Transformasi digital dalam sistem perpajakan Indonesia melalui implementasi Coretax Administration System (CTAS) bertujuan meningkatkan efisiensi, akurasi, dan transparansi fiskal. Inisiatif ini menjadi bagian dari upaya modernisasi administrasi pajak untuk memperluas basis wajib pajak dan memperkuat pengawasan terhadap transaksi ekonomi. Akan tetapi di balik kemajuan tersebut terdapat ancaman shadow economy masih membayangi terutama dari sektor informal dan transaksi digital yang tidak tercatat secara resmi.
Penerimaan pajak merupakan komponen vital dalam pembiayaan negara dan menjadi indikator utama stabilitas fiskal. Di tengah disrupsi ekonomi digital, Indonesia menghadapi tantangan baru berupa meningkatnya aktivitas ekonomi yang tidak tercatat yaitu yang dikenal sebagai shadow economy. Fenomena ini mencakup berbagai aktivitas ekonomi yang berlangsung di luar sistem formal namun tetap berkontribusi terhadap perputaran ekonomi nasional. Keberadaan ekonomi bayangan menjadi hambatan serius dalam optimalisasi penerimaan pajak dan pengelolaan fiskal yang berkelanjutan.
Tantangan Struktural dan Kebijakan dalam Menangani Shadow Economy
Berbagai studi menunjukkan bahwa shadow economy di Indonesia memiliki porsi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang secara langsung berpotensi mengurangi penerimaan pajak negara. Menurut estimasi dari PPATK dan Direktorat Jenderal Pajak, aktivitas ekonomi bayangan dapat mencapai 8,3% hingga 10% dari PDB hal ini setara dengan potensi penerimaan pajak yang hilang sebesar Rp1.958 triliun pada tahun 2022. Fenomena ini tidak hanya mengurangi tax rasio tetapi juga mendistorsi struktur ekonomi nasional dan memperlemah efektivitas kebijakan fiskal.
Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang mengatur penunjukan pihak lain terutama platform digital yang digunakan sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik. Regulasi ini menjadi tonggak penting dalam memperluas cakupan pemajakan di sektor digital yang selama ini sulit dijangkau oleh mekanisme tradisional. Marketplace seperti Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak dan lainnya yang kini diwajibkan memungut PPh Pasal 22 atas penghasilan pedagang dalam negeri dengan pengecualian bagi pelaku usaha dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun. Pendekatan ini menunjukkan keberpihakan terhadap UMKM sekaligus memperkuat integrasi data antara platform digital dan Direktorat Jenderal Pajak.
Namun tantangan shadow economy tidak berhenti pada aspek regulasi. Rendahnya literasi fiskal dan digital di dominasi sektor informal serta lemahnya integrasi data lintas sektor masih menjadi hambatan struktural yang perlu diatasi. Digitalisasi pajak memang menawarkan solusi yang struktural tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada strategi terpadu yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Strategi Penguatan Sistem Pajak Digital Terhadap Ancaman Shadow EconomyÂ
Strategi yang dapat ditempuh adalah dengan meningkatkan literasi fiskal dan digital terutama bagi pelaku usaha mikro dan informal agar mereka memahami hak dan kewajiban perpajakan secara proporsional. Selain itu, insentif formalitas dan kemudahan administrasi seperti simplifikasi pendaftaran NPWP dan pelaporan pajak berbasis aplikasi yang ramah pengguna perlu diperluas. Penguatan sistem pengawasan berbasis data melalui pemanfaatan big data, kecerdasan buatan (AI), dan integrasi lintas lembaga seperti DJP, OJK, dan PPATK juga menjadi kunci dalam mendeteksi transaksi tidak tercatat. Pendekatan personalisasi pajak digital sebagaimana diatur dalam PMK 37/2025 memungkinkan bahwa pemungutan pajak berdasarkan profil transaksi dan bukan sekadar formulir manual sehingga lebih adaptif terhadap karakteristik ekonomi digital.
 Lantas Bagaimana Masa Depan Perpajakan Digital
Digitalisasi pajak bukanlah solusi instan tetapi merupakan fondasi penting dalam membangun sistem perpajakan yang inklusif dan transparan. Untuk menjawab pertanyaan "Mampukah Indonesia menutup celah?" jawabannya bergantung pada sinergi antara teknologi, kebijakan, dan partisipasi masyarakat. Tanpa pendekatan yang menyeluruh digitalisasi hanya akan menjadi alat administratif bukan solusi transformatif. Oleh sebab itu, masa depan perpajakan Indonesia terletak pada kemampuannya untuk menjadikan digitalisasi sebagai katalis perubahan bukan sekadar modernisasi.