Kakak menunjukkan pada ibu, tangannya mengangkat seekor anak kucing berwarna putih. Tak lama kemudian, terdengar teriakan, "aaaaah" tubuh kakak jatuh di pematang sawah. "Ya Tuhan, kakak tersambar petir".
"Ya Tuhan, kakak..... "Ibu menjerit histeris dan berlari mendapati anak lelakinya jatuh terkapar. Tubuh anak lelaki itu tak bergerak, tak bernyawa lagi. Batinnya sakit.
Lusia kecil menatap tubuh kakaknya dari kejauhan tak bergerak lagi. Fauziah berlari menyusul ibunya. Kaki gadis kecil itu terpeleset dan jatuh dalam sawah. Dengan berlumuran lumpur Lusia mendapati tubuh kakak tak bergerak lagi
"Kaaaakaaaaak..."
Hujan semakin deras. Tak ada guna air mata dan tangisan. Tak ada guna meratap. Dengan sekuat tenaga ibu dan Lusia mengangkat tubuh kecil dan kurus, laki-laki kesayangan ibu dan adiknya. Pematang sawah menjadi saksi, hilangnya seorang anak laki-laki yang penurut, rajin, suka bekerja keras dan sangat menyayangi ibu dan adiknya.
Kakak telah pergi untuk selama-lamanya. Setelah pemakaman, hujan kembali turun. Tangis ibu tak henti-hentinya memanggil kakak. Para pelayat, tetangga tak mampu menahan tangis. Mereka memahami perasaan seorang ibu yang kehilangan anak laki-lakinya.
Sejak kepergian kakak, ibu banyak melamun dan jarang bicara. Hatinya hampa. Bisu dan pilu. Beberapa tetangga datang menghibur dan menasehati ibu. Mengajak ibu supaya  makan dan melupakan kesedihannya. Ibu menangis dan memeluk baju kakak. Ibu sangat sayang kakak, anak laki-laki yang bercita-cita ingin menjadi pilot.
"ibu, kakak ingin sekolah dan jadi penerbang pesawat bu"
"Ooh, kakak mau jadi pilot yah, kakak harus sekolah yang pinter, harus rajin sembahyang, harus sayang sama ibu dan adik"
"Siap komandan". Kakak memperagakan sikap hormat di depan ibunya. Ibu tersenyum melihat tingkah anak lelakinya yang lucu.
Ibu memeluk kakak. Dalam hatinya berdoa, "Ya Tuhan kabulkanlah cita-cita anakku. Terbayang semua kisah kakak yang rajin belajar, menghafal hitungan dan senang membaca buku-buku pengetahuan alam, buku kisah pahlawan.