Anehnya meski tradisi mudik dilarang toh kemarin diberitakan masih ada saja beberapa orang yang nekad mudik dengan modus sembunyi di bawah tumpukan sayur yang diangkut truk.Â
Tradisi berlebaran memang identik dengan baju atau pakaian baru, makanan, minuman dan kue-kue yang disiapkan di atas meja, penukaran uang baru dan bersih-bersih (mengecat) rumah serta masih banyak lagi aktivitas yang berkaitan dengan tradisi lebaran.Â
Namun kini sebagian orang khususnya kaum muslim yang merayakan lebaran harus rela prihatin dulu karena tidak bisa mudik untuk berkumpul kembali bersama orang tua dan anggota keluarga tercinta.Â
Pandemi yang berkepanjangan sedikit atau banyak akan mempengaruhi sendi-sendi perekonomian sebagian masyarakat kita. Sehingga berlebaran kali ini jauh dari euforia suka-cita. Tidak seperti pada tahun-tahun sebelumnya.Â
Kiranya relevan parikan Jawa Timuran berbunyi, "Riyoyo gak nggoreng kopi, ngadep mejo gak onok jajane" diperdengarkan kembali selain sebagai nyanyian penghibur di telinga juga mengandung makna yang cukup mendalam di tengah suasana keprihatinan seperti sekarang ini.Â
Menjaga puasa agar tetap berkualitasÂ
Di sepuluh hari terakhir bulan suci Ramadan, khususnya malam-malam ganjil, Allah akan mengaruniakan suatu malam yang lebih mulia (agung) dari 1000 bulan yang dinamakan Lailatul Qadar.Â
Pada sepuluh hari terakhir bulan suci Ramadan, Allah menjanjikan pembebasan dari api neraka Itqun Minan Nar.Â
Untuk itu sayang kalau kesempurnaan dan kualitas puasa kita terkoyak hanya karena hasrat tak terbendung dari euforia berlebaran yang identik dengan berbelanja dan tindakan konsumtif lainnya.Â
Menunaikan ibadah puasa yang berkualitas di mata Allah memang tidak mudah. Tidak cukup dengan hanya mengerjakan syarat, rukun dan apa saja yang membatalkan puasa, namun kita juga harus "ihlas".Â
Jangan sampai pula di mata Allah puasa kita dinilai hanya sekadar menahan haus dan lapar tanpa  mendapatkan pahala yang berarti, nauzubillah.Â