Dilansir BPMI Setpres tanggal 2 Januari 2025, Pemerintahan Prabowo menargetkan investasi periode tahun 2025 – 2029 sebesar Rp13.032 Triliun sebagai motor penggerak guna mencapai mimpi besar berupa tercapainya target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Di tahun awal (2025) mimpi tersebut dimulai dengan target nilai investasi yang masih relatif kecil dari target total selama 5 tahun, yaitu sebesar Rp1.905 Triliun (sekitar 14,6%). Investasi tersebut diharapkan meningkatkan kontribusi terhadap PDB yang saat ini di kisaran 24 – 25%.
Memitar investasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menegaskan bahwa investasi tak sekadar angka, melainkan juga harus berkualitas. FDI Indonesia tahun 2020 – 2022 termasuk salah satu tertinggi berdasarkan laporan ASEAN Investment Report 2023, dimana pada laporan tersebut menyingkap bahwa Singapura tetap menjadi tujuan FDI terbesar di ASEAN dengan lonjakan signifikan setiap tahun, sedangkan Vietnam menunjukkan tren peningkatan FDI yang konsisten. Â
FDI Indonesia didukung dengan keunggulan utama Indonesia yang berfokus pada pasar domestik yang besar (menarik bagi investor yang ingin memasuki pasar konsumen) dan kekayaan sumber daya alam. Arus masuk FDI ke Indonesia pada 2022 mencapai $22 miliar, naik 5% dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini terutama didukung oleh sektor manufaktur dan sektor digital. Investasi hijau (greenfield investment) di Indonesia meningkat hingga 82%, dengan nilai mencapai $15 miliar. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu penerima utama dalam investasi jenis ini di ASEAN. Investasi besar di sektor kendaraan listrik (EV) dan energi terbarukan terus mendorong arus masuk FDI. Indonesia menarik investasi signifikan untuk produksi nikel dan kobalt, mineral utama untuk baterai EV.
Sayangnya, Indonesia tidak optimal memanfaatkan momentum yang jarang terjadi, dimana perusahaan multinational enterprise (MNE) selama beberapa tahun ini sedang melakukan restrukturisasi rantai pasok akibat dorongan ketegangan geopolitik dan gangguan rantai pasok pada saat pandemi yang lalu. Perusahaan MNE tersebut mulai mendiversifikasi lokasi produksi untuk mengurangi risiko dan uniknya menjadikan ASEAN sebagai penerima utama tren relokasi ini. Tren ini berdampak baik bagi regional ASEAN berupa memperkuat posisi ASEAN sebagai pusat manufaktur global dan mendorong pertumbuhan ekonomi regional. Diversifikasi FDI di ASEAN secara garis besar pada dasarnya dibagi menjadi dua, pertama memperluas kapasitas secara horizontal (di negara yang sama) dan vertikal (lintas negara ASEAN) serta mendirikan fasilitas produksi di kawasan ini untuk pertama kalinya.
Menariknya ditengah negosiasi investasi Apple di Indonesia pada beberapa periode lalu yang merupakan bagian dari langkah mempercepat ketersediaan produk Apple secara resmi di pasar Indonesia melalui pemenuhan persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebagai bagian dari kebijakan industri nasional. Apple tengah menjalankan strategi ekspansi agresif dengan mendiversifikasi basis produksinya ke kawasan ASEAN, khususnya di Viet Nam, Thailand, dan Malaysia. Langkah strategis ini tidak hanya memperkokoh dominasi Apple di panggung global, tetapi juga menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN melalui suntikan investasi besar, alih teknologi canggih, dan penciptaan ribuan lapangan kerja. Keberlanjutan kesuksesan strategi ini akan sangat ditentukan oleh komitmen pemerintah ASEAN dalam memperkuat infrastruktur dan menghadirkan insentif investasi yang kompetitif.
Apple berekspansi masif di Viet Nam dan menjadikan negara tersebut poros baru produksi. Dimulai tahun 2020, Foxconn merelokasi sebagian produksinya iPad ke Viet Nam dan Pegatron meningkatkan kapasitas produksinya untuk memproduksi komputer, peralatan komunikasi, dan komponen elektronik. Dilanjutkan tahun 2021, Apple bersama Luxshare Precision Industry dan Foxconn mulai memproduksi Apple Watch, menandai babak baru dalam diversifikasi lini produksinya. Langkah Viet Nam menjadi salah satu poros GVC diperkuat dengan kehadiran Quanta Computer asal Taiwan yang membangun pabrik baru di Viet Nam pada 2022, khusus untuk komponen notebook. Berikutnya tidak ketinggalan, BOE Technology dari Tiongkok turut ambil bagian dengan membangun dua pabrik tambahan di Viet Nam. Gelombang investasi ini menunjukkan bagaimana Viet Nam telah berkembang menjadi pusat manufaktur strategis Apple, memperkuat posisi negara tersebut di peta industri teknologi global.
Selain Viet Nam, Apple juga agresif memperluas jejaknya di Thailand dan Malaysia. Sejak 2022, Apple mulai memproduksi Apple Watch di Thailand dan menggandeng pemasok lokal untuk memproduksi MacBook. Beberapa pemasok utama Apple seperti Delta Electronics, Analog Devices, Compal Electronics, dan Murata terus memperluas kapasitas produksi mereka di Thailand, memperkuat jaringan rantai pasok yang efisien dan terintegrasi. Di Malaysia, ekspansi Apple dimulai sejak 2021 dengan produksi Mac Mini berbasis chip M1 melalui kerja sama dengan Foxconn. Langkah ini semakin diperluas pada 2022, ketika Foxconn bermitra dengan perusahaan lokal, Dagang NeXchange, untuk membangun pabrik chip 12 inci. Kehadiran fasilitas produksi ini tidak hanya mendukung kebutuhan produksi Apple, tetapi juga mendorong pertumbuhan industri semikonduktor di Malaysia.
Berkaca lebih jauh atas fenomena tersebut, Indonesia diharapkan memanfaatkan momentum tersebut agar menjadi langkah struktural untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (Middle-Income Trap) selama lebih dari tiga dekade karena investasi yang berkualitas menjadi batu loncatan Indonesia naik kelas menjadi negara maju. Namun, PR besar Indonesia menarik investasi yaitu memperbaiki Total Factor Productivity (TFP) yang saat ini masih terendah di antara negara peers yang menandakan bahwa kontribusi teknologi, inovasi, dan efisiensi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi masih sangat terbatas. Tanpa peningkatan TFP, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus bergantung pada ekspansi modal dan tenaga kerja yang tidak berkelanjutan. Selain itu, Indonesia masih menghadapi Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang mahal, dimana hal ini menunjukkan efisiensi investasi yang rendah. Setiap unit pertumbuhan ekonomi memerlukan lebih banyak investasi dibandingkan negara peers, mencerminkan alokasi sumber daya yang belum optimal dan hambatan struktural seperti birokrasi, infrastruktur yang kurang memadai, serta iklim investasi yang perlu ditingkatkan.
Perlu komitmen dan kerja keras bagi Indonesia untuk memperbaiki TFP dan ICOR, namun secara paralel negara harus hadir untuk mendorong diversifikasi investasi yang berkualitas yang mengutamakan investasi pada Industri yang bernilai tambah tinggi, industri yang menjadi bagian GVC, industri yang berorientasi ekspor (high medium technology bernilai tambah rendah) dan top global player industri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Investasi tidak hanya sebagai motor pertumbuhan ekonomi tetapi juga sebagai alat transformasi untuk memperkuat daya saing. Sinergi antara kualitas investasi, komitmen pemerintah, dan strategi adaptif perusahaan multinasional akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sisi lainnya bagi Indonesia, fenomena perusahaan MNE  yang saat ini gencar mendiversifikasi lokasi produksi  bisa menjadi peluang sekaligus tantangan untuk meningkatkan kontribusi investasi terhadap pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan serta bagaimana bisa mengakselarasi investasi yang berkualitas yang tidak hanya sekedar angka target yang ditetapkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI