Mohon tunggu...
Maura Natasha
Maura Natasha Mohon Tunggu... Musisi - Mahasiswi S1 Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Menulis murni untuk keperluan akademis, tidak untuk kepentingan atau urusan politik kelompok manapun.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

UU Ciptaker Mengungkung, Perusahaan Jasa Untung atau Buntung?

3 Juli 2021   16:06 Diperbarui: 3 Juli 2021   16:39 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejak masuknya ke Indonesia, pandemi COVID-19 terus menuntut adanya perubahan dan penyesuaian oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk soal kerja di sektor jasa. Perubahan ini paling terasa di permasalahan teknis kerja yang pada akhirnya merambat ke aspek-aspek lainnya. 

Misalnya yang penulis temukan melalui wawancara terhadap pihak manajerial salah satu perusahaan penyedia jasa keamanan, PT. G4S Indonesia. Terjadi beberapa perubahan yang mau tidak mau harus dilakukan perusahaan demi mempertahankan keberlangsungan usaha perusahaan di tengah kondisi pandemi yang tidak kunjung membaik. 

Pertama, perubahan teknis rapat koordinasi yang semula melalui pertemuan tatap muka menjadi rapat daring melalui google meet dan zoom meeting. Hal ini kerap kali mengurangi efisiensi dan efektivitas waktu koordinasi karena cukup sulitnya pengaturan jadwal pertemuan sehingga proses eksekusi kebijakan yang semula relatif cepat menjadi lebih lama. 

Kedua, adanya Temporary Salary Reduction atau pengurangan gaji sementara di tingkat manager ke atas karena banyaknya client yang memutus hubungan kerja sebagai dampak ekonomi dari pandemi COVID-19 sehingga terjadi penumpukan personel security di kantor. 

Ketiga, penumpukan personel security menyebabkan perusahaan harus membayar employee cost saat revenue sedang turun sehingga pada akhirnya diperlukan strategi efisiensi yang berorientasi pada bisnis.

Perubahan ini kemudian menjadi sulit untuk tidak dikaitkan dengan pemberlakuan UU Ciptaker baru-baru ini. Penulis menemukan bahwa pemberlakuan dan implementasi UU ini menimbulkan keuntungan sekaligus kerugian bagi perusahaan. 


Keuntungan yang dirasakan perusahaan dari pemberlakuan UU Ciptaker adalah ketentuan pesangon bagi PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) atau karyawan tetap yang lebih kecil dibandingkan aturan dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sehingga mengurangi pencanangan biaya perusahaan. 

Sedangkan kerugian yang dirasakan adalah terkait kompensasi kerja bagi PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) atau karyawan tidak tetap yang menjadi status mayoritas pekerja sekuriti di PT. G4S Indonesia. 

Belum dimuatnya aturan terkait kompensasi bagi PKWT dalam UU 13/2003 ini diakui oleh pihak manajemen mengakibatkan terjadinya pembengkakan pengeluaran bagi PT. G4S Indonesia karena tidak semua perusahaan yang menjadi client PT. G4S Indonesia bersedia membayarkan kompensasi PKWT yang baru muncul pasca pemberlakuan UU Cipta Kerja. Alasannya, perusahaan client sudah mencanangkan anggaran tahunan perusahaann sehingga sulit untuk menganggarkan biaya tambahan untuk kompensasi PKWT di akhir kontrak kerja.

 

Bagaimana kondisi politik kerja di PT. G4S Indonesia?

Secara hukum, PT. G4S Indonesia memiliki tiga regulator yaitu kepolisian, pemerintah, dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Pihak kepolisian berperan dalam standarisasi dan penjaminan kualitas tenaga sekuriti yang disediakan oleh PT. G4S Indonesia, sedangkan pemerintah dan Kemnaker berperan sebagai pemberlaku kebijakan formal yang nantinya memegaruhi ketentuan kerja yang diberlakukan di PT. G4S Indonesia. Dengan adanya pemerintah sebagai regulator, maka apapun kebijakan yang dikeluarkan, perusahaan harus tunduk pada kebijakan tersebut terlepas dari efek yang sekiranya ditimbulkan.

Secara teoritis, kondisi ini dapat dijelaskan menggunakan teori rezim produksi dari Michael Burawoy (1985) yang membagi proses kerja, relasi perusahaan ke negara maupun pasar, serta model reproduksi tenaga kerja kedalam dua kategori besar. 

Pertama, hegemonic production regime yang menyatakan bahwa negara memiliki peran atau campur tangan secara langsung dalam berjalannya rezim produksi suatu perusahaan. Kedua, market despotic production regime yang menyatakan bahwa negara tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam rezim produksi perusahaan. 

Maka, dapat disimpulkan bahwa kepatuhan PT. G4S Indonesia atas pemberlakun UU Ciptaker merupakan bentuk contoh konkret dari penerapan hegemonic production regime di Indonesia.

Penulis merasa argumen ini secara nyata didukung oleh pernyataan narasumber kedua yang dari kalangan pekerja,

"Apapun ketetapan yang tertulis dalam perundangan, ketika serikat dapat mendukung perusahaan untuk maju dan perusahaan bersedia untuk menunjukkan transparansi, maka hasil yang baik untuk kedua belah pihak pasti dapat dicapai."

Sementara itu, berdasarkan informasi dari narasumber tersebut, PT. G4S Indonesia memiliki enam serikat pekerja yaitu FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Indonesia), SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia), GSBI (Gabungan Serikat Buruh Independen), SEKAR G4S (Serikat Karyawan G4S), dan SPN (Serikat Pekerja Nasional). 

Keberadaan serikat ini berfungsi untuk menampung keresahan para pekerja yang kemudian di advokasikan ke bagian manajerial perusahaan untuk dicari jalan keluarnya, dan disaat yang sama membantu proses sosialisasi kebijakan yang diberlakukan oleh perusahaan pada para pekerja sehingga tidak terjadi miskomunikasi. Dengan kata lain, serikat ada sebagai penghubung dan negosiator bagi kedua belah pihak.

Di tengah kondisi pandemi, para pekerja sekuriti yang tidak bisa menjalankan tugasnya dengan sistem WFH atau Work From Home tentu merasakan dampak yang besar dan dapat dikatakan beresiko tinggi. Tidak sedikit personel sekuriti yang terpapar COVID-19 sekalipun telah mengikuti protokol kesehatan dengan ketat. 

Kerugian ini kemudian dirasa semakin parah dengan pemberlakuan UU Ciptaker yang dirasa mempersulit peluang para pekerja untuk menjadi pekerja tetap karena adanya perubahan durasi PKWT yang semula tidak boleh lebih dari 3 tahun dengan pembaharuan maksimal 2 tahun setelah adanya 30 hari istirahat, kini dapat dilakukan selama 5 tahun berturut-turut.

Persoalan lainnya adalah terkait pesangon, kompensasi, serta penghilangan uang penggantian pengobatan yang sebelumnya dimuat dalam UU 13/2003. Kondisi ini lah yang kemudian sempat memicu terjadinya demonstrasi di kantor PT. G4S Indonesia pada 6 Oktober 2020 lalu (CNN Indonesia, 2020).

Sebagaimana disinggung sebelumnya, PT. G4S Indonesia mengambil langkah efisiensi demi menjaga keberlangsungan bisnis perusahaan, salah satunya melalui PHK pencegahan kerugian lebih lanjut sebagaimana diatur dalam UU Ciptaker dengan memperhatikan berbagai aspek seperti usia, durasi kerja, pernah atau tidaknya pekerja tersebut melakukan pelanggaran, dan sebagainya. 

Perusahaan juga melakukan sosialisasi perubahan kontrak kerja yang telah diperbaharui berdasarkan UU Ciptaker pada perusahaan client dengan harapan tercapai pemahaman dan kesepakatan terkait kompensasi kerja supaya para sekuriti bisa mendapatkan hak mereka tanpa menimbulkan pembengkakan pengeluaran bagi PT. G4S Indonesia itu sendiri.

Dari segi pekerja, para sekuriti maupun serikat terus melakukan diskusi dan negosiasi dengan pihak manajerial perusahaan supaya menemukan titik tengah yang menguntungkan kedua belah pihak. Perlu dicatat bahwa tidak semua serikat yang ada di PT. G4S Indonesia menggunakan jalur demonstrasi sebagai bentuk artikulasi pendapat, tetapi ada pula serikat yang memilih jalur diplomasi. Pun, serikat yang memilih demonstrasi juga menyadari tingginya resiko dari demonstrasi mulai dari kesehatan, keselamatan, bahkan potensi demonstrasinya tidak berhasil membawa perubahan.

Jadi, apa solusi yang bisa ditawarkan?

Dari pemaparan ini, dapat dilihat bahwa pemberlakuan UU Ciptaker di tengah kondisi pandemi tidak hanya merugikan para pekerja dan buruh, tetapi juga merugikan perusahaan yang menerapkannya. Terlepas dari kerugian yang ditimbulkan, perusahaan tetap tunduk pada sistem yang ada, mengingat bahwa pemerintah sendiri merupakan regulator bagi PT. G4S Indonesia. 

Pada akhirnya, hal yang paling mungkin dilakukan adalah diskusi dan negosiasi antar kedua belah pihak agar tercipta kebijakan perusahaan yang menguntungkan pihak perusahaan dan pihak pekerja sekalipun UU Ciptaker tetap menjadi pedomannya.

SUMBER

CNN Indonesia. (2020). Buruh Demo Kantor PT G4S di TB Simatupang, Protes Soal PHK. Diakses pada 28 April 2021.

Burawoy, M. (1985). The Politics of Production: Factory Regimes Under Capitalism and Socialism. London: Verso.

Wawancara bersama 3 narasumber dari PT. G4S Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun