Semalaman ibu mengerang kesakitan. Hujan semalaman tak henti, kilat sambar menyambar. Kini waktu menunjukkan pukul empat subuh. Tak kuasa menahan perasaan, "ibu... ibu..."
Tubuh ibu dipeluk erat-erat, ibu mengerang menahan sakit kepala dan napasnya sesak. Keringat membasahi keningnya. Tak lama kemudian ibu menggigil hebat, antara sadar  dan tidak sadar, dengan suara lirih ibu bilang ada kakak. Ada kakek. Terakhir ibu berucap,
"Ibu pergi nak, ibu tidak tahan lagi, maapkan ibu, maapkan ibu".
"Ibu... ibu... ibuuuuu..." teriakan gadis kecil memecah hujan.
Dipandangi wajah yang tertidur dalam lelapnya. Ibu telah tiada, ibu sudah pergi untuk selama-lamanya dalam iringan hujan. Lusia menatap tubuh ibunya, tak percaya. Secepat itu ibu pergi. Hujan menyisakan duka yang sangat mendalam dan menyesakan dada.
Kini, Lusia berdiri di jendela kamarnya. Di luar hujan perlahan. Butir-butir kristal mengalir di pipinya. Terbayang kakak dan ibunya yang kini telah tiada. Lusia menutup jendela, dalam hati berucap, bahagialah di sana kakak dengan ibunya. Doa Lusia selalu mengiringi langkah kakak dan ibu yang sedang berbahagia di surga.