Mohon tunggu...
Mazz Yaqien
Mazz Yaqien Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Al-Azhar yang tak seutuhnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Cita Wanita Dunia Mengalahkan Bidadari Surga*

6 November 2012   04:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:54 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13521767571108112076

Aku mendengar suara yang maha dahsyat yang mengorek telingaku, entah apa itu? Jari-jemariku tergerak, mataku sedikit terbuka, sedang mulutku masih mengatup. Pandanganku lurus tapi tersilaukan oleh cahaya pekat. Apa ini? Apa yang terjadi? Secara perlahan badanku bergerak, duduk, berdiri lalu berjalan. Aku tak mau seperti ini. Mengapa aku bisa bergerak sendiri? Aku masih ingin memejamkan mata.

Sejauh mata memandang, terbentang luas dataran maha rata. Semua manusia juga terbangun dari tidur panjangnya. Astaga, aku telanjang. Hah, mereka juga telanjang. Tapi siapa mereka? Aku tak mengenalnya. Dimana ayah-ibuku? Dimana istri dan anak-anakku? Dimana teman akrabku? Tetangga, sahabat, guru, dimana orang yang aku kenal?

Semua berjalan pada satu titik tujuan. Begitu juga dengan aku, aku berjalan dengan rasa dahaga yang amat mencekik. Kuedarkan pandanganku ke kanan dan ke kiri. Mengapa mereka dengan riang menaiki kuda? Mengapa mereka berjalan dengan kaki telanjang seperti aku? Mengapa mereka berjalan dengan menggunakan perut bak ular, mana kaki mereka? Alangkah malangnya mereka. Sebenarnya apa yang terjadi? Aku masih ingin memejamkan mata.

Aduh, tak hanya tenggorokan yang kemarau, panas yang amat menyengat membakar kulitku. Aku tak kuasa mendongakkan kepala. Matahari berada pas sejengkal dari ubun-ubunku. Hah, apa-apaan ini? Mengapa begini? Kehidupan apa ini? Tanpa kuayunkan langkahku, kakiku bergerak sendiri. Sedikit cepat namun tak mampu menandingi langkah kuda kaum berbahagia itu. Tapi setidaknya aku bersyukur karena sedikit lebih beruntung ketimbang mereka yang merangkak seperti bayi.

Aku dimana? Mereka siapa? Mengapa aku tak mengenal satu pun dari mereka? Mereka larut pada keadaan masing-masing hingga tak mampu bertegur sapa bahkan menoleh. Aku pun sibuk dengan diriku, panas, lapar, haus, berkeringat dan Ya Tuhan, air apa ini yang menggenang di lututku. Semakin susah kakiku melangkah. dan mereka yang merangkak, hampir tenggelam, tak bisa bergerak.

Entah berapa lama perjalanan itu, akhirnya semua terkumpul pada tanah lapang yang sangat luas.  Kulihat di depan ada sebuah panggung panjang dan berdiri di atasnya dua puluh lima pemuda tampan dan gagah sembari membawa bendera. Walaupun agak kesulitan, kupaksa menerka tulisan yang terpampang di bendera itu “Muhammad Rasulullah”, sepertinya aku kenal tulisan itu. Astaga, itu nama Nabiku, Muhammad. Tanpa disuruh aku berdiri di barisan itu meski berada di sisi belakang.

Bosan dan muak rasanya berdiri lama tanpa sekat kepala. Terdapat payung besar terbentang di barisanku bagian depan. Lagi-lagi aku kesal, mengapa tak sampai di tempatku berdiri? Tapi, setidaknya lagi-lagi aku lebih beruntung dibanding mereka yang baru datang dengan perut yang tak tega untuk dilihat.

Semua mengantri pada satu pintu, entah pintu apa itu. Di sana terdapat makhluk yang bukan manusia sibuk memanggil nama satu-persatu. Matahari masih menyengat, kenapa tak ada sore, malam dan petang? Ah, benar-benar kehidupan yang sulit dimengerti. Dan segala puji bagi Tuhan semesta alam, umat Nabiku Muhammad mendapat kesempatan pertama mengantri di depan pintu itu.

Semakin dekat dengan pintu itu, dadaku semakin berdegup kencang, badanku tiba-tiba menggigil. Ingin kulari tapi kakiku terasa berat. Tak ada langkah mundur, hanya maju selangkah demi selangkah. Duhai Tuhanku yang baik, ternyata ini hari perhitungan amal perbuatan manusia. Sebuah timbangan yang belum pernah aku lihat sebelumnya berdiri tegak nan gagah di depanku. Ah, bagaimana ini? Aku takut, aku malu, aku tak mau. Ternyata setelah melewati pintu timbangan itu, manusia digiring ke arah kiri atau kanan. Entah menuju kemanakah mereka, masih terlalu buram dan gelap untuk aku selidiki.

Dengan terpaksa aku memenuhi panggilan namaku, “Kamu Fulan?” ucap makhluk itu.

“Iya” jawabku.

Kupejamkan mataku, mulutku ingin membela tapi entah mengapa tiba-tiba terbungkam. Tangan dan kakiku berbicara tentang apa yang aku lakukan dulu di dunia. Ah, celaka! aku tak bisa lagi berbohong. Bagaimana ini?

“Neraka” teriak makhluk itu. Sontak mataku membelalak, kulihat api panas menganga siap menjilat siapa saja. Aduh, mana ayah-ibuku? Mana istri dan anak-anakku? Temanku, tetanggaku?

Dengan terpaksa aku turuti kemauan makhluk itu. Astaga, makhluk apa lagi ini? Ia begitu bengis, bermuka merah, berbadan besar, bertangan baja dengan membawa cambuk yang terbuat dari api. Diakah malaikat penunggu neraka? Aduh, matilah aku. Tamatlah aku. Hancurlah aku. Tak satu pun ada yang menoleh kepadaku. Hanya tatapan mata kemarahan makhluk di depan neraka itu yang bisa kupandang. Aduh, bagaimana ini?

“Hai Fulan, ayo ikut aku” ajak seorang makhluk putih, tampan yang sejak tadi belum aku jumpai. Tanpa bertanya aku ikuti dia. Paling tidak, dia menuju ke arah yang berlawanan dari danau luapan api itu. Syukurlah, aku sedikit terselamatkan.

Usai sampai di sebuah tempat yang tak kutahu, makhluk putih nan tampan itu hilang. Entah kemana? Tiba-tiba, “Hai Fulan, karena kasih-sayangKu masuklah kau ke dalam surga.” aku hanya bisa mendengar suara itu. Mataku tertutup, tak bisa melihat. Gelap. Petang. Tapi suara itu jelas. Kucoba menegakkan kepala, aku pun tak kuasa. “Fulan, masuklah surga karena kasih-sayangKu.” Suara itu kembali terdengar, aku bingung, “Bagaimana bisa?” gerutuku dalam hati. “Fulan, masuklah surga karena kasih-sayangKu. Sebab selama di dunia, kau tak pernah makan mendahului istrimu.” ulangNya. Dan kini suara itu menyebut alasan kenapa aku bisa masuk surga. Ah, aku tak seberapa yakin. Bagaimana tidak, sebuah amal yang sesederhana itu mampu menyelamatkan ahli neraka dari jilatan api Jahanam? Apakah kebaikan yang tulus mampu melampaui keimanan? Aku tak rajin beribadah, juga jarang berpuasa. Tak pernah salat sunnah. Ah, entahlah yang penting aku selamat dari cambukkan makhluk yang menyeramkan tadi.

Lega dan tak sabar ingin segera menikmati surga yang katanya penduduknya akan disambut 40 bidadari cantik, putih tiada tandingnya. Aku percepat jalanku. Tak jauh dari langkahku tertulis, “Selamat Datang Wahai Para Penduduk Surga.” Aduhai, indah sekali. Inikah yang disebut taman surga. Kulihat ada wanita-wanita cantik yang menyambut di sana. Putih, bersih, mancung, berseri dan tak pernah aku temui wanita-wanita seperti ini sebelumnya. Aku hentikan langkahku, aku teringat kenapa aku bisa masuk surga? Oh, kemana istriku sekarang? Dimana dia? Tidakkah ia menyambutku di pintu masuk taman surga ini? Aku enggan mendekati taman surga itu. Aku memandang jauh tak  jua mendapatkannya. Istriku, kau kemana sayang?

Di depan mataku, berjejer puluhan wanita cantik sembari melambaikan tangan. Tak satu pun dari mereka yang kukenali. Istriku, ya istriku. Aku tak akan mau masuk taman itu sebelum bertemu istriku. Kenapa dia tak menyambutku. “Tuhan, gantilah puluhan bidadari itu dengan satu wanita yang membuatku masuk surga, istriku.” keluhku. Dan dengan sekejap para bidadari itu tak terlihat lagi. Tiba-tiba, melela dengan amat gemulai dan lembut wanita cantik sekali. Ia melambaikan tangannya. Aku kenal dia, dia istriku. Aku berlari secepat mungkin. Kukecup keningnya, dia mencium tanganku. Kupandang lekat wajahnya, dia terlihat jauh lebih anggun. Senyumnya mengumbar cinta yang tak terkalahkan. Kukecup lagi keningnya. “Apa kabar, sayang?”  tanyaku.

***

Aku tersentak bangun. Begitu deras keringat di keningku. Kucari Hpku. Ternyata, masih pukul 03.15. kupandangi istriku. Wajahnya putih bersinar, meski sedikit pucat. Biasanya ia sudah bangun dan salat malam. Ah, selama beristri dengannya tak pernah aku salat malam. Ia pun tak pernah memprotes dan mendekteku. Karena letih bekerja, aku hanya dibangunkan olehnya untuk salat subuh. Itu pun kadang hampir telat.

Tak ada salahnya, aku salat sunnah malam ini. Kukecup kening istriku. Kuelus wajah cantiknya sembari menepuk pipinya lembut. Ia membuka mata.

“Gak salat malam sayang? Mumpung masih ada waktu loh, salat bareng yuk?” ajakku.

Ia hanya membalas dengan senyum. Senyum yang tak pernah aku lihat sebelumnya.

***

Kami siap untuk salat malam berjama’ah. Subhanallah, sungguh istriku terlihat amat cantik justru tatkala mengenakan mukenah meski mukanya agak pasi, mungkin ia kelelahan.

“Kamu sakit sayang?” tanyaku.

Dia menggeleng. “Aku hanya ingin menjadi wanita dunia yang mampu membuat cemburu para bidadari surga, mas.” katanya.

Aku hanya mengamini cita-citanya. Kami pun salat dua rakaat.

Kusudahi salat kami dengan salam. Lalu beristighfar dan berdoa. Istriku masih bersujud, mungkin ia meminta citanya dalam sujud terakhirnya. Aku biarkan saja dia dengan membaca al-quran surat Ar-Rahman.

Adzan subuh berkumandang namun istriku tetap saja dalam keadaan sujud. Kucoba menyadarkannya. Kusentuh pundaknya.

“Sayang, sudah adzan subuh.” bujukku.

Tapi ia tak menggubris, kugerak-gerakkan tubuhnya. Ia kaku dan tak bernapas. Innalillahi wa inna ilaihi Rajiun, ia meninggal dalam sujudnya. Ia bertemu Tuhannya dalam balutan putih mukenahnya. Ia mampu meraih cita-citanya,  “Aku hanya ingin menjadi wanita dunia yang mampu membuat cemburu para bidadari surga, mas.” Aku menagis haru teringat ayat Tuhan yang tadi kubaca; “ Lantas, nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan.”

Kairo, 06 November 2012 ; Adzan Subuh

*Terinspirasi dari status blog seorang mahasiswi Undip korban kecelakaan beberapa hari lalu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun