Uang Suami, Uang Istri: Antara Hak, Relasi Peran, dan Harga Diri
 Tema topik kali ini mengelitik hati saya untuk ikut menulis. Tentang Uang suami, uang Istri atau uang kita.
Ada sebuah ungkapan "Uang suami milik istri, tapi uang istri hanya milik istri."
Rasanya hampir semua orang pernah mendengar ungkapan ini, karena ungkapan di atas begitu populer menjadi menu diskusi, baik sebagai bahan candaan di tongkrongan, tema utama obrolan ibu-ibu berdaster, sampai jadi konten viral di media sosial. Lucu, tapi juga bikin mikir. Ya ga sih bikin mikir?
Bagi banyak rumah tangga, pembagian uang antara suami dan istri sering jadi topik sensitif. Ada yang semuanya diserahkan ke istri selaku sang menteri  ekonomi keluarga, biar lebih rapi, aman dan sejahtera. Ada juga yang punya aturan sendiri, suami pegang gaji; istri pegang belanja, sisanya disimpan bersama. Tapi nggak sedikit juga yang jalani sistem, "uangku ya uangku, uangmu ya buat kita."
Kalau dilihat sepintas, ini soal sepele. Tapi kalau dibongkar lebih dalam, ternyata menyangkut banyak hal: kepercayaan, tanggung jawab, peran/relasi suami istri, keadilan, bahkan menyangkut harga diri. Apalagi di zaman sekarang, saat banyak istri juga ikut cari nafkah, kerja kantoran, bahkan jadi tulang punggung keluarga.
Lalu, sebenarnya bagaimana baiknya kita mengatur dan memahami keuangan rumah tangga?
Pandangan Islam: Antara Hak, Kewajiban, dan Keikhlasan
Islam sebagai agama yang syamil (menyeluruh) memberikan arahan dalam setiap lini kehidupan, termasuk dalam hal kepemilikan, pembagian harta dan tanggung jawab finansial dalam rumah tangga.
Islam itu menjaga hak antar suami dan istri maka prinsipnya jelas, yaitu "harta suami milik suami, harta istri milik istri" Tidak ada konsep "uang milik bersama" secara otomatis, kecuali atas dasar kerelaan dan kesepakatan. Prinsip ini dispakati oleh para ulama dan tidak terjadi pertentangan di antara mereka.
Lebih lanjut kita bahas hak terkait uang suami dan uang istri, namun mari kita bahas dulu tentang uang istri.
Uang  Istri adalah Hak Penuh Milik Istri
Uang atau harta yang dimiliki istri, adalah menjadi hak penuh istri, baik dari uang mahar, uang pengasilan si istri, uang nafkah, hadiah, maupun dari uang waris.
Seorang istri tidak ada kewajiban  menafkahi suami, dan suami tidak ada hak  sedikitpun  mengambil harta milik istri tanpa izin, kecuali atas dasar kerelaan sang istri. Prinsip ini disepakati oleh semua kalangan ya, terlebih kalangan ulama.
"Dan janganlah kamu mengambil kembali darinya sesuatu pun dari mahar itu." (QS An-Nisa: 20)
Ayat di atas menjadi salah satu rujukan bahwa uang istri adalah hal mutlak istri.
Uang Suami adalah Uang suami
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita... karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS An-Nisa: 34)
Di dalam ayat di atas Allah telah menjelaskan bahwa ada hak istri dari sebagian harta suami, "sebagian" bukan keseluruhan harta suami.
Jadi dari ayat ini, menegaskan bahwa prinsip "uang suami adalah uang istri" adalah tidak tepat.
Ustaz Ammi Nur Baits, menjabarkan dalam kajiannya bahwa ada beberapa cara seorang suami memberikan uang atau hartanya kepada istri. Yaitu dengan cara:
1.Pemberian Mahar
 "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (Q.S An-Nisa: 4).
2.Pemberian Nafkah
Suami Wajib Menafkahi
Suami wajib memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Ini mencakup kebutuhan dasar seperti makan, pakaian, dan tempat tinggal.
"Kaum lelaki bertanggung jawab terhadap kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian dari mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka." ( An-Nisaa' 4:34 )
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya." Al Baqoroh: 233).
Artinya "Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu (suami) bertempat tinggal menurut kemampuan kamu,..." (QS. Ath Thalaaq: 6).
Ayat di atas selain menjelaskan kewajiban suami memberi nafkah, sandang, pangan dan papan. Â Menjelaskan juga bahwa, pemberian nafkah sesuai kemampuan suami.
Mamapunya sedikit, disabari, mampu berlebihan maka disyukuri.
Ayat-ayat di atas juga menengaskan bahwa suami "menafkahkan sebagian harta" bukan seluruhnya.
Berkaca dari rujukan di atas saya jadi ingat diskusi antara saya dan suami terkait nafkah ini. Suami saya bukan pegawai negeri, maka penghasilannyapun fluktuatif ... cie.. nanun, dia selalu up date dan komunikasi.
"Dek, pendapatan Abang bulan ini sekian ... Adik mau berapa?' tanyanya suatu hari. "Ga boleh semua, ga bener itu," katanya lagi.
Dalam satu kesempatan lain, beliau juga pernah berucap, " Dek. Di pundak Abang, selain Adik ada juga tanggung jawab lain. Jadi Adik ada hak  sekian persen dari penghasilan Abang."
Meskipun secara finansial, suami belum berlebih, namun saya mengingatkan diri bahwa, sebelum menjadi suami, dia adalah seorang anak dari ibunya, dia adalah seorang kakak dari adik-adiknya. Dan mungkin ada tanggung jawab lain yang tidak saya ketahui. Seorang istri jangan sampai menghalangi seorang suami untuk berbakti dan bertanggung jawab atas keluarganya yang lain, meski dalam kindisi kurangmapanan finansial sekalipun.
Namun, aturan Islam sungguh indah, menafkahi istri dan anaknya tentu menjadi lebih utama ketimbang yang lain, dengan cara yang ma'ruf lagi baik.
Begitupun seorang seorang suami terhadap istrinya. Tidak boleh menghalangi istri memberikan uangnya kepada orang tua atau saudaranya.
3.Pemberian hadiah
Jika nafkah utama berupa sandang, papan dan pangan sudah terpenuhi, sementara sang suami masih punya harta berlebih, suami bisa memberikan kepada sang istri dengan cara pemberian hadiah. Pemberian hadiah ini tidak selalu dalam bentuk bingkisan atau momen. Misalkan suami mendapat bonus, dan memberikan tambahan uang jajan bagi istri, memberikan uang untuk ditabung atau memberikan untuk kebutuhan belanja dan salon misalkan. Intinya pemberian suami di luar nafkah inti, masuknya ke dalam hadiah.
4.Hak Waris Ketika Suami wafat
Apabila suami meninggal lebih dulu dari istri, dan suami meninggalkan harta, maka wajib harta tersebut dibagi kepada ahli waris, dalam hal ini termasuk sang istri merupakan salah satu ahli waris yang mendapatkan hak dari harta peninggalan suami. Jika suami istri tersebut memiliki anak, maka hak Istri adalah mendapatkan 1/8 bagian, Â jika tidak mempunyai anak maka hak waris atas istri adalah1/4 bagian. Lebih jelasnya silahkan buka bab waris yang tidak akan dibahas di sini.
Aturan waris ini juga sebagai bukti yang menegaskan bahwa di dalam aturan Islam tidak ada konsep "uang suami adalah uang istri, dan sebaliknya" karena jika demikian, yang terjadi adalah, ketika suami meninggal, otomatis harta suami akan berpindah kepada istri.
Artinya teori uang suami adalah uang istri, dan sebaliknya adalah tidak sesuai dengan apa yang telah dijabarkan Al-Qur'an
Namun demikian, Islam menganjurkan musyawarah dan kebersamaan. Selama didasari saling rido, pembagian dan pengelolaan uang bisa disesuaikan.
Jika banyak para suami menyerahkan seluruh hartanya kepada istri, maka itu atas kerelaan dan rasa cinta. Begitu juga ketika istri mau membantu perekonomian suami, selama itu dengan rido maka tidak menjadi soal, dan bahkan baik dan demi kemaslahatan bersama.
 Psikologi Rumah Tangga: Menjaga Peran dan Harga Diri
Menurut dr. Aisah Dahlan, pakar neuroparenting berpendpat bahwa, uang bukan sekadar alat transaksi, tapi menyentuh langsung ke otak dan emosi laki-laki. Dalam otak suami, ada bagian yang disebut hipotalamus, yang sensitif terhadap rasa dihargai. Ketika seluruh hasil kerjanya dikendalikan istri tanpa penghargaan, maka hipotalamus ini bisa "menyusut".
"Kalau suami diperlakukan seperti ATM berjalan, lama-lama ia akan kehilangan kelebihannya, harga dirinya bisa  memudar."
 Agar peranan serta rasa Harga Diri suami tetap terjaga, yang terbaik adalah,  istri tetap memberi ruang pada suami untuk memegang sebagian uangnya. Bukan soal jumlah, tapi soal perasaan: suami tetap merasa dibutuhkan dan dipercaya.
Selain itu, komunikasi yang sehat adalah kunci. Uang bukan alasan untuk bertengkar, tapi bisa jadi bahan untuk saling memahami kalau dibicarakan dengan jujur dan terbuka.
Ada satu pandangan menarik yang dicontohkan oleh seorang komedian yang bernama Surya Insomnia, menurutnya: Ia tetap menjalankan kewajiban memberi nafkah, tapi juga menyisihkan sebagian uangnya secara pribadi. Bukan karena pelit, tapi karena ia ingin tetap menjadi satu-satunya orang yang  bisa  diandalkan, sebagai kepala keluarga di saat-saat keadaan darurat.
Surya memberi contoh bahwa menjadi suami bukan sekadar memberi tiap bulan, tapi juga berpikir panjang. Suami perlu punya kontrol dan ruang untuk menjaga kestabilan keluarga secara diam-diam, di balik layar.
Uang Bisa Dicari, Tapi Kebijaksanaan Harus Dilatih
Pada akhirnya, ini bukan soal uangmu atau uangku. Tapi tentang bagaimana kita memperlakukan uang dalam rumah tangga: sebagai alat atau sebagai sumber konflik.
Islam memberi petunjuk yang adil dan manusiawi. Para pakar mengingatkan pentingnya menjaga peran dan harga diri. Tokoh publik memberi contoh nyata bagaimana menjadi suami/istri yang bijak dalam mengelola uang.
Kuncinya bukan pada siapa yang pegang uang, tapi, bagaimana uang itu dikelola dengan cinta, kepercayaan, dan komunikasi yang sehat.
Jadi, uangmu uangku? Uangmu uang kita? Atau uang kita semuanya?
Jawabannya bisa berbeda di setiap rumah. Tapi kalau semua dijalani dengan niat baik, insya Allah akan menemukan cara terbaik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI