Mohon tunggu...
Maximilianus Sipayung
Maximilianus Sipayung Mohon Tunggu... Freelancer - Welcome..

Semoga apa yang tertulis dapat berguna dan juga menghibur

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kesepian adalah Kekuatan Part 2

22 Oktober 2019   14:48 Diperbarui: 22 Oktober 2019   15:19 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Sudah kuduga aku tidak dapat menahan masa -- masa tenangku hari ini lebih lama. Mereka mulai mendekatiku. Aku hanya berharap aku tidak akan terluka parah hari ini karna aku bingung harus memberikan alasan apalagi kepada orang tuaku kalau aku pulang dalam kondisi banyak luka dan lebam -- lebam di sekujur badanku.

            "Lagi ngapain?" kata dicky yang merupakan ketua geng mereka.

Aku tidak menjawabnya. Aku hanya diam dan menikmati makanan dan minuman yang kubeli seolah -- olah tidak ada siapapun disekitarku. Ternyata itu malah membuat mereka semakin marah. Salah satu dari mereka mendekatiku dan memukul kepalaku dari samping. Aku hanya dapat menahannya dan berusaha agar tidak jatuh karena aku tau itu bakal makin merugikan bagiku dengan situasi begini. Dia mulai menarikku dari tempat dudukku dan hampir membuatku terpeleset. Aku berdiri dihadapan mereka. Menatap mereka dengan pandangan kosong.

            "Apa kamu tau siapa yang kamu ganggu tadi?" kata Dicky.

            "Ancilla." jawabku.

            "Apa kamu tau dia siapa?"

            "Anak kelas unggulan yang kelasnya disamping kelas kita."

            "Benar."

Dicky mulai mendekatiku dan mulai memukulku tepat di perut. Teman -- temannya mulai melakukan hal yang sama padaku. Mereka memukulku berulang lagi sampai aku benar -- benar babak belur. Tidak sampai disitu, mereka juga menendangku dan berusaha mengoyak seragam sekolahku. Badanku mulai bergerak mundur dan kakiku hampir tidak dapat menahan berat badanku tetapi aku senang tidak sampai terjatuh ke tanah. Mereka menertawakanku.

            "Kuat juga kamu sekarang."

Mereka mulai lagi memukuliku dan aku tidak tau tangan siapa dan kaki siapa yang bakal aku tepis untuk mengurangi jumlah pukulan dan tendangan yang mengarah ke badanku. Mereka masih memukuliku sekuat tenaga mereka dengan cara membabi buta. Mereka sangat senang dan sepertinya juga sangat ahli dalam membuat orang lain merasakan penderitaan. Akhirnya, aku terjatuh. Aku tidak dapat lagi menahan berat badanku yang sudah banyak menerima pukulan dan tendangan. Aku meringis kesakitan. Mereka tertawa semakin kuat tanpa memperdulikan diriku. Orang -- orang disekitarku juga sepertinya menikmati pertunjukan yang barusan. Aku memegang perutku. Sakit sekali rasanya. Tetapi aku seperti merasakan kalau luka yang kurasakan dan rasa sakit yang kuterima seperti terobati. Aku teringat senyumannya. Genggaman tanggannya. Ya. Ancilla. Entah kenapa aku tersenyum secara tiba -- tiba.

            "Ancilla adalah pacarku. Mengganggunya berarti kamu mencari masalah." kata Dicky.

Cemburu. Sepertinya dia cemburu. Aku ingin sekali tertawa lepas tetapi rahang dan tulang pipiku sepertinya memar dan aku tidak dapat menggerakkannya. Aku hanya menahan rasa ingin tertawa itu. Aku bisa tersenyum meskipun sedikit. Aku bakal mengingatnya sebagai suatu kebodohan seorang laki -- laki. Memukul seorang hanya karna cemburu hanya dilakukan oleh orang bodoh. Setidaknya begitulah pikiranku saat itu. Dicky melihat senyumanku dan mulai merasa tersinggung akan sesuatu. Dia mulai menendangku lagi diikuti oleh teman -- temannya. Aku berusaha menghindar dan menepis beberapa tendangan yang mereka arahkan ke kepada dan perutku tapi aku tidak bisa. Mereka terlalu banyak. Tenagaku habis. Akhirnya aku tergeletak lemas dan mereka sepertinya juga merasa kelelahan.

            Kondisiku sepertinya sudah kacau balau. Aku melihat tanganku. Lecet dan berdarah. Kemudian aku melihat mereka berjalan perlahan meninggalkanku. Aku berusaha duduk. Aku berhasil.

            "Woi. Mau kemana kalian orang lemah tak berotak?" kataku.

Mereka melihat kearahku. Mereka berbicara satu sama lain. Entah apa yang mereka katakan. Aku hanya tersenyum sambil bangkit berdiri. Aku seperti masih belum bisa melakukannya. Badanku terlalu banyak luka. Tapi aku berdiri. Menegakkan badanku dan sedikit mendongakkan kepalaku. Aku kembali tersenyum kearah mereka. Aku merasa belum puas sebelum aku benar -- benar tidak dapat berdiri lagi. Mungkin ini karena terlalu sering dihajar orang. Mereka mulai mendatangiku. Senyumku tiba -- tiba hilang.

            "Apa maksudmu?" kata Dicky.

            "Kamu adalah orang paling bodoh dan paling lemah yang pernah memukuliku."

Dia mulai melayangkan pukulannya sama seperti saat dia akan memukulku tadi. Aku membalasnya dengan memukul hidungnya. Telak sekali. Dia terjatuh. Tapi, tenagaku habis. Aku mulai tersenyum kembali. Teman -- temannya tidak tinggal diam. Mereka mulai menyerangku dari segala arah. Kembali menghajarku dengan sisa -- sisa tenaga mereka. Mereka menghajarku dari sejak aku berdiri sampai aku tergeletak ditanah tanpa rasa kasihan. Mereka sudah tidak menghiraukan apa -- apa lagi selain menghancurkanku dan membuatku bersimbah darah. Benar saja, aku mengeluarkan banyak darah dari setiap titik badanku yang banyak menerima pukulan. Mereka mengangkat Dicky dan pergi meninggalkanku. Aku ingin tertawa lagi. Sungguh. Tapi tulang pipiku kurasakan seperti patah. Kulit diatasnya juga koyak. Aku bisa merasakannya. Aku hanya bisa menunda rasa ingin tertawaku. Aku hanya melihat kearah langit dan mengatur nafasku. Kemudian aku melihat sekelilingku. Mereka hanya melihatku sebentar dan meninggalkanku begitu saja. Mataku pun mulai menutup secara perlahan. Berat sekali rasanya. Apakah aku mati? Aku kehabisan tenaga. Aku pasti akan mati. Mati di sekolahku sendiri? Tidak mungkin. Tidak mungkin aku selemah itu.

            Aku pun sadar. Wajahku seperti basah. Tapi aku merasa tanah tempat aku terbaring sangat kering. "Ini tidak mungkin hujan", pikirku. Aku mulai mencoba membuka mataku. Aku tidak dapat melakukannya. Sangat berat. Perasaan apa ini? Apa aku sudah mati? Tidak. Aku mencoba mengalirkan sisa tenagaku ke mataku. Aku membuka mataku. Kemudian aku merasakan sedikit silau. Aku mendengar suara teriakan kecil.

            "Putri? Dewi?"

            "Cieeee yang pingsan." kata mereka.

            "Jangan mati dulu ya. Soalnya ibu peri lagi beli minum." kata Putri.

Mereka kemudian tertawa dan aku hanya mengatur nafasku sambil menutup mataku karna silau. Kalau diliat -- liat mereka tidak jauh berbeda dengan Ancilla. Sama -- sama cantik. Apa bisa kudapatkan sekaligus? Aku hanya bisa tertawa dalam hati memikirkan itu semua. Dasar bodoh. Lelaki bodoh yang tidak berpikir panjang. Sudah sekarat masih aja begitu. Aku merasakan tubuhku masih lemas. Nafasku mulai teratur secara perlahan. Aku sudah sedikit tenang tapi tidak dapat menggerakkan badanku. Sepertinya sel -- sel darahku mulai merespon luka yang ada di tubuhku dan mulai melakukan regenerasi untuk menutup luka yang kurasakan. Tapi itu tidak ada gunanya. Lebam yang ada di wajah dan tubuhku masih sangat sakit.

            "Buka matamu. Ibu peri sudah datang." kata Dewi sambil tertawa.

            "Ancilla?"

            "Minumlah." katanya sambil memberikanku minuman dingin dari kantin.

            "Terima kasih."

            "Ini semua salahku sampai kamu jadi begini."

            "Bukan. Justru ini salahku. Pergilah sebelum mereka melihaku bersama kalian."

Aku merasa seperti pahlawan. Pahlawan kebodohan. Kenapa aku malah mengusirnya? Memang betul -- betul ketololan tingkat tinggi. Aku sudah membuang banyak darah hanya karena pengen berkenalan dengannya dan dia menolongku dan malah mengusirnya? Aku seperti ingin pingsan kembali. Mungkin bakal terulang kembali seperti tadi. Aku tidak habis pikir. Tetapi, aku tidak bisa lupa seperti apa wajah khawatirnya tadi. Aku tidak boleh berpikir aneh. Aku tidak boleh berharap. Tidak akan ada yang mau sama laki -- laki yang hanya jadi korban pemukulan sepanjang sekolahnya.

            Aku membersihkan luka yang ada di tubuhku di kamar mandi. Sangat perih rasanya. Lecet dan lebam dimana -- mana. Aku tidak bisa pura -- pura untuk tidak merasakan perihnya semua luka dibadanku. Aku mulai membersihkan satu per satu dari tanah dan debu yang lengket di lukaku akibat tergeletak di tanah tadi. Aku kemudian membersihkan bajuku dan celanaku. Penuh lumpur seperti anak kecil. Anak kecil yang mungkin mendapatkan peri seperti yang mereka katakan tadi. Setelah aku membersihkan diriku dan kuanggap itu bersih meskipun tidak maksimal, aku kembali ke kantin. Duduk sambil melihat sekeliling. Aku mulai memikirkan apa yang terjadi padaku tadi. Aku ingin tidur tapi malu. Masa tidur di kantin? Aku hanya menyenderkan badanku di tembok yang menjadi penyanggah punggungku. Aku minum sebotol air dan masih tidak dapat berpikir jernih. Mungkin air minum yang aku minum barusan palsu. Kalau jernih mana mungkin aku tidak dapat berpikir jernih setelah meminumnya. Masa bodoh. Aku lelah. Badanku sakit. Mungkin sedikit tidur dapat mengembalikan tenagaku.

            "Teng...Teng...Teng.."

Sudah lonceng pulang sekolah? Tidak terasa. Aku kembali melihat sekelilingku. Cuci mata kalau kata orang -- orang. Aku harus mengakui kalau sekolahku banyak memiliki siswi cantik. Aku Cuma mengagumi mereka begitu saja. Aku tidak menegur satu pun dari mereka. Aku butuh waktu bersantai sejenak sebelum mengambil tasku ke kelas. Mungkin mereka juga sudah membuang tasku atau bahkan membuat isi tasku berserakan. Aku tidak terlalu memikirkannya. Masa bodoh. Aku ingin focus. Fokus menikmati udara segar yang menerpaku. Menikmati pemandangan indah yang ada didepan mataku. Aku ingin melupakan sejenak atas apa yang menimpaku tadi. Aku berusaha menggerakkan badanku satu per satu. Masih sangat sakit. Tanganku dan kakiku juga masih sulit digerakkan. Aku ingin memikirkan bagaimana nantinya saat aku pulang dan sampai dirumah. Apa yang akan kukatakan pada orang tuaku? Aku terdiam sejenak. Aku seperti memiliki ide gila yang akan kulakukan. Bagaimana aku tidak pulang hari ini dan pulang besok harinya? Bisakah? Tapi aku tau itu bakal membuat orang tuaku mencariku entah kemana. Aku hanya akan menimbulkan masalah baru. Aku memutuskan untuk pulang saja. Mungkin setengah jam lagi aku mengambil tasku dan pulang. Tidak. Aku harus pulang sekarang. Otakku tidak dapat berpikir jauh lagi. Aku butuh istirahat. Aku ingin tidur. Aku mulai berjalan perlahan kearah kelas. Seperti orang pincang, aku selalu merasakan sakit saat akan menapakkan kakiku. Aku mulai diliatin orang -- orang disekitarku. Aku tidak memperdulikannya. Yang terpenting sekarang adalah aku dapat sampai kerumah dengan selamat agar aku bisa tidur nyenyak dan melupakan segala sesuatunya untuk beberapa saat. Sesampainya dikelas aku melihat bangku tempat aku biasa duduk. Aku tidak melihat tasku. Aku mulai mengelilingi kelas dan tidak menemukan petunjuk apapun. Benar dugaanku. Mereka sudah mencampakkan tasku entah kemana. Aku kelelahan. Aku duduk kembali. Mulai berpikir dimana kira -- kira mereka membuang tasku dan isinya. Aku tidak bisa lagi berpikir. Aku mulai berjalan mengelilingi kelas demi kelas. Memeriksa setiap inci dari setiap kelas yang kulewati. Tak lupa juga aku memeriksa tong sampah demi tong sampah yang ada disekitar sekolahku itu. Aku tidak menemukannya. Aku hampir putus asa. Tetapi, kalau aku istirahat lagi sekarang dan kembali duduk aku bakal terlalu lama untuk sampai dirumah. Aku mulai berjalan lagi. Memeriksa kelas demi kelas yang kemungkinan menjadi tempat disembunyikannya tasku. Aku tetap tidak menemukannya. Aku berdiri di depan salah satu kelas dan bersandar disitu. Aku tidak bisa diam saja begini terus menerus. Aku tidak bisa membiarkan mereka melakukan ini padaku setiap hari. Aku harus melakukan sesuatu. Aku mulai memeriksa taman depan sekolah. Aku mencari dengan teliti inci tiap inci taman sekolah itu dan tidak menemukan apapun disana. Setelah selesai aku melihat taman itu kembali dan menyadari aku sudah membuat semuanya berantakan. Aku kembali ke kelasku untuk menghindari penjaga sekolah. Dia cukup seram soalnya. Aku mulai duduk dan menekuk kepalaku. Hancur sudah. Pulang tanpa tas. Ini semakin buruk saja.

            "Apa kamu cari ini? Ini punyamu?"

            "Ancilla?"

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun