Mohon tunggu...
Maya Nirmala Sari
Maya Nirmala Sari Mohon Tunggu... Freelancer - Dosen - Editor Website Bisnis dan Keuangan

Peduli lingkungan dan cinta buah-buahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kutukan Ibu Durhaka

20 Juni 2017   12:55 Diperbarui: 11 Juli 2017   09:34 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku masih akrab dengan kasur rumah sakit ini. Baunya yang menguar memantul di dinding-dinding hidungku. Tidak ada apapun yang bisa membuat aku tersenyum bahagia di kamar ini. Kamar kelas rakyat jelata busuk yang tidak pernah menerima lemparan senyum dari petugas rumah sakit. Di tempat lain mungkin kondisi ini hanya mitos. Namun di dalam hati kecilku, semua yang ada di dunia ini terlihat suram saja. Aku tidak pernah bahagia, walaupun hanya satu kali. Aku tidak pernah tersenyum. Kamu percaya? Kamu bertanya kenapa?

Semua ini karena aku diikat sebuah kutukan. 

Aku baru saja kehilangan calon bayiku. Aku keguguran. Setelah tiga tahun menikah, aku sudah tiga kali keguguran. Buah hati yang kami nantikan nyatanya tidak menginginkan hadir dalam kehidupan. Yah, mana ada yang mau jadi pewaris sebuah kutukan laknat kan? Kutukan ibu durhaka. Kalimat itu terdengar perih di telinga. Mengiris-iris hati dengan sembilu di malam yang gigil. Kita terbiasa dengan dongeng mulianya seorang Ibu. Kita didokrin untuk menjilat-jilat surga di telapak kaki ibu. Kita terlalu sering melihat cerita Malin Kundang anak durhaka di era modern ini. Kemudian kita memicingkan mata dengan sebuah fenomena yang tak kalah populernya : Ibu Durhaka.

Kamu kira Ibu Durhaka itu tidak pernah ada? Lalu kamu menyebut-nyebut jasa setiap ibu yang sudah berpayah-payah mengandung 9 bulan. Lalu kamu bercerita tentang kesakitan berlapis dengan taruhan nyawa saat melahirkan. Kamu tidak bosan menghitung berapa mili liter air susu yang dihisap. Belum lagi jam tidur malam yang dirampas tangisan bayi. Bertahun-tahun seorang ibu bersabar dengan segala kerepotan mengurus anaknya. Ibu selalu mencurahkan kasih sayang sepenuh hati dan rela berkorban untuk anak-anaknya. Lalu bergaunglah kalimat bijak, "Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah."

Biadab! Jangan ceritakan dongeng itu lagi kepadaku! Yang kamu ceritakan itu adalah Ibumu, bukan Ibuku! Kamu kira semua ibu itu baik seperti ibumu? Hey, ga pernah baca berita ya? Itu yang sering buang bayi, kamu kira siapa? Ayah?

**

Entah dimulai sejak kapan, tapi aku hanya mampu menelusurinya sampai garis kehidupan Nenek, Ibu kandung dari Ibu kandungku sendiri. Saat jaman penjajahan, kemiskinan sudah menjadi selimut di siang dan malam hari. Kelaparan adalah sahabat setia yang selalu menemani. Apalagi untuk keluarga pelacur bodoh pemalas yang sehari-hari kegiatannya hanya merutuki nasib.

Nenek memiliki 16 orang anak. Iya, kamu tidak salah baca, betul 16 walaupun tak seorang pun dapat kita temui saat ini. Semuanya sudah tewas dengan mengenaskan. Ada yang meninggal saat lahir. Ada yang meninggal saat masih bayi berumur hitungan bulan. Ada yang beruntung sampai balita. Ada yang sial meninggal umur belasan tahun. Tapi yang paling sial adalah 2 orang anak perempuan yang meninggal beberapa tahun setelah melahirkan anak perempuan generasi berikutnya. Salah satunya adalah aku.

Ibuku menjalani kehidupan yang sangat berat sejak dilahirkan. Ibuku menderita sepanjang hidupnya. Menurutmu, Nenek tetap berjasa karena sudah mengandung dan melahirkan dengan taruhan nyawa? Apa kamu pikir Nenek dengan senang hati dan ikhlas menjalaninya? Dengan yakin ku jawab, TIDAK. Nenek itu seorang pelacur yang bodoh. Pelacur miskin yang terbuai kenikmatan setan di jaman teknologi masih sebuah mimpi. Wanita tua yang melacur sampai renta itu hanya bercinta setiap malam dan tidak berhitung tentang kemungkinan terjadinya kehamilan. Tidak seperti Ibu di dongeng kalian itu, Nenek meluncurkan serapah kotor saat mengetahui dirinya berbadan dua. Lebih dari sekali dua kali Nenek meminum aneka ramuan agar janinnya hancur. Kadang harapannya terkabul, tapi sejarah telah mencatat bahwa 16 kali Ia melahirkan. 

Nenek bertaruh nyawa saat melahirkan. Tapi Dia melakukan itu bukan karena kasih sayang terhadap bayinya. Dia terpaksa didera sakit luar biasa itu demi bisa secepatnya melacur lagi. Dia pun tidak pernah menyusui Bayinya. 16 orang anak yang lahir dari rahimnya dibiarkan begitu saja. Tidak dibuang, tidak pula dikasihkan orang. Lumayan juga buat menarik belas kasihan orang. Beberapa tetangga yang sama miskinnya kadang memberi sepiring singkong rebus, atau beberapa helai selimut bekas.

Anak-anak dengan asupan gizi tidak memadai pun kerap diserang berbagai penyakit. Membawa anak ke dokter seperti sebuah pamali buat Nenek. Apapun sakit anaknya, sepilu apapun tangis anaknya, tetap dibiarkan saja. Sampai akhirnya sembuh sendiri, atau mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun