Libur tlah tiba...
Libur tlah tiba...
Hore...hore...hore...
Penggalan lagu yang dinyanyikan oleh Tasya mungkin menjadi pertanda bahwa sebagian besar masyarakat khususnya usia sekolah sangat bergembira ketika liburan sekolah tiba. Beban pelajaran yang berat, ditambah dengan pekerjaan rumah yang menumpuk bisa jadi salah satu faktor yang menyebabkan sebagian siswa tidak menganggap belajar terutama di sekolah itu sebagai hal yang menyenangkan.Â
Bagaimana tidak, 24 jam yang ia miliki setiap hari bisa jadi digunakan sebagian besar untuk 'sekolah'. Umumnya dari Senin dan Jumat, hari-hari mereka diawali dan diakhiri dengan urusan sekolah. Belum lagi bila ditambah dengan ekstrakurikuler, bimbingan belajar, sekolah agama, kerja kelompok, mengerjakan PR dan kegiatan lainnya. Bahkan pernah ada usulan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy untuk menerapkan full day school di tiap-tiap sekolah di Indonesia.
Bisa dibayangkan betapa sekolah itu bak buah simalakama. Tidak sekolah, berabe; karena tidak dapat dipungkiri ijazah yang dimiliki masih menjadi kunci pembuka gerbang masa depan. Bagaimana tidak? Jika kita ingin melamar pekerjaan, hal wajib yang harus kita miliki adalah ijazah sekolah. Seiring dengan dunia perekonomian yang semakin kompetitif, ijazah yang harus dimiliki oleh pelamar setidaknya adalah ijazah SMA. Belum lagi jika ditambah dengan tuntutan untuk mendapat nilai tertentu ketika ingin melanjutkan ke perguruan tinggi.
Tapi jika sekolah, seluruh waktu, tenaga dan pikiran para siswa hanya tertuju pada kurang lebih 12 mata pelajaran yang mereka pikir belum tentu berguna untuk masa depan mereka. Belum lagi ditambah beban psikologis yang mungkin mereka hadapi. Para orangtua masih ada yang menganggap kualitas anak-anaknya bergantung pada angka-angka yang tertera pada buku raport. Semakin tinggi angka yang diraih anak, maka semakin banggalah para orangtua. Lalu bagaimana nasib anak yang buku raportnya dihiasi dengan warna merah? Umpatan bodoh, anak tak berguna, aib keluarga mungkin tersanding di depannya.Â
Maka jangan heran jika banyak anak yang mau menghalalkan segala cara termasuk mencontek demi membuat orangtuanya 'bangga'. Mau tidak mau paradigma berpikir anak diarahkan untuk memperoleh nilai tinggi dengan mengabaikan nilai kejujuran. Dan lebih parahnya ketidakjujuran ini dilakukan juga oleh sebagian guru, kepala sekolah dan orangtua demi meraih ambisinya.Â
Sering berita menghiasi media yang kita baca atau tonton memberitakan ada guru yang memilih jalan pintas dengan membeli ijazah, agar ia bisa mengajukan sertifikasi. Atau di lain waktu kita membaca wakil kepala sekolah yang tertangkap tangan menerima pungli di sekolahnya. Atau kita mendengar kabar ada orangtua yang memberikan sogokan pada satu sekolah favorit, agar anaknya bisa masuk ke sekolah tersebut.
Di saat kondisi pendidikan Indonesia masih dianggap belum memiliki kualitas yang baik, banyak pihak yang ingin melakukan perubahan dan perbaikan. Mencontoh negara yang dianggap sukses dalam meningkatkan sistem pendidikan bisa menjadi suatu hal yang direkomendasikan.Â
Akhir-akhir ini publik mungkin tertarik dengan sistem pendidikan yang diterapkan di Finlandia. Secara mengejutkan, Finlandia mampu bangkit dari keterpurukan yang dihadapi dan dalam kurun waktu tidak begitu lama menduduki peringkat atas dalam kualitas pendidikannya. Tidak adanya ujian nasional bagi siswanya hingga ia menginjak usia 17-19 tahun menjadi salahsatu daya tarik untuk diadopsinya sistem tersebut ke sistem pendidikan di Indonesia. Tentu program ini seperti angin segar bagi para siswa di Indonesia yang harus mengikuti setidaknya tiga kali ujian nasional dalam jenjang pendidikannya.
Namun sebelum kita buru-buru memutuskan untuk menerapkan, alangkah baiknya kita memperhatikan lima hal berikut. Pertama, class size. Di Eropa, setiap kelas idealnya diisi oleh sekitar 25 siswa. Teknis belajarnya pun memakai sistem moving class dimana setiap guru mata pelajaran memiliki kelas masing-masing. Sementara di Indonesia bahkan terdapat kelas yang isinya 50 siswa dan guru lah yang mendatangi siswa; jadi setidaknya dalam satu tahun para siswa akan menempati ruang kelas yang sama. Ketimpangan ini bisa menyebabkan sulitnya guru dalam memaksimalkan potensi setiap siswa karena keterbatasan waktu yang dimiliki.
Sebenarnya fenomena ini bisa diselesaikan jika terdapat keseimbangan jumlah guru di setiap pelosok di Indonesia. Nyatanya yang terjadi adalah penumpukan jumlah guru di satu daerah dan langkanya guru di daerah yang lain. Belum lagi ditambah dengan tidak adanya kejelasan jumlah guru honorer yang terdapat di Indonesia mengingat pihak sekolah berkewenangan penuh untuk merekrut guru honorer yang dibutuhkan.Â
Sejatinya jika di dalam satu kelas, terdapat dua guru yang mengajar, mungkin saja Indonesia bisa mengejar ketertinggalan. Tapi tentu, hal ini juga tergantung pada kualitas guru yang dimiliki. Sertifikasi yang dijanjikan di UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, memang mensyaratkan agar guru sekurang-kurangnya merupakan lulusan S1. Tetapi UU tersebut belum menggambarkan secara jelas lulusan S1 seperti apa yang dianggap mampu mengajar di kelas.
Kedua, beban mengajar guru. Bagi guru yang sudah menjadi PNS atau memperoleh sertifikasi, 24 jam adalah jumlah minimal jam wajib mengajar bagi mereka setiap minggunya. Itu berarti setidaknya mereka harus mengajar lima jam setiap harinya. Beban mereka pun ditambah dengan keharusan menghadiri rapat sekolah, memeriksa tugas siswa, membuat soal ujian sekolah yang juga membuat hari-hari mereka dipenuhi dengan urusan 'sekolah'. Guru honorer bisa lebih parah keadaannya. Kewajiban untuk mengajar selama 24 jam bisa jadi mengharuskan ia mengajar di beberapa sekolah yang berbeda. Maka tak heran, ketidakhadiran guru saat jam mengajar masih dianggap tinggi di Indonesia.
Ketiga, Continuous Professional Development. Jika Anda ingin menjadi guru di Finlandia, paling tidak Anda harus memegang ijazah pascasarjana (S2). Tidak mudah jika ingin menjadi guru di Finlandia. Anda harus melewati penilaian yang sangat kompetitif. Tapi hasilnya tentu dapat menggembirakan. Pemerintah terbukti berhasil memperkerjakan para guru profesional yang bisa meningkatkan kualitas pendidikan di negaranya. Bahkan pemerintah pun menyediakan berbagai pelatihan dalam menunjang performa guru di dalam kelas.
Keempat, formative assessment. Dylan William dan Paul Black yang dikenal sebagai ahli asesmen dalam bidang pendidikan menyebutkan bahwa penilaian tes formatif di sekolah di Eropa berupa masukan yang diberikan guru pada siswanya. Dalam tes formatif tersebut, siswa diberikan komentar tentang kekurangan dan kelebihan yang ia miliki dalam mengerjakan tes tersebut.Â
Tidak ada angka yang diberikan. Hasilnya siswa bisa mendapatkan masukan tentang pencapaian tahap belajarnya dan secara tidak langsung motivasi internal tumbuh dalam dirinya. Jika prosedur ini diterapkan, siswa tidak akan lagi membandingkan hasil tes dengan yang lain dan berarti juga siswa yang memiliki kemampuan rendah bisa meningkatkan kepercayaan dirinya karena tak ada nilai yang tertera di kertas ulangannya.
Di Indonesia, tes formatif hasilnya tidak terlalu jauh berbeda seperti apa yang dilakukan dalam tes sumatif. Bagi sebagian guru, tes formatif hanya berisi ulangan harian yang tetap dinilai dengan angka. Angka-angka inilah yang nantinya akan diakumulasikan sebagai nilai rata-rata mata pelajaran siswa dalam satu semester.Â
Inilah yang diharapkan sebagai hasil dari pendidikan di Indonesia. Masih banyak yang menganggap bahwa nilai ujian yang didapat itu sebagai sebuah tujuan utama dan mengenyampingkan kemampuan yang seharusnya diperoleh oleh siswa. Hal tersebut berdampak pada aktivitas belajar mengajar khususnya di akhir tahun yang didominasi dengan persiapan untuk menghadapi ujian kelas.
Agar bisa memperoleh nilai ujian yang diinginkan, guru cenderung terjebak dalam teaching to the test daripada teaching to the material atau teaching to the students. Mereka lebih mengedepankan mengajarkan cara menjawab soal ujian daripada mengajarkan materi yang seharusnya menjadi inti dari silabus yang disusun berdasarkan kurikulum yang sudah ditetapkan.Â
Alasannya karena soal ujian nasional tidak hanya diambil dari materi untuk semester dua kelas sembilan atau kelas dua belas saja tetapi materi secara keseluruhan. Tidak sedikit akhirnya guru diharuskan mengadakan kelas pemantapan di luar jam sekolah agar bisa mempersiapkan siswa untuk menghadapi ujian nasional dengan lebih matang. Jika ada siswa yang nilainya rendah, guru akan menganggap itu sebagai sebuah aib dan karenanya ia telah merusak image dari sekolah tempat ia mengajar.
Orangtua yang berkecukupan juga sudah mulai cemas ketika anaknya menginjak kelas akhir. Mereka khawatir nilai ujian anaknya tidak cukup tinggi sebagaimana disyaratkan oleh sekolah favorit yang menjadi incaran. Bimbingan belajar ternama akan menjadi tempat para siswa menghabiskan waktu di luar sekolah yang materi bimbingannya pun tidak jauh dari teaching to the test.
Kelima, manajemen dan supervisi. Populasi yang menempati wilayah Indonesia tentu suatu kekurangan yang lain. Sebagaimana diketahui Indonesia merupakan negara keempat di dunia dengan lebih dari 240 juta jiwa penduduknya.Â
Ini tentu tidak bisa disandingkan dengan Finlandia yang hanya berjumlah sekitar 5,5 juta jiwa dengan luas wilayah kurang lebih 300.000 km2. Dengan banyaknya penduduk yang dimiliki serta terbentang luasnya wilayah Indonesia, tentu bukan perkara yang mudah dalam melakukan pengawasan dan administrasi. Perlu diakui, pengawasan terhadap sekolah yang sudah ada pun masih terbatas dalam lingkup administrasi dan belum menunjukkan perubahan signifikan terhadap perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia.
Sebuah keniscayaan jika suatu saat Indonesia bisa mengaplikasikan sistem pendidikan yang mumpuni. Tapi mengubah sistem saat ini bak mengurai benang yang kusut. Perlu kesabaran dan ketelatenan. Perbaikan yang diidamkan oleh masyarakat Indonesia bukanlah bongkar pasang kurikulum yang nyata-nyata belum berhasil memberikan kontribusi perubahan. Karena yang diperlukan adalah suatu tim yang solid yang terdiri dari individu, masyarakat dan negara. Setiap elemen perlu merumuskan tujuan yang jelas arah pendidikan yang diinginkan dan saling bersinergi dalam mewujudkan tujuan tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI