dalam bisnis, masalahnya tidak sesederhana itu. Di satu gang yang sama, Restoran Padang dan Restoran masakan Jawa-Sunda (janda) bisa sama-sama menjadi pemenang, karena keduanya memiliki jenis pelanggan yang berbeda. Tidak ada yang terbaik, dan tidak ada masakan yang terenak. Semua tergantung selera masing-masing.

Oleh karena itu, kita dan dunia ini tidak lagi perlu ada kompetisi, atau lomba-lomba apapun namanya. Hampir setiap hari kita berkompetisi. Beberapa orang berkompetisi dengan cara yang sehat, namun sebagian besar lainnya tidak. Justru yang kita butuhkan sekarang, adalah kerja-sama, atau kolaborasi. Kita perlu bekerja sama untuk suatu tujuan luhur, yakni mencapai Visi-Misi lembaga, perusahaan, bahkan sekolah, dengan berbagai motto untuk menyemangatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun