Mohon tunggu...
MEX MALAOF
MEX MALAOF Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Terus Bertumbuh dan Berbuah Bagi Banyak Orang

Tuhan Turut Bekerja Dalam Segala Sesuatunya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Meup On Ate, Mua On Kase", Spirit Menikmati Kerja dalam Masyarakat Dawan

17 Oktober 2020   03:42 Diperbarui: 17 Oktober 2020   04:33 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masyarakat Dawan (atoin meto) merupakan salah satu suku yang hidup dan berkembang di pulau Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Mata pencaharian utama masyarakat suku ini adalah bertani (menanam padi, jagung, ubi-ubian, kacang-kacangan, dan lain sebagai). Setiap jenis tanaman yang ditanam pada musim penghujan, terutama padi dan jagung, harus diperhitungkan dengan matang dan tepat agar dapat mencukupi kebutuhan perut selama setahun. Maka, padi dan jagung yang hendak dipanen, harus benar-benar matang dan kering agar tidak rusak selama tersimpan di lumbung makanan (Lopo dalam bahasa masyarakat setempat).  

Sama seperti daerah-daerah lain di Indonesia, masyarakat Dawan di pulau Timor juga mengalami dan menikmati dua musim dalam setahun yakni musim panas (kemarau) dan musim hujan (dingin). Kedua musim, baik musim panas maupun musim hujan, menghadirkan tuntutan yang satu dan sama  bagi semua orang di sana yakni berusaha dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setiap musim yang beredar, selalu diiringi dengan sebuah balutan yang bernama tantangan. 

Untuk menghadapi dan mengatasi tantangan itu, masyarakat Dawan memiliki  suatu spirit, roh, atau semangat yang senantiasa berkobar dalam pikiran dan hati masing-masing guna tetap mempertahankan etos, disiplin, dan produktifitas kerjanya. Spirit menarik yang dimaksud dan itu telah lama dihidupi adalah "Meup On Ate, Mua On Kase" (bekerja atau berjuang bagai hamba dan makan atau minum bagai raja).

Perjuangan Menantang Alam Pada Musim Hujan

Setiap kali musim penghujan akan tiba, masyarakat Dawan dihadapkan pada dua tantangan besar yakni mempersiapkan irigasi untuk mengairi sawah guna menanam padi dan mempersiapkan ladang atau kebun untuk menanam jagung, kacang-kacangan, ubi-ubian dan sayur-mayur. Untuk dapat mengairi area-area persawahan masyarakat, mereka harus bekerja keras untuk menggali selokan jalannya air sejauh 2 hingga 3 kilometer. Pada bibir selokan di sepanjang sungai  harus disediakan kayu rincing, dedaunan, dan batu-batuan besar untuk dapat membendung air. 

Pekerjaan seperti di atas, bukan hanya sekali terjadi tapi berulang-ulang kali bahkan setiap hari dilakukan. Mengapa? Karena ketika pada waktu siang atau sore hari, hujan yang mendatangkan banjir akan merusak semua yang telah ada. Selokan akan tertutup kembali dengan lumpur dan bendungan alamiah yang telah ada, terbawa derasnya arus air entah kemana. Keesokan harinya, masyarakat harus bekerja untuk memulai dari awal lagi guna membarui semuanya. Bayangkanlah keadaan ini terus terjadi sepanjang musim hujan. Amat melelahkan.  

Perjuangan itu tidak terhenti sampai pada titik itu. Untuk memetik, mengangkut, dan merontokkan padipun, semua masih dilakukan dengan cara manual. Padi yang sudah dipetik, akan diinjak-injak di atas bentangan sebuah tikar lebar yang terbuat dari anyaman daun lontar, lalu dipisahkan antara bulir yang berisi dan tidak dengan tampi, lalu ditumbuk dalam lesung guna menjadikanya sebagai beras.

Perjuangan yang sama, harus dilakukan dan dirasakan oleh masyarakat dalam mempersiapkan kebun atau ladang untuk menanam jagung, kacang-kacangan, ubi-ubian, dan sayur-mayur. Beberapa waktu sebelum turunnya hujan, masyarakat akan beramai-ramai membersihkan area kebun. Setelahnya, sekeliling kebun harus dipagar dengan kayu setinggi satu sampai satu setengah meter untuk melindungi tanaman yang akan di tanam dari serbuan binatang liar (babi atau sapi  milik masyarakat yang terlepas dengan bebas).

Kalau bagian di atas sudah kelar, maka selanjutnya adalah tanah yang terbelah-belah akibat teriknya mentari dimusim panas yang telah berlalu, harus dibalik (bagian atas ke bawah dan bagian bawah ke atas) agar menjadi gembur. Ini amat penting karena sangat menentukan tingkat pertumbuhan, kesuburan, dan produksi tanaman. Bayangkanlah kalau seluruh area perkebunan dibalik secara manual dengan hanya menggunakan linggis. Sungguh amat berat. 

Perjuangan berlanjut terus ke musim panen. Terutama untuk jagung yang telah dipanen, jagung-jagung itu harus diikat (satu ikat bisa 4 sampai 5 puler. Tergantung selera), lalu diasapi sampai benar-benar kering agar bertahan selama setahun lebih. Proses pengasapan dapat dilakukan setelah jagung tersimpan dalam lumbung atau dapat juga dilakukan di sebuah tempat khusus yang agak tinggi. Untuk ubi-bianpun berlaku hal yang sama. Ubi yang telah dipanen, dikupas, dibelah- belah dalam beberapa bagian, lalu dikeringkan dan disimpat pada lumbung makanan.

Perjuangan Menantang Alam Pada Musim Panas

Ketika musim panas tiba, praktis masyarakat Dawan hanya menghabiskan apa yang sudah dihasilkan dari pekerjaan selama musim hujan. Maka, keluarga-keluarga yang memiliki persediaan makanan yang cukup, kemungkinan besar terhindar dari kelaparan. Sedangkan mereka yang tidak memiliki persediaan yang mumpuni amat beresiko untuk mengalaminya. 

Akan tetapi, bagi kaum lelaki atau bapak-bapak yang dapat memanjat dan menyadap tandan buah pohon lontar yang sudah cukup tua, dapat melirik kesempatan ini untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Air nira yang sudah disadap, dapat disuling untuk menghasilkan minuman beralkohol. Masyarakat setempat menamainya dengan sebutan "sopi". 

Harganya lumayan. Tergantung pada tingkatan kadar alkohol yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar alkoholnya, semakin mahal harganya. Untuk dapat menyadap tandan buah pohon lontar yang sudah cukup tua dan mendapatkan air niranya, pohon lontar yang setinggi 20-30 meter itu harus dibuatkan tangga dari pelepah lontar dan bambu yang masih menyisakan sedikit cabang-cabang sebagai tempat pijakan. Selain menghasilkan sopi, air nira juga dapat dimasak untuk membuat gula merah atau gula air.

Selain itu, masyarakat dapat menambah penghasilan dengan memanfaatkan buah pohon asam Jawa yang sudah masak. Inipun amat berisiko. Untuk mendapatkan buah pohon asam jawa itu, mereka harus memanjat dan berjalan dari cabang ke cabang untuk merontokkan buahnya dengan cara digoyang-goyang. Setelahnya, buah asam harus dijemur beberapa lama agar benar-benar kering, lalu dipisahkan antara kulit luar dengan bagian isi di dalamnya. Untuk menjadikannya sebagai duit, masyarakat boleh memilih. Dapat menimbang dengan membiarkan bijinya tetap menempel di dalam isi atau dikeluarkan. Kalau tetap dibiarkan, maka harganya akan lebih murah. Sebaliknya kalau dipisahkan, maka harganya lebih mahal. 

Rumit, sulit, pelik, dan penuh tantangan. Tapi syukurlah bahwa spirit, roh, dan semangat kerja yang terangkum dalam kebijakan lokal yang berbunyi, "Meup On Ate, Mua On Kase" yang terpatri di lubuk hati terdalam masing-masing masyarakat Dawan, telah menjadikan mereka sebagai pribadi-pribadi yang tidak cengeng, tidak mudah menyerah, tidak putus asa, apalagi lari dari kenyataan hidup yang pahit dan keras itu. Mereka tetaplah berjuang untuk bertahan, ada, dan hidup sampai pada detik ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun